Memahami Pelaku-Korban Kekerasan Seksual
Bukan hanya di Indonesia, kekerasan seksual merupakan isu global. Sementara para ilmuan terus melakukan riset untuk menemukan penyebab dan kemungkinan solusinya, data kasus kejahatan seksual terus bertambah.Â
Statistik mengajarkan kita, bahwa jika dilihat dari sisi korban, perempuan muda dan juga anak-anak adalah subjek yang paling rentan. Sedangkan dari sisi pelaku, data menunjukkan bahwa kejahatan seksual mayoritas dilakukan oleh orang yang telah dikenal korban. Mulai dari keluarga, pacar, teman, tetangga, kenalan dan juga guru. Hal tersebut mengajarkan pada kita bahwa hampir tidak ada tempat yang paling aman bagi sosok rentan.
Meskipun benang merah data pelaku dan korban telah mulai gamblang terlihat, hal tersebut belum cukup membantu para ahli untuk merumuskan strategi pencegahannya.Â
Perdebatan tentang motif di balik pelaku serta atribut kepribadian khusus pelaku kekerasan seksual menjadi hal yang paling menarik dibahas.Â
Di barat, gerakan feminisme pada dekade 1960-an mengubah paradigma dunia tentang bagaimana korban pemerkosaan diperlakukan, mereka tidak lagi ditertawakan, diabaikan, atau disangkal oleh institusi budaya.
Setelah itu, pada tahun 1975, Susan Brownmiller menerbitkan buku Against Our Will, sebuah buku yang membawa wacana kejahatan seksual ke arah baru.Â
Melalui buku tersebut, Brownmiller berusaha untuk membingkai ulang pemerkosaan sebagai masalah politik: perwujudan, dan alat penegakan, kebencian patriarki.Â
"Anatomy is destiny," kata Sigmud Freud yang menegaskan bahwa laki-laki diuntungkan bukan hanya oleh konstitusi biologis --lebih besar dan kuat dibandingkan perempuan, tetapi juga dengan penghargaan akan agresivitas dan dominasinya.
Banyak perempuan lebih memilih laki-laki yang dominan sebagai pasangannya. Inilah konstruksi serasi dominasi.Â