Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Benarkah Kita Menyukai Kontroversi dan Polemik?

2 Agustus 2017   11:17 Diperbarui: 3 Agustus 2017   10:23 790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Alsofwa.com

Benarkah kita suka kontroversi? Atau berpolemik?

Nyatanya (dalam fenomena politik nasional) kita telah memasuki arena hitam putih sejak pemilihan presiden tahun 2014 yang lalu. Perang berkepanjangan antara pendukung dua kandidat presiden terus berlanjut sampai hari ini. 

Bahkan mungkin kembali memanas mengingat pemilihan umum akan kembali bergulir tahun 2018-2019. Entah terbiasa dengan kontroversi dan melanjutkannya dalam polemik, hampir di tiap pemilihan kepala daerah, instansi atau bahkan organisasi kecil kita seringkali larut dalam polemik berkepanjangan.

Tengok saja kolom berita di salah satu media online ternama, lihatlah bagaimana pertempuran di kolom komentarnya. Bisa berlanjut sampai hari berganti, bahkan berlanjut sampai perang di dinding (wall) masing-masing akun pribadi komentator.

Untung saja jika kontroversi dan polemik tersebut hanya berhenti pada layar LCD gadget kita, akan menjadi masalah kalau tema kontroversial muncul dalam lingkungan keseharian kita. Di tempat kerja mungkin. Bayangkan jika anda bekerja dalam lingkungan yang kesehariannya membicarakan pada hal-hal yang kontroversial dan problematis. Semua orang berbicara tentang hitam dan putih, mulai dari yang menjabat, sampai tukang bersih-bersih. Seolah-olah kita dipaksa untuk memilih dengan tegas berada dalam zona hitam atau putih.

Melihat definisi kontroversi dan polemik

Dalam Cambridge Dictionary (2017), kontroversi disebut sebagai banyaknya pendapat atau kedidaksetujuan terkait sesuatu yang mempengaruhi atau dianggap penting oleh banyak orang. Sedangkan Mirriam-Webster(2017) menyatakan bahwa kontroversi sebagai sebuah diskusi yang di dalamnya terdapat pendapat yang berlawanan. 

Masih menurut dua kamus besar tersebut, kontroversi biasanya akan berlanjut menjadi sebuah polemik. Cambridge menyebut polemik sebagai sebuah tindakan seseorang menyerang atau membela sebuah pendapat, orang, gagasan atau rangkaian tertentu. Keterangan Mirriam-Webster menambahi bahwa polemik adalah sebuah seni yang biasanya digunakan secara jamak namun tunggal, atau jamak dalam sebauh konstruksi.

Bagaimana sebuah tulisan/berita dianggap kontroversi dan menimbulkan polemik?

Pertanyaannya, apakah semua jenis tulisan/berita menimbulkan kontroversi dan polemik?

Semua informasi penting belum tentu kontroversial, begitu juga informasi menarik dan menghibur. Silahkan buktikan sekali lagi, apakah berita-berita yang menjadi kontroversial adalah berita yang melulu penting atau bermanfaat? Sepertinya tidak. 

Pecinta bola tentu ingat, berita Leicester City menjuarai liga inggris. Ini jelas sejarah, berita penting dan bermanfaat untuk melihat sepak bola dalam kubangan industrialisasi. Namun apakah kolom komentarnya mengalahkan komentar kepindahan Gonzalo Higuain dari Napoli ke Juventus? Silahkan lihat sendiri.

Berita BNN menangkap gembong Narkoba jelas penting, begitu juga berita KPK menangkap basah koruptor yang sedang indehoi di kamar hotel juga sangat penting. Namun apakah kolom komentarnya mengalahkan berita saat Kaesang (Vlogger) yang dilaporkan ke polisi atau berita perseteruan antara Ahok dan segelintir kelompok? Jelas kalah jauh. Sekarang, cukup jelas bahwa manfaat konten berita bukanlah hal yang utama.

Mari kembali melihat definisi di atas, jelas ada beberapa kriteria mengapa tulisan/berita bisa memiliki untuk menjadi kontroversi. Pertama, isi berita menyangkut tentang dua pendapat atau dua kubu yang berbeda. Hal ini berkaitan langsung dengan identitas kedua kelompok. Pertempurannya adalah berkaitan dengan mempertahankan identitas kelompok. 

Cara berpikirnya begini, jika kita kalah, maka kelompok kita akan menjadi hina dan pecuncang. Kedua konten berita berisi tentang pembenaran atau penyalahan kepada salah satu kubu/kelompok. Ketiga, hal tersebut dianggap penting oleh kedua kubu tersebut, biasanya berkaitan langsung dengan identitas dan keberlangsungan kedua kelompok tersebut.

Gambar diambil dari https://www.shutterstock.com/image-vector/communication-between-people-two-male-expressive-481549648?src=A11RkLxGBoRKmITZxqmoSg-1-17
Gambar diambil dari https://www.shutterstock.com/image-vector/communication-between-people-two-male-expressive-481549648?src=A11RkLxGBoRKmITZxqmoSg-1-17
Tinajauan psikologi

Psikologi, khususnya psikologi kognitif telah lama meneliti mengapa manusia mengarahkan atensinya kepada sesuatu. Selain karena terbatasnya kapasitas kita dalam menerima dan mengolah informasi (model Broadbent), kita memilih memperhatikan sesuatu karena merasa sesuatu tersebut "bermakna" bagi kita (model Treisman). 

Model Broadbent menguak bahwa kapasitas fisiologis manusia memiliki batasan, meskipun belum final, namun kita semua mafhum bahwa kita adalah makhluk yang terbatas. Lebih menarik jika kita memperdalam pemahaman tentang "makna" dalam model Treisman. Saya sendiri seringkali bereksperimen di kelas saat perkuliahan, untuk membuktikan atensi dan pemaknaan dalam model Treisman. 

Hasilnya saat mahasiswa saya tunjukkan dalam dua detik 12 logo organisasi, hampir semua mahasiswa saya menangkap logo kampus kami. Ini membuktikan bahwa motiv kita mendorong kita untuk mengarahkan kita pada sesuatu yang dekat dengan kita. Karena hal yang bermakna biasanya adalah hal-hal yang kita anggap sebagai hal yang dekat dengan kita.

Sebuah studi dalam Journal of Consumer Research, Zoey Chen dan Jonah Berger (2013) meneliti tentang jenis topik pembicaraan yang menarik seseorang untuk membicarakannya secara terbuka. Penelitian ini ingin melihat seberapa jauh keinginan seseorag untuk terlibat polemik atau dalam bahasa keseharian kita sebut sebagai pergunjingan.

Menurut studi tersebut, kontroversi memiliki dua efek kepada seseorang. Pada satu sisi kontroversi menimbulkan gairah seseorang untuk mau membicarakannya, namun pada sisi lainnya ketika sebuah topik menjadi sangat kontroversial (highly controversial), maka akan menimbulkan hal-hal yang membuat tidak nyaman dan membuat sebauh percakapan akan terlihat lebih sulit (difficult conversation).

Hasil penelitian tersebut menjawab pertanyaan pada awal tulisan ini. Data objektif telah menjawab bahwa sejatinya kita memang suka untuk menjaga identitas kita. Terutama saat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berseberangan dengan diri kita atau kelompok kita. 

Namun apabila terus menerus perdebatan terjadi dan menjadi sebuah polemik berkepanjangan, seseorang biasanya lebih memilih untuk mundur dan menarik diri. Bukan karena seseorang membenarkan pendapat yang lain, namun lebih pada ketidaknyamanan yang dirasakan.

Mengakhiri polemik dan meredam kontroversi

Melihat hegemoni media --mau ataupun tidak, kita harus melibatkannya dalam menyelesaikan kontroversi dan polemik. Menjamurnya media online harus kita waspadai sebagai hal lanjutannya. Semakin banyak media yang menyorot, maka kemungkinan sesuatu menjadi hal yang kontroversial juga semakin besar. 

Hemat saya kita harus memulainya untuk tidak membuka berita atau kiriman tautan (link) berita yang menghubungkan kita pada masalah (potensi) kontroversi. Ini mudah dan (mungkin) sangat efektif. Rating berita selalu berkorelasi dengan jumlah pembaca. Jika kita tidak membukanya, maka jumlah pembaca juga tidak bertambah. Insyaallah topik yang sedianya digorengmenjadi sebuah kontroversi akan berhenti menjadi berita biasa.

Jika kita tidak mampu menahan minat kita untuk membaca topik (potensi) kontroversi, maka langkah kedua adalah menahan untuk tidak memberikan komentar atau tidak menyebarkan berita tersebut. Dengan menyebarkan konten berita kontroversial, kita bukan saja telah meningkatkan potensi berita tersebut menjadi sebuah polemik, namun secara tidak langsung kita juga sudah melakukan sebuah tidakan agresi pasif.

Ketiga, lihatlah sesuatu dengan perspektif yang lebih kaya. Maksud saya, jika kita berada pada lingkungan yang tengah ber-polemik, alangkah lebih baiknya kita menahan untuk membela salah satu diantaranya secara membabi-buta. Lihatlah potensi lain dari pihak outgrupkita. Ini memang terlihat sulit, namun bukan hal yang mustahil bukan?

Cara terakhir adalah dengan mengingat bahwa kita memiliki pekerjaan dan tanggung-jawab pada posisi/jabatan kita masing-masing. Lihat saja orang yang sedang menggunjing, saya sanksi kalau saat mereka menggunjing mereka mengevaluasi secara objektif dan membandingkannya dengan seberapa banyak pekerjaan yang mereka selesaikan. Sejauh apa mereka berperan dalam organisasi tersebut atau sejauh mana mereka menghargai hak orang lain.

Membicarakan sesuatu akan menjadi menarik jika kita saling membuka diri dalam berbagai perspektif yang mencerahkan, bahkan membuat kita termotivasi untuk lebih baik, tanpa membuat yang lain terlihat buruk. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun