Melanjutkan ceramahnya, Gus Mus memaparkan sejarah bahwa Allah menurunkan utusanNYA sesuai dengan konteks zamannya masing-masing. Seperti Nabi Musa yang diturunkan dengan Mu'jizat tongkat, karena pada masyarakat Mesir saat itu penyihir menduduki kasta sosial teratas masyarakatnya.Â
Begitu juga saat Nabi Isa, dengan mukjizatnya untuk menghadapi masyarakat yang menempatkan ahli kesehatan sebagai kasta teratasnya. Dakwah Nabi Musa dan Isa menemui titik terangnya saat orang-orang kasta teratas zaman tersebut mengimani Allah salah satunya melalui perantara mukjizat.
Dua sejarah tersebut memberikan pengantar penjelasan mengapa Al-Quran adalah mukjizat Rasulullah Muhammad SAW. Zaman saat Kanjeng Nabi diturunkan adalah zaman dimana manusia sedang gandrung dengan sastra, penyair adalah manusia yang dimuliakan saat itu.Â
Bahkan Gus Mus memberikan gambaran betapa sebuah kabilah sangat berbahagia dan berpesta saat mengetahui salah satu anggota keluarganya adalah sebuah penyair adiluhung.Â
"Al-Quran adalah puncak sastra, keindahannya tidak akan tertandingi sampai yaumul kiyamah" bagitu dawuh Gus Mus. Beliau memperjelas dengan "bahkan sampai hari ini tantangan Al-Quran masih berlaku, bagi siapa saja yang bisa membuat karya yang kualitas sastranya di atas Al-Quran."
Oleh karena kemukjizatannya, jadi aneh bagi Gus Mus bila ada orang-orang yang mengaku mengimani Al-Quran namun berperilaku keras. Karena "sastra an sich saja bisa melembutkan hati seseorang, apalagi sastra Illahi" jelas beliau. Jika ingin melihat Al-Quran sebagai pribadi manusia, maka tidak ada yang lain kecuali Kanjeng Nabi Muhammad SAW.Â
Wajah Rasulullah SAW adalah wajah ramah, lembut, selalu tersenyum dan memancarkan kebahagiaan. Akan menjadi sangat aneh jika ada seorang yang mengaku umat Kanjeng Nabi, namun suka marah, keras dan gampang tersinggung.
Jangan Kagetan
Sebagai seorang budayawan, Gus Mus merasa khawatir tentang apa yang terjadi hari ini adalah cerminan zaman Rasulullah SAW. Kedudukan sastra dan sastrawan sebagai kelas sosial atas membuat mereka memiliki otoritas untuk membentuk opini masyarakat. Sehingga seringkali opini dibentuk bukan berdasarkan fakta, melainkan berdasarkan tafsiran pujangga atas realitas.Â
Mirip dengan pujangga zaman Rasulullah SAW, pers dan media sosial sebagai pemegang arus informasi bisa saja dijadikan rujukan seseorang untuk membentuk pemahaman mereka. Sehingga siapa saja yang memiliki otoritas atas informasi bisa menggunakannya untuk membentuk opini masyarakat.
Tidak terbantahkan oleh pihak manapun, bahwa Rasulullah SAW adalah manusia sempurna. Melalui hal tersebut Gus Mus berpesan kepada mahasiswa untuk menjadi pendakwah yang semampu-mampunya mencontoh Rasulullah SAW. Bagaimana caranya? Mengutamakan berdakwah dengan berperilaku yang mencerminkan nilai-nilai Al-Qur'an terlebih dahulu sebelum berkata-kata (terlebih menggunakan dalil).Â