Saya juga tidak menyangka setelah seharian beraktifitas, sesaat setelah sembayang ashar tetiba jariku membuka facebook dan menemukan beberapa teman di FB mengucapkan selamat. Tanggal 18 Desember memang bukan ulang tahunku, bukan juga ulang tahun istri, anak atau orangtua. Lagian saya tidak memiliki tradisi perayaan ulang tahun (bukan karena disebut haram dan takut kena auto kafir).Â
Beberapa teman yang mengucapkan selamat, bahwa hari itu --bahkan saya sendiri tidak mengetahuinya- media dan media sosial ramai memperbincangkan pemecatan Jos Mrio dos Santos Mourinho Flix (panjang banget ya namanay Mourinho) dari Manchester United. Tidak semua teman tahu, bahwa sejak 27 Mei 2016 saya telah beikrar untuk cuti mendukung MU meskipun tetap mencintainya. Saya lebih memilih sabar menunggu kabar pemecatan Mourinho untuk kembali menuangkan cinta kepada MU secara kaffah.
Salah satu teman bahkan menyindir saya lewat tulisan dan mempertanyakan model cinta yang saya miliki kepada MU. Dia membandingkan kisah cintanya dengan Juventus yang tidak pernah putus walaupun degradasi di Serie B Italia. Bro, cinta tidak akan pernah sama kan? Cieee. Saya tetap mencintai MU namun tidak mendukungnya untuk berprestasi, karena sosok pelatihnya. Ibarat kata, mungkin polemik cinta saya waktu itu seperti cowok yang menunggu gebetannya putus dari pacaranya. Daaan cinta itu bersemi kembali dan berbunga-bunga ketika mendengar Ole Gunnar Solskjaer dipilih sebagai pelatih sementara. Sudah, sudah malah bahas cinta!
Era Baru MU?
Apa yang saya rasakan sepertinya menjadi euforia Manchunian di seluruh penjuru dunia. Perasaan lega bahwa sang pujaan telah berada pada tangan baru. Apalagi tangan tersebut adalah pahlawan kita bersama tahun 99. Andai saja MU melanjutkan tren buruknya (dan bahkan degradasi sekalipun) saya akan legowo. Lebih terhormat kalah di tangan kekasih sesungguhnya, daripada menang di tangan oportunis sejati hehe.
Baru pertandingan ketiga bersama Solskjaer, Manchester Evening News (30/12/2018) mewartakan bahwa semalam saat menjamu dan melumat Bournemouth nyanyian 'Please don't take my Solskjaer away' berkumandang di Old Trafford.Â
The babyface assassin dengan senyumnya yang tanpa dosa telah menyihir penggemar MU untuk mempertahankannya. Buku rekor telah mencatat bahwa dia adalah manager ketiga yang mampu memenangkan tiga pertandingan liga perdananya, sejajar dengan Sir Matt Busby dan Mou dan melampaui mahaguru Sir Fergie. Bukan hanya itu, permainan MU dianggap jauh lebih menghibur dengan kelahiran 12 gol dalam hanya tiga partai.
Apakah era baru MU akan hadir? Dilihat dari sudut pandang mana dulu? Kalau sudut pandangnya gelimang prestasi dan dominasi, saya rasa sulit untuk melihat dominasi seperti era Sir Fergie di EPL hari ini. Kekuatan klub hampir berimbang di semua lini, lihat saja City, Chelsea, Liverpool, Tottenham dan Arsenal, mereka semua merata. Ditambah dukungan finansial yang bisa datang kapanpun juga dan di klub manapun juga (seperti sihir Chelsea dan City) membuat dominasi selama lebih dari satu dekade hampir mustahil terjadi lagi. Jangan banding EPL dengan Serie A, La liga dan juga Bundesliga. Serie A hanya ada Juventus tanpa lawan, sedangkan La Liga dan Bundesliga hanya ada duopoli. Daya tarik negara Inggris juga saya rasa jauh dari negara lainnya untuk urusan bisnis sepakbola dan sayap-sayapnya.
Jika era baru dilihat dari sudut pandang gaya bermain, ini mungkin rada masuk akal. Namun saya tidak hilang kendali dalam euforia kemenangan di masa bulan madu Solskjaer. Kualitas musuh-musuhnya mencukupkan saya untuk mengendalikan kegembiraan berlebihan. Di atas kertas, Cardiff, Huddersfield dan Bournemouth bukanlah tandingan MU. Namun kita harus melihatnya lebih komprehensif, untuk tetap dalam kadar optimisme yang tidak memabukkan. Peningkatan statistik pertandingan, gaya bermain terutama transisi menyerang-bertahan dan juga suasana 'hangat'-nya ruang ganti merupakan beberapa hal yang dapat dijadikan pondasi optimisme MU pada era Solskjaer.
Mengenal Solskjaer Sebagai Manager
Salah satu mantan anak asuhnya di Molde, Mattias Mostrm dalam sebuah tulisan di Guardian (21/12/2018) menyatakan bahwa dia telah merasakan "wow moment" saat pertamakali bertemu Solskjaer pada era pertama dia melatih Molde tahun 2012. Hal pertama yang mengagetkan menurutnya adalah kontras antara penampakan muka dengan kebijakan yang dipilih.Â
Senyuman yang senantiasa mengembang di raut wajah Solskjaer menurut Mostrm berbeda dengan keberaniannya merubah filosofi dan paradigma bermain pemainnya. Di saat pesepakbola Norwegia menjunjung tinggi "Drillo Football" --yang berasal dari filosofi Egil 'Drillo' Olsen saat melatih timnas Norwegia pada tahun 90an- Solskjaer malah merubahnya dengan radikal. Ya, gaya Drillo Football yang mengandalkan bola mati, serangan cepat dan kekuatan fisik dirombak total dengan terus bergerak, mengumpan dan mengandalkan kecerdikan berpikir taktikal.
Hal kedua yang menurut Mostrm sangat mengesankan dari Solskjaer adalah kecerdikannya dalam berkomunikasi dengan siapapun. Sebagai manager, dia disebut sangat mengenal seluk beluk semua orang yang bekerja untuk klub, mulai dari pemain, asisten pelatih, sampai pekerja rumput stadion. Mostrm menyebut Solskjaer ingin semua orang yang bekerja untuk klub merasa memiliki klub. Dengan begitu, suasana menjadi nyaman dan ramah. Molde bagi Mostrm saat itu adalah rumah kedua yang membahagiakan setiap orang yang bekerja disana.
Soal ketiga masih tentang komunikasi, namun ini khusus dengan pemain-pemain yang sedang tidak dalam penampilan terbaik. "He is a master at pushing the right buttons to get the reaction he wants" begitu kata Mostrm menggambarkan kecerdikan komunikasi mantan managernya tersebut. Setiap pemain memiliki kepribadian tersendiri, sehingga membutuhkan pendekatan berbeda untuk membuat pemain menampilkan performa teraiknya. Inilah yang disebut pushing the right buttons, menekan tombol dengan tepat. Ada pemain yang butuh teriakan bahkan tritmen pengering rambut ala mahaguru Sir Fergie, ada juga pemain yang membutuhkan dialog dari hati ke hati. Semuanya diperhatikan Solskjaer dengan detil dan penuh pertimbangan.
Terkait kegagalan Solskjaer pada saat menangani Cardiff City, Mostrm menyebut tidak fair jika hal tersebut digunakan untuk memprediksi Solskjaer di MU. Mengapa? Karena wewenang, kualitas tim dan juga momentum saat itu sangat berbeda dengan sekarang.
Okelah kalau begitu. Bagi Manchunian, silahkan hembuskan optimisme di tahun 2019, namun jangan berlebihan seperti sebagian pendukung pak Jokowi Liverpool.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H