Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menulis Saja Dulu, Ilmiah Kemudian

22 September 2017   08:43 Diperbarui: 23 September 2017   05:45 4081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar diambil dari www.sciencenewsforstudents.org

Apalagi menulis ilmiah

Saya tidak akan membandingkan kesulitan antara menulis ilmiah dengan non ilmiah. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing sebagai sebuah proses penulisan. Tulisan ilmiah merupakan sebuah rangkaian tulisan yang melaporkan sebuah penelitian --baik berupa penelitian tinjauan atas penelitian terdahulu (reviewing reaseach) ataupun penelitian original (original research). Tulisan jenis ini dibuat sebagai bentuk keinginan berbagi (share) dan terbuka (openness) untuk pengembangan jenis keilmuan tertentu. Mengingat tujuan utamanya adalah pengembangan keilmuan, penulis ilmiah memiliki beban etik tersendiri yang ketat binkaku. Memposisikan diri untuk menulis ilmiah, sama saja memposisikan diri sebagai peneliti. Inilah yang jarang sekali disadari oleh kebanyakan dari kita. Namanya juga peneliti, jelas modal utamanya adalah kedisiplinan dan kewaspadaan terkait beberapa hal sebagai berikut.

Pertama adalah sumber (ide) tulisan. Jika kita menginginkan tulisan kita dianggap ilmiah, syarat pertamanya adalah memiliki asal usul yang jelas. Artinya, setiap ide dalaam tulisan harus memiliki muara yang dapat dipertanggungjawabkan. Apabila ide tersebut merupakan ide orang lain, maka wajib bagi kita untuk menyebutkan nama orang, lembaga ataupun jenis sumber yang lainnya dalam tulisan kita. Tidak hanya itu, kita juga wajib menyebutkan tahun kapan ide terlebut disebutkan oleh sumber yang kita rujuk. Syarat inilah yang kemudian hari kita sebut dengan sebutan citation(sitasi). Sitasi merupakan kewajiban sekaligus tanggung jawab penulis kepada pembaca bahwa beberapa bagian dalam tulisannya berasal dari sumber yang telah ditulis oleh penulis lainnya. Artinya, penulis ilmiah ditantang untuk gentlemengakui dan berbaik hati membuka jalur bagi pembacanya kepada sumber rujukan untuk memperkaya pengetahuan pembaca. Sampai disini penulis ilmiah juga berurusan dengan pembuktian pepatah yang mengatakan bahwa memang terkadang rumput tetangga terlihat lebih hijau dan copytetangga lebih nikmat. 

Pertanyaannya adalah apakah yang terjadi bila penulis ilmiah tidak melakukan aktivitas sitasi? Secara administratif dia akan dipastikan sebagai plagiator. Jika secara administratif saja disebut melakukan plagiat, apalagi secara substantif? Hukuman bagi plagiator bukan main-main, bisa jadi gelar akademiknya dicabut dan banyak lagi sesuai Undang Undang dan Peraturan Menteri. Sudah barang tentu ada hukuman sosial yang sangat mengerikan seperti pengucilan dan turunnya kepercayaan publik. Karena plagiator adalah pembohong dan pencuri yang tertangkap.

Paparan di atas memberitahu kepada kita bahwa tulisan ilmiah memiliki beban baik beban substantif maupun beban administratif terkait sumber ide tulisannya. Secara substantif mungkin penulis bisa saja berkelit dan pembuktiannya bisa saja berlarut dalam siding-sidang etik, namun secara administratif, hari ini tekhnologi sudah memberikan jawaban lewat berbagai sistem aplikasi yang dapat mendeteksi kepatuhan sitasi penulis. Sebut saja Turnitine, Mendeley,Wcopyfind, dan banyak lainnya.   

Kedua tentang prosesnya. Tulisan ilmiah --yang didalamnya pasti terkandung hasil penelitian, membutuhkan proses panjang yang harus dilakukan secara sistematis dan penuh kewaspadaan. Proses inilah yang biasa dikemas dalam bentuk metodologi. Metodologi merupakan seperangkat cara yang direncanakan, terstruktur dan sistematis untuk menuntun seseorang memperoleh ilmu pengetahuan. Melalui cara inilah seseorang dapat mengolah suatu data atau temuan untuk dikemas dalam sebuah karya tulisan ilmiah. Tanpa melewati metodologi, penulis dipastikan akan mengalami kesulitan jika pembaca bertanya tentang anggapan kebenaran yang ditulisnya. Setiap banku perkuliahan pasti memberikan ilmu tentang metodologi untuk mempertanggungjawabkan produksi pengetahuan mereka.

Metodologi secara langsung akan membuktikan faktor ketiga, yaitu objektivitas. Setiap yang ilmiah haruslah sesuatu yang dapat dibuktikan kepada orang lain. Bukan hanya itu, pembuktian tersebut harusnya diikuti dengan cara-cara yang dapat digunakan orang lain untuk membuktikannya (metodologi). Jika ada seseorang yang mengaku mampu menggandakan uang, apakah hal tersebut (menggandakan uang) adalah sesuatu yang dapat disebut objektif. Mari kita lihat. Apakah objeknya ada dan dapat dibuktikan? Jawabannya iya, uang. namun apakah objektivitas hanya berhenti disana? Belum, ada satu lagi syarat untuk dikatakan objektif. Apakah orang lain dapat melakukan hal yang sama? Pertanyaan terakhir ini adalah terkait bagaimana aktivitas menggandakan uang tersebut dapat dilakukan oleh orang lain menggunakan cara-cara tertentu yang dapat dipelajari oleh siapapun. Saya yakin jawabannya tidak. Berarti aktivitas tersebut bukanlah sesuatu yang objektif. Itulah objektivitas, berbicara tentang kemauan seseorang untuk membuka kebenaran bukan hanya untuk diri sendiri (subjektif), namun juga untuk siapa saja.

Ilustrasi gambar diambil dari www.eui.eu
Ilustrasi gambar diambil dari www.eui.eu
Di luar ketiga aspek utama di atas, ilmiah merupakan sebuah prosedur untuk mendekati dan memaparkan (hasil pendekatan) terhadap suatu ilmu (kebenaran). Dalam prakteknya, ilmiah lekat dengan dunia akademis formal (sekolah) yang memang memiliki prosedural ketat, terlebih jenjang universitas. Jadi sangat terlihat aneh jika seseorang mengaku sebagai akademisi (mahasiswa, guru atau dosen) namun jarang atau tidak pernah menulis. Menulis saja tidak, apalagi menulis dalam ranah ilmiah? Saya kira hal tersebut sama saja seperti ikan yang tidak bisa berenang.

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun