Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Tawuran Timnas, Headbutt Zidane dan Tiga Faktor Kunci Mental Bertanding

25 Agustus 2017   08:11 Diperbarui: 25 Agustus 2017   18:28 2713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari bolasport.com

Headbutt Zidane kepada Materazzi saat extra time final piala dunia 2006 di Berlin merupakan contoh sempurna bagaimana pemain besar-pun tumbang dengan mind-game. Materazzi merupakan tipikal pemain yang tahu betul bahwa terkadang pertandingan harus dimenangan dengan permainan pikiran --melalui provokasi.

Sebutan Matrix oleh penggemarnya merupakan penghargaan atas "kelebihan"nya tersebut. Sebagai sebuah bek, jelas dia bukanlah bek dengan kualitas teknik di atas rata-rata pada zamannya. Namun dia punya "kecerdikan lain" untuk menjatuhkan musuhnya, terlepas pro-kontra yan menyelimutinya.

Dalam sebuah kejuaraan, olahraga bukanlah semata kemampuan atlet dalam menampilkan teknik dan tenaga, melainkan juga kemampuan mengolah mental. Kejadian bertubi-tubi tentang perasaan atlet Indonesia "dicurangi" dalam Sea Gamesdi Malaysia tahun 2017 ini merupakan cermin yang pas untuk melihat seberapa jauh keseimbangan tenaga, teknik dan pikiran atlet kita.

Mulai dari kasus WO (plus adegan tangis massal) saat dicurangi dalam cabang sepak takraw sampai yang teranyar kasus perkelahian pemain sepakbola saat melawan Kambodja merupakan rentetan PR besar yang harus segera diselesaikan oleh jajaran pelatih masing-masing cabang.

Dalam buku yang terbit tahun 2007 berjudul Handbook of Sport Psychology,Robin S. Vealey menyebut setidaknya terdapat minimal empat keterampilan dasar mental yang harus dikuasai oleh atlet melalui latihan terus menerus, yaitu keterampilan dasar (foundation Skill), keterampilan penampilan (performance skill), keterampilan pengembangan diri (personal development skill), dan keterampilan tim (team skill). Keempat aspek tersebut dalam beberapa penelitian psikologi merupakan bangunan mental utama yang dimiliki atlet-atlet terkemuka dari berbagai cabang olahraga. Kebetulan aspek pertama sudah pernah saya ulas pada tulisan dapur mental olahraga.

Dalam kasus semalam, terkait "tawuran" antar pemain timnas sepakbola Indonesia Vs Kambodja, sepertinya kita perlu menyimak skill kedua bangunan mental menurut Vealey yaitu keterampilan penampilan (performance skill/PS) pemain-pemain kita.

Gambar diambil dari bolasport.com
Gambar diambil dari bolasport.com
Faktor kunci performa pemain saat bertanding

Performance skill merupakan kemampuan mental yang penting untuk digunakan saat pemain  memperlihatkan skill olahbola di atas lapangan. Komentator bola di Indonesia sering menyebut kemampuan ini sebagai mental bertanding. Artinya, tanpa kemampuan ini pemain tidak akan mampu memperlihatkan kemampuan asli mereka atau mengeksekusi taktik-taktik yang sudah dikemas dalam latihan. 

Vealey membagi kemampuan ini dalam tiga aspek dasar, yaitu kemampuan berpikir perseptual (perceptual-cognitive skill/PCS), memfokuskan perhatian (attention focus/AF), serta mengatur energi (energy management/EM). Singkat kata teori ini memberikan kita rumus PCS (berpikir cerdas) + AF (menjaga fokus) + EM (mengatur emosi) = V (kemenangan). Pertanyaannya, benarkah dalam pertandingan semalam aspek performance skillpemain-pemain kita jeblok? Mari kita lihat!

Kemampuan berpikir perseptual (PCS) sebagai aspek pertama PS sepertinya tidak berjalan dengan baik. PCS mengacu pada struktur pengetahuan dan cara berpikir pemain dalam mengeksekusi taktik pelatih. Meskipun menguasai jalannya pertandingan dengan 68% penguasaan bola, Evan Dimas dkk. seringkali gagal membaca arah taktik defensif lawan. 

Hal tersebut dapat dibuktikan dengan "hanya" memiliki 4 tembakan mengarah ke gawang dari 22 total peluang yang dibangun. Statistik tersebut dapat dijelaskan dalam beberapa hal penting, yaitu kemampuan pemain mengingat taktik, mendeteksi dengan cepat taktik yang cocok saat dalam posisi tertentu sampai pada kemampuan mengambil keputusan (cepat dan tepat) saat mengeksekusi taktik. Kesalahan mengumpan, kebingungan menggunakan sisi lapangan dan juga kegagalan memilih ruang kosong saat bergerak merupakan indikasi pemain kita masih kebingungan dengan taktik yang diterapkan Luis Milla.

Apa yang terjadi kemudian? Saat sedang menusuk ke jantung pertahanan Kambodja pemain kita gagal fokus. Ini adalah aspek kedua PS, yaitu attention focus(AF). AF merupakan kemampuan pemain untuk secara selektif mengarahkan dan mempertahankan perhatian mereka. Seringnya Evan Dimas dkk. Melakukan pelanggaran (20 kali) merupakan bukti konkrit bahwa mereka seringkali gagal fokus, terutama saat kehilangan bola. 

Tekanan harus menang dan juga kebuntuan saat mengeksekusi taktik merupakan dua hal yang membuat para garuda muda ini (mungkin terpaksa) memilih mengambil keputusan di luar taktikal. Saya katakan di luar taktikal karena sangat aneh bagi tim yang menguasai bola secara dominan, namun di saat yang bersamaan juga menguasai jumlah pelanggaran (20 berbanding 9).

Statistik tersebut merupakan kejadian unik dan sangat jarang terjadi dalam sepakbola. Biasanya, tim yang terus ditekan adalah tim yang banyak melanggar lawannya. Itulah mengapa aspek AF disebut oleh psikolog olahraga sebagai aspek yang sangat menentukan dalam menuntun atlet untuk mencapai puncak performa.

Aspek terakhir dari PS adalah kemampuan mengatur energi (energy management/EM). Manajemen energi merupakan kemampuan untuk mengelola berbagai keadaan perasaan secara efektif (misalnya, gairah, kecemasan, kemarahan, kegembiraan, ketakutan) untuk mencapai titik optimal kemampuan fisik dan psikis.

Dari kesemua aspek PS, EM akan menjadi petanda yang akan paling diingat dalam pertandingan antara Indonesia Vs Kambodja semalam. Mengapa? Karena pada akhirnya pertandingan ini menjadi ajang tawuran antar pemain. Dalam keadaan yang seharusnya memiliki stabilitas emosi lebih baik, justru garuda muda malah terpancing dengan mind gameslawan. 

Pada salah satu momen (saat Marinus mengejek pemain belakang lawan), malah timnas sengaja memancing emosi lawan. Sayangnya lagi-lagi hal tersebut di luar taktik, sehingga justru mereka gagal gagal mengontrolnya. 5 kartu kuning jelas menunjukkan betapa labilnya para garuda muda saat mengelola emosi mereka. Saya juga masih belum bisa menemukan alasan mengapa pemain kita melakukan ejekan, padahal jelas posisinya adalah sebagai pemenang. 

Lawannya juga bukan lawan tangguh, bukan juga musuh bebuyutan. Terlepas satu kertu merah yang diterima lawan. Lagi-lagi keunggulan perolehan kartu kuning bagi tim dominan sekaligus pemenang merupakan hal yang jarang terjadi dalam sepakbola.

Permintaan maaf dan modal semifinal

Dorongan untuk menang dan berprestasi dalam sebuah pertandingan akan selalu menghasilkan berbagai emosi yang kuat. Pemain profesional dituntut untuk dapat mengelola emosi tersebut selama pertandingan untuk mendapatkan energi optimal. Dalam atmosfer kompetitif, mengelola energi negatif akan menjadi kunci untuk bukan hanya menaklukkan lawan, namun juga mengendalikan diri sendiri. 

Legenda headbutt maestro sepakbola Zidane merupakan bukti sahih pertempuran pengelolaan energy negatif. Sialnya, pria yang sekarang melatih Real Madrid tersebut harus bertekuk lutut dihadapan Marco "Matrix" Materazzi dalam sebuah pertempuran emosi. Matrix dengan jitu memanfaatkan kondisi PCS dan AF Zidane saat itu untuk memenangkan EM. Dia sanggup mengontrol (dengan memprovokasi) sang maestro dengan kemarahannya sendiri.

Kompetisi atau kejuaraan merupakan jalan panjang. Saya berharap timnas kita tidak menghamburkan energi di jalanan. Jika targetnya adalah juara, harusnya pemain mafhum dan mampu menyerap rumus V = PCS + AF + EM di setiap pertandingan. Lupakan segala bentuk kemudahan berbuat brutal yang bisa dilakukan dalam liga Indonesia.

Akhirnya, permintaan maaf yang diucapkan sehabis pertandingan saya rasa belum mengubah apapun kemampuan para pemain kita dalam mengontrol emosi mereka saat pertandingan semifinal. Masih ada waktu bagi pelatih untuk melakukan evaluasi mental bertanding pemainnya. Saya berharap Luis Milla dan tim pelatih mulai mempertimbangkan faktor-faktor mental seperti yang telah saya urai di atas saat melakukan evaluasi dan mulai menyusun strategi untuk menyongsong pertandingan semifinal klasik melawan Malaysia. Ingat, Malaysia adalah tuan rumah. Saya yakin semifinal besok dimenangkan oleh tim yang mampu berpikir cerdas, menjaga fokus dan mengatur emosi dengan baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun