Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Terbesit Kegembiraan atas Kemalangan Orang Lain?

5 November 2020   15:08 Diperbarui: 9 November 2020   13:09 929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menertawakan kemalangan orang lain (Sumber: www.emotivity.my)

Itulah mengapa kita lebih sering menemukan bahwa penikmat acara gosip-gosip televisi adalah ibu-ibu atau kelangan menengah ke bawah. Perdebatan politik juga lebih panas di warung kopi atau masyarakat awam dari pada pelaku politiknya. Pun begitu di media sosial, perdebatan dan saling blokir akan ramai di kalangan orang-orang yang terus menghabiskan waktu hidup di internet.

Kapan menjadi masalah?
Penelitian menunjukkan bahwa emosi schadenfreude mengaktifkan pusat reward di otak. Dopamin akan begitu mudah diakses saat kita merasakan kegembiraan semu ini. 

Wajar jika kita terus menerus datang untuk kembali merasakannya. Masuk dalam percakapan gosip, mengikuti akun gosip, mencari komunitas yang memiliki ideologi politik yang sama, mencari lawan bersama. Terus menerus kita akan mencari jalan baru untuk merasakan nikmatnya dopamin di otak. Tanpa menyadari dan mengendalikan emosi ini, kita tanpa sadar disebut peneliti mengikis kemempuan empati diri sendiri. 

Jika kemampuan empati kita mengikis, ini telah menjadi masalah besar, karena empati merupakan tolok ukur kecerdasan emosional kita. Padahal empati secara umum berlaku untuk keseimbangan mental, menjalin hubungan yang sehat, dan pencapaian tujuan jangka panjang.

Bagaimana menguranginya?
Sama seperti adiksi lainnya, schadenfreude bisa jadi membuat nyaman pada awalnya, namun tetap saja akan berdampak buruk kalau telah menjadi kebutuhan. Karena hal tersebut mengikis secara langsung kemampuan empati dan tentunya perasaan syukur.

Kita bisa saja mengembalikan diri kita untuk berkompetisi dengan diri sendiri, tidak lagi dengan orang lain. Kita tidak lagi menggantungkan keberhasilan dan kebenaran ide kita dari pencapaian orang lain, namun pencapaian diri kita sendiri di masa lampau. 

Ini adalah masalah penempatan tujuan (goal setting). Selain itu saya rasa ajaran agama untuk bersyukur dan menyerahkan semuanya pada pencipta adalah strategi yang lebih dari cukup.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun