Terobsesi dengan berita, berburu kebutuhan pokok dan kebutuhan preventif agar tidak terdampak virus, penutupan sekolah, tempat hiburan, dan kegiatan olahraga, menghindari keramaian, menonton statistik penyakit yang terus meningkat --- semua ini membuat kita merasa stres, takut, cemas dan bingung.
Apalagi sebagain orang menggunakan jargon "perang" untuk menghadapi pandemi. Jika melihat rumah sakit disiapkan sedemikian rupa untuk siaga, ini seperti perang dunia ketiga.Â
Tetapi perang kali ini tidak melibatkan mobilisasi massa, perang hari ini justru sebaiknya, demobilisasi. Namun, dampaknya akan sama,secara ekonomi global, para pakar percaya dunia menuju resesi paling parah yang pernah ada. Sedangkan kita tidak bisa menyaksikan secara langsung, hanya cemas menunggu di balik dinding rumah.
Ketakutan merupakan fenomena evolusioner yang telah banyak diteliti. Para evolusionis percaya bahwa ketakutan merupakan pelayan yang baik bagi fungsi bertahan hidup semua makhluk hidup.Â
Dalam tanyangan dokumenter kehidupan hewan, kita sering melihat mamalia herbivora seperti kerbau, sapi, rusa, antelop yang sedang diintai oleh predator.Â
Salah satu diantaranya mengetahui bahaya tersebut, kemudian membeku sesaat sebelum melompat lari sekencang-kencangnya. Hanya sekejap, perilaku tersebut memicu kawanan lainnya untuk segera melarikan diri.
Secara alamiah, otak dirancang untuk merespons ancaman dari lingkungan. Bahaya yang terdeteksi melalui sensor penglihatan, penciuman, dan bunyi, akan direspon amigdala.Â
Struktur yang terkubur jauh di dalam lobus temporal tersebut kemudian meneruskan sinyal ke daerah otak lain, termasuk daerah hipotalamus dan batang otak, untuk lebih lanjut mengoordinasikan respons pertahanan spesifik.Â
Hasilnya, kita memiliki perilaku otomatis yang tanpa kita sadari mirip dengan perilaku hewan. Psikologi sosial menyebutnya sebagai behavioral immune system, sistem motivasi yang berevolusi sebagai pertahanan pertama manusia untuk menghambat kontak dengan patogen penyebab penyakit.
Respon jijik adalah salah satu komponen paling jelas dari sistem kekebalan perilaku. Kita cenderung menghindar pada hal-hal yang berbau tidak sedap atau makanan yang kita yakini jorok dan mengandung penyakit.Â
Bahkan kita akan muntah bila kita telah menelan makanan yang busuk atau beracun. Dalam konteks sosial, sistem kekebalan perilaku berevolusi dan  memodifikasi interaksi kita untuk menjaga jarak dengan hal-hal yang mengandung potensi penularan penyakit. Kita akan menghindari orang bersin, batuk atau muntah. Inilah jarak sosial alamiah.