Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Tidak Kagetan dari Gus Mus

8 November 2018   15:14 Diperbarui: 8 November 2018   15:20 1096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sulit untuk tidak mengambil kesempatan berharga, apalagi jika tidak terlalu membutuhkan usaha ekstra mendapatkannya. Itulah yang ada di benak saya ketika mendengar Kyai Mustofa Bisri atau biasa disapa dengan Gus Mus bersedia menyempatkan waktu untuk mengisi seminar di kampus 7 November 2018. 

Sedari pagi hari saya sudah menyiapkan diri untuk hadir di lokasi, bahkan saya sudah menyiapkan pesan whatsapp berupa himbauan kepada mahasiswa untuk memindahkan kelas di forum seminar. 

Sayangnya, terkadang fokus kita ambyar karena antusiasme berlebih. Saat pukul 9, saya kecelik karena ternyata acara dilaksanakan pada malam hari mulai pukul 20.00 WIB. Haha nasib orang kebelet.

Acara yang saya nantikan akhirnya tiba, ruangan telah penuh ketika saya datang bersama istri terkasih. Maklum, sebelum berangkat saya harus berusaha ekstra mengantarkan dua jagoan kecil ke alam mimpi dengan bercerita. 

Tak menunggu lama, setelah menyapa beberapa teman di bangku belakang, saya merangsek ke barisan depan yang masih lumayan longgar. Bangsa kita kan emang baik, barisan depan biasanya emang lumayan longgar untuk memberikan kesempatan pada telat-an. Lihat aja forum-forum lainnya, seperti kelas, workshop atau apapun (kecuali temu artis mungkin) kan yang penuh bagian belakang dulu.

Gus Mus dan Kritik Santun

Membuka ceramah, dengan sedikit kelakar Gus Mus memberikan kritik kepada masyarakat ilmiah (baca: kampus). Di depan forum, Gus Mus menggeser cara duduk dan menoleh ke belakang untuk melihat tema seminar. 

"Saya itu tidak pernah sekolah (formal) sampai level tinggi, saya orang pondokan deles (totok/murni). Jadi nanti kalau isi ceramah saya tidak nyambung dengan judul seminar...apa itu, sulit dan panjang sekali, mohon dimaklumi". 

Sebagai masyarakat kampus saya langsung menyambutnya dengan tertawa lebar. Saya merasa panah kritik Gus Mus langsung menancap di jantung. Itulah memang keadaan masyarakat ilmiah 'formal' kita yang bernama universitas. Menggunakan istilah yang bombastis, sulit dipahami awam dan "jangan-jangan moderatornya juga bingung" tambah Gus Mus menambahi kelakarnya. 

Kampus yang diidentikkan dengan masyarakat ilmiah selalu memiliki jarak yang begitu lebar dengan masyarakat awam yang notabene adalah pengguna ilmu pengetahuan. Nyatanya jarang sekali ada tema atau judul entah itu seminar, penelitian atau publikasi yang gampang dipamahi awam. Oia, pengen tau judul seminranya? "Estetika Bahasa dan Sastra Mewujudkan Perdamaian Nusantara". Sangar kan?

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Mengapa Sastra?

Melanjutkan ceramahnya, Gus Mus memaparkan sejarah bahwa Allah menurunkan utusanNYA sesuai dengan konteks zamannya masing-masing. Seperti Nabi Musa yang diturunkan dengan Mu'jizat tongkat, karena pada masyarakat Mesir saat itu penyihir menduduki kasta sosial teratas masyarakatnya. 

Begitu juga saat Nabi Isa, dengan mukjizatnya untuk menghadapi masyarakat yang menempatkan ahli kesehatan sebagai kasta teratasnya. Dakwah Nabi Musa dan Isa menemui titik terangnya saat orang-orang kasta teratas zaman tersebut mengimani Allah salah satunya melalui perantara mukjizat.

Dua sejarah tersebut memberikan pengantar penjelasan mengapa Al-Quran adalah mukjizat Rasulullah Muhammad SAW. Zaman saat Kanjeng Nabi diturunkan adalah zaman dimana manusia sedang gandrung dengan sastra, penyair adalah manusia yang dimuliakan saat itu. 

Bahkan Gus Mus memberikan gambaran betapa sebuah kabilah sangat berbahagia dan berpesta saat mengetahui salah satu anggota keluarganya adalah sebuah penyair adiluhung. 

"Al-Quran adalah puncak sastra, keindahannya tidak akan tertandingi sampai yaumul kiyamah" bagitu dawuh Gus Mus. Beliau memperjelas dengan "bahkan sampai hari ini tantangan Al-Quran masih berlaku, bagi siapa saja yang bisa membuat karya yang kualitas sastranya di atas Al-Quran."

Oleh karena kemukjizatannya, jadi aneh bagi Gus Mus bila ada orang-orang yang mengaku mengimani Al-Quran namun berperilaku keras. Karena "sastra an sich saja bisa melembutkan hati seseorang, apalagi sastra Illahi" jelas beliau. Jika ingin melihat Al-Quran sebagai pribadi manusia, maka tidak ada yang lain kecuali Kanjeng Nabi Muhammad SAW. 

Wajah Rasulullah SAW adalah wajah ramah, lembut, selalu tersenyum dan memancarkan kebahagiaan. Akan menjadi sangat aneh jika ada seorang yang mengaku umat Kanjeng Nabi, namun suka marah, keras dan gampang tersinggung.

Jangan Kagetan

Sebagai seorang budayawan, Gus Mus merasa khawatir tentang apa yang terjadi hari ini adalah cerminan zaman Rasulullah SAW. Kedudukan sastra dan sastrawan sebagai kelas sosial atas membuat mereka memiliki otoritas untuk membentuk opini masyarakat. Sehingga seringkali opini dibentuk bukan berdasarkan fakta, melainkan berdasarkan tafsiran pujangga atas realitas. 

Mirip dengan pujangga zaman Rasulullah SAW, pers dan media sosial sebagai pemegang arus informasi bisa saja dijadikan rujukan seseorang untuk membentuk pemahaman mereka. Sehingga siapa saja yang memiliki otoritas atas informasi bisa menggunakannya untuk membentuk opini masyarakat.

Tidak terbantahkan oleh pihak manapun, bahwa Rasulullah SAW adalah manusia sempurna. Melalui hal tersebut Gus Mus berpesan kepada mahasiswa untuk menjadi pendakwah yang semampu-mampunya mencontoh Rasulullah SAW. Bagaimana caranya? Mengutamakan berdakwah dengan berperilaku yang mencerminkan nilai-nilai Al-Qur'an terlebih dahulu sebelum berkata-kata (terlebih menggunakan dalil). 

Seperti yang pernah diungkapkan oleh Siti Aisyah RA kana khuluquhul qur'an. Cara-cara tersebut pernah dipakai oleh penyebar Islam di Nusantara, dengan mengakulturasikan budaya sesuai nilai-nilai Islam. Jadi aneh jika ada orang alergi dengan istilah Islam Nusantara, karena sebutan tersebut mengacu pada akulturasi budaya setempat dengan nilai-nilai Islam dalam Al-Qur'an.

Terkait akhir-akhir ini di negara tercinta sedang ramai tentang bendera dengan lafal tauhid, beliau berpesan agar kita harusnya bersikap objektif melihat hal tersebut. Jangan malah membangun opini demi kepentingan kelompok. 

"Kalau sekarang ada yang berani bersu'udzon (berburuk sangka) kepada Kanjeng Nabi dengan mengakatan menulis kalimat tauhid di bendera, saya khawatir kalian akan semakin kurang ajar dengan dengan menyebut Kanjeng Nabi nyablon bendera" kelakar beliau menanggapi salah satu pendakwah yang membangun opini bahwa bendera kontroversial adalah warisan Rasul.

Pungkasnya, jangan kagetan. Karena arus informasi begitu deras, anda belum tau sedang hanyut dalam arus yang mengarah kemana. Hari ini teriak, besok tidak mengakui teriakannya. Kalau sudah begitu kan repot.

Aslinya masih banyak pelajaran yang diberikan kurang lebih dua jam oleh Gus Mus. Kalau penasaran ikuti forum-forum serupa di daerah masing-masing ya. PERINGATAN: Mengaji dengan Kyai sepuh seperti Gus Mus dan lainnya dapat menyebabkan HATI LEMBUT, SELALU TERSENYUM dan tidak gampang NGAMUKAN.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun