Dalam waktu hampir bersamaan, saya diminta menjadi pemateri acara mahasiswa terkait penulisan ilmiah. Dari berbagai sudut pandang, permintaan tersebut tentu bukan permintaan sederhana. Mengingat kemampuan saya di satu sisi dan beban moral sebagai pemateri di sisi lainnya. Saya bukan tipe pesimistis, hanya saja saya merasa banyak dosen senior yang lebih daripada saya dalam bidang ini, baik dari sisi pengetahuan maupun pengalamaan sebagai penulis (tentu juga peneliti) ilmiah. Selain itu, setahu saya di setiap jurusan pastilah ada matakuliah yang nyrempetke penulisan ilmiah. Pada sisi lain sebagai newbie,saya belum memiliki banyak asam garam terjun ke lapangan untuk melakukan riset. Karena jelas jelas riset merupakan kata kunci untuk sesuatu disebut ilmiah.
Tentang menulis dan masalah pertamanya
Okelah, saya akan memulai pada hal sederhana terkait penulisan ilmiah. Namanya juga penulisan, artinya semuanya harus dimulai dengan menulis. Secara sederhana, setiap manusia di dunia memulai aktivitas ini sejak masuk bangku sekolah. Masalahnya adalah menulis ternyata tidak sesederhana mengetahui bentuk huruf kemudian mengguratkannya. Menulis juga tidak semudah merangkai huruf menjadi sebuah kata dan kalimat. Kebanyakan dari kita akan menemui masalah menulis jika telah berada pada fase melangkah pada kalimat berikutnya. Melanjutkan kalimat, bagi saya adalah fase dimana seseorang menemukan perbedaan menulis "hanya" dalam rangkaian huruf dengan menulis sebagai "buah" ide.
Terlihat sederhana memang, namun perlu diketahui, bukankah sesuatu yang besar dimulai dari yang sederhana? Saya masih ingat betul sewaktu kecil belajar menulis huruf menjadi kata dan kalimat di bangku SD, semisal saya menulis: "Bapak Budi pergi bekerja". Kalimat tersebut adalah kalimat sederhana, waktu itu saya juga sudah paham makna kalimat tersebut secara sederhana pula. Namun tulisan tersebut adalah tulisan tanpa ide, karena selain menyalin perintah guru di kelas, saya juga tidak memiliki rasa ingin tahu dan ide melanjutkannya sebagai sebuah cerita.
Mengapa waktu itu saya tidak berpikir siapakah budi? Kelas berapa dia? Siapa pula bapaknya? Apakah pekerjaannya? Apakah bapaknya berhasil dalam pekerjaannya? Kok ibunya gak disebutkan? Dan mengapa pula si budi disebut-sebut untuk kita tuliskan dalam buku kita? Tentu lebh banyak pertanyaan untuk melanjutkan kalimat tersebut. Namun apakah saya waktu itu melakukannya? Tentu tidak, mengapa? Jawabannya dua, saya belum ingindan tidak juga memiliki idejika saja saya ingin.
Modal dasar menulis
Contoh sederhana di atas semoga membantu kita semua untuk memahami mengapa seseorang menulis. Minimal kita tahu bahwa menulis membutuhkan dua komposisi lainnya selain pengetahuan dasar tentang huruf, yaitu keinginan dan juga keterampilan. Pengetahuan dasar menulis saya yakin semua orang yang membaca tulisan ini memilikinya. Dimana kita mengenal huruf dan masih mampu mengontrol motorik halus kita, dipastikan kita bisa menulis. Namun apakah hal tersebut semata-mata dapat menjadikan kita sebagai penulis? Menurut uraian sebelumnya, kita masih membutuhkan dua modal lainnya.
Dorongan dari dalam diri merupakan pondasi kedua. Kita menyebutnya sebagai keinginan, atau popular disebut motivasi. Sejujurnya saya enggan menuliskan kata terakhir kalimat sebelum ini. Mengingat dia terkadung masyhur sebagai barang dagangan. Layaknya barang dagangan, dia banyak dikemas sedemikian rupa untuk menarik pembeli. Dan kebetulan juga laris manis. Namun apa dikata, seperti kita yang ekstasedengan rasa p*pmie, kita lupa untuk membangkitkan rasa ingin tahu kita bagaimana dia diracik, diproduksi, dan dipasarkan hingga membuat kita terbuai.
Saya teringat tempo hari seorang teman meminta teori motivasi untuk anak-anak didiknya agar lebih rajin belajar. Secara kasat mata, saya menangkap permintaan tersebut sebagai hasil dari banyaknya acara televisi yang memuat secara instan produk yang bernama motivasi. Kita tahu bahwa tidak mungkin ada teori yang mak bedundukdapat dengan gampang diaplikasikan. Teori apapun. La wongteori bukanlah petunjuk masak pada bungkus p*pmie. Teori apapun juga merupakan pandangan general (umum) tentang sesuatu. Dia membutuhkan pendekatan dan juga metodologi untuk menjadi produk yang siap disantap.
Seperti cerita tersebut, motif yang menggerakkan perasaan ingin tahu kita harusnya bukan sesederhana seperti yang diomongkan dalam mimbar. Banyak hal dapat memolesnya sehingga menjadi motivasi, apalagi motivasi untuk menulis. Bisa jadi, kita ingin menulis karena paksaan tugas, karena ingin mendokumentasikan agar kita tetap mengingatnya, karena memang kita ingin lebih dalam mempelajari hal tersebut atau bahkan hanya karena kita membaca sobekan bungkus p*pmie. Kok dia lagi! hehe.
Untuk mengarahkan motif kita menjadi motivasi yang positif seperti menulis, kita membutuhkan pondasi ketiga, yaitu keterampilan. Keterampilan adalah sebuah proses, dia membutuhkan dua faktor pertama dan juga pembiasaan terus menerus. Tidak mungkin seseorang memiliki keterampilan tertentu jika dia tidak mengasahnya secara terus menerus. Ringkasnya, tanpa ide kita tidak akan bisa menulis. Ide tidak akan muncul jika kita tidak memiliki dasar pengetahuan. Dasar pengetahuan dapat kita peroleh dengan belajar, baik itu membaca, bertanya ataupun mengamati sesuatu. Ide dan dasar pengetahuan tidak akan pernah cukup untuk mengantarkan kita menulis jika kita tidak terus menerus melatihkannya. Intinya, menulis memang bukan perkara yang terjadii sesingkat kita membuat p*pmie. Loh kan lagi! Wong menuliskan proses membuatnya yang mudah aja kita belum tentu bisa toh.
Apalagi menulis ilmiah
Saya tidak akan membandingkan kesulitan antara menulis ilmiah dengan non ilmiah. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing sebagai sebuah proses penulisan. Tulisan ilmiah merupakan sebuah rangkaian tulisan yang melaporkan sebuah penelitian --baik berupa penelitian tinjauan atas penelitian terdahulu (reviewing reaseach) ataupun penelitian original (original research). Tulisan jenis ini dibuat sebagai bentuk keinginan berbagi (share) dan terbuka (openness) untuk pengembangan jenis keilmuan tertentu. Mengingat tujuan utamanya adalah pengembangan keilmuan, penulis ilmiah memiliki beban etik tersendiri yang ketat binkaku. Memposisikan diri untuk menulis ilmiah, sama saja memposisikan diri sebagai peneliti. Inilah yang jarang sekali disadari oleh kebanyakan dari kita. Namanya juga peneliti, jelas modal utamanya adalah kedisiplinan dan kewaspadaan terkait beberapa hal sebagai berikut.
Pertama adalah sumber (ide) tulisan. Jika kita menginginkan tulisan kita dianggap ilmiah, syarat pertamanya adalah memiliki asal usul yang jelas. Artinya, setiap ide dalaam tulisan harus memiliki muara yang dapat dipertanggungjawabkan. Apabila ide tersebut merupakan ide orang lain, maka wajib bagi kita untuk menyebutkan nama orang, lembaga ataupun jenis sumber yang lainnya dalam tulisan kita. Tidak hanya itu, kita juga wajib menyebutkan tahun kapan ide terlebut disebutkan oleh sumber yang kita rujuk. Syarat inilah yang kemudian hari kita sebut dengan sebutan citation(sitasi). Sitasi merupakan kewajiban sekaligus tanggung jawab penulis kepada pembaca bahwa beberapa bagian dalam tulisannya berasal dari sumber yang telah ditulis oleh penulis lainnya. Artinya, penulis ilmiah ditantang untuk gentlemengakui dan berbaik hati membuka jalur bagi pembacanya kepada sumber rujukan untuk memperkaya pengetahuan pembaca. Sampai disini penulis ilmiah juga berurusan dengan pembuktian pepatah yang mengatakan bahwa memang terkadang rumput tetangga terlihat lebih hijau dan copytetangga lebih nikmat.Â
Pertanyaannya adalah apakah yang terjadi bila penulis ilmiah tidak melakukan aktivitas sitasi? Secara administratif dia akan dipastikan sebagai plagiator. Jika secara administratif saja disebut melakukan plagiat, apalagi secara substantif? Hukuman bagi plagiator bukan main-main, bisa jadi gelar akademiknya dicabut dan banyak lagi sesuai Undang Undang dan Peraturan Menteri. Sudah barang tentu ada hukuman sosial yang sangat mengerikan seperti pengucilan dan turunnya kepercayaan publik. Karena plagiator adalah pembohong dan pencuri yang tertangkap.
Paparan di atas memberitahu kepada kita bahwa tulisan ilmiah memiliki beban baik beban substantif maupun beban administratif terkait sumber ide tulisannya. Secara substantif mungkin penulis bisa saja berkelit dan pembuktiannya bisa saja berlarut dalam siding-sidang etik, namun secara administratif, hari ini tekhnologi sudah memberikan jawaban lewat berbagai sistem aplikasi yang dapat mendeteksi kepatuhan sitasi penulis. Sebut saja Turnitine, Mendeley,Wcopyfind, dan banyak lainnya.  Â
Kedua tentang prosesnya. Tulisan ilmiah --yang didalamnya pasti terkandung hasil penelitian, membutuhkan proses panjang yang harus dilakukan secara sistematis dan penuh kewaspadaan. Proses inilah yang biasa dikemas dalam bentuk metodologi. Metodologi merupakan seperangkat cara yang direncanakan, terstruktur dan sistematis untuk menuntun seseorang memperoleh ilmu pengetahuan. Melalui cara inilah seseorang dapat mengolah suatu data atau temuan untuk dikemas dalam sebuah karya tulisan ilmiah. Tanpa melewati metodologi, penulis dipastikan akan mengalami kesulitan jika pembaca bertanya tentang anggapan kebenaran yang ditulisnya. Setiap banku perkuliahan pasti memberikan ilmu tentang metodologi untuk mempertanggungjawabkan produksi pengetahuan mereka.
Metodologi secara langsung akan membuktikan faktor ketiga, yaitu objektivitas. Setiap yang ilmiah haruslah sesuatu yang dapat dibuktikan kepada orang lain. Bukan hanya itu, pembuktian tersebut harusnya diikuti dengan cara-cara yang dapat digunakan orang lain untuk membuktikannya (metodologi). Jika ada seseorang yang mengaku mampu menggandakan uang, apakah hal tersebut (menggandakan uang) adalah sesuatu yang dapat disebut objektif. Mari kita lihat. Apakah objeknya ada dan dapat dibuktikan? Jawabannya iya, uang. namun apakah objektivitas hanya berhenti disana? Belum, ada satu lagi syarat untuk dikatakan objektif. Apakah orang lain dapat melakukan hal yang sama? Pertanyaan terakhir ini adalah terkait bagaimana aktivitas menggandakan uang tersebut dapat dilakukan oleh orang lain menggunakan cara-cara tertentu yang dapat dipelajari oleh siapapun. Saya yakin jawabannya tidak. Berarti aktivitas tersebut bukanlah sesuatu yang objektif. Itulah objektivitas, berbicara tentang kemauan seseorang untuk membuka kebenaran bukan hanya untuk diri sendiri (subjektif), namun juga untuk siapa saja.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H