Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Mitos Multitasking

30 Mei 2016   08:17 Diperbarui: 30 Mei 2016   08:22 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi diambil dari canstockphoto.com

Beberapa waktu lalu kita mengenal multitasking sebagai istilah yang mengenalkan keterampilan produktivitas baru di era millennium. Istilah ini muncul bersamaan dengan kecanggihan tekhnologi informasi (IT). Hampir semua perangkat tekhnologi yang kita gunakan menawarkan kemampuan multitasking,yaitu sebuah metode dimana banyak pekerjaan diproses dan diolah dengan menggunakan sumber daya/komputer yang sama. Handphone, laptop/pc dan bahkan televisi mampu menyediakan kepada kita informasi yang berbeda secara bersamaan. Saat browsing  misalnya, kita bisa membuka puluhan tabdalam satu jendela (window). Selain itu kita bisa juga mendengarkan suara dari musik dan video yang berbeda. Itulah multitasking atau kerja ganda.

Manusia selalu menginginkan lebih dari yang ia punya, termasuk dalam bekerja dan beraktivitas. Kita, manusia selalu memimpikan mampu melakukan beberapa hal secara bersamaan, dengan hasil yang sempurna. Pertanyaannya adalah apakah benar-benar manusia mampu melaksanakan aktivitas berbeda secara bersamaan dengan hasil yang sempurna? Apakah otak kita mampu melakukan switchingseperti yang dilakukan procecorkomputer?

Pandangan umum tentang human multitasking

Adalah iya, kita percaya bahwa kita mampu melaksanakan aktivitas berbeda secara bersamaan. Kita dapat menerima telepon atau menulis pesan saat berkendara, kita dapat makan sambil membaca, kita juga dapat menerima telepon saat kita sedang memasak, mengerjakan tugas sembari membuka tab untuk facebook, twitter, instagram dan lain sebagainya. Bahkan mau diakui atau tidak, sebagian besar dari kita sekarang telah menjadi multitasker media. Dengan gadget ditangan, pekerjaan kita selalu kita seladengan internet.

Kita percaya dapat melakukan beberapa aktivitas bersamaan adalah hal yang baik, bahkan ada yang mengatakannya jenius. Bahkan kita hampir bulat mempercayai bahwa perempuan memiliki kemampuan dalam hal ini dibandingkan dengan laki-laki. Namun benarkah contoh-contoh diatas adalah multitasking? Bisakah kita mengerjakan tugas sambil berselancar di internet?

Pandangan Psikologi

Psikologi kognitif merupakan bidang yang paling getol menjawab pertanyaan diatas. Sebagai cabang psikologi yang paling belia, psikologi kognitif mencoba memahami fenomena kinerja ganda melalui sumber utama kesadaran manusia. Kesadaran kita memiliki inti yang disebut atensi (attention). Sejatinya, setiap detiknya kita dihadapkan pada ribuan atau bahkan jutaan objek yang menunggu untuk kita proses. Kita mendeteksi seluruh energi objek-objek yang ada disekitar kita dengan menggunakan proses sensasi (sensation) melalui kelima indera kita.

Untuk beraktivitas kita butuh kesadaran, dan salah satu ciri kesadaran adalah mampu berkomunikasi. Itulah mengapa energi dalam sensasi harus segera kita proses menjadi hal-hal yang terdefinisikan, terinterpretasikan dan dapat kita pahami melalui persepsi. Oleh psikologi kognitif persepsi diartikan sebagai aktivitas yang melibatkan kognisi tingkat tinggi dalam menginterpretasikan setiap informasi sensorik. Namun, persepsi tidak akan berjalan tanpa kita memilih satu (kesatuan) objek sensorik diantara kelima indera kita. Inilah yang disebut atensi, mengabaikan objek sensor lain agar kita sanggung menangani objek terpilih secara efektif.

Saat anda membaca tulisan ini, anda akan melakukan penginterpretasian seketika saat anda menggabungkan huruf dengan huruf, kata dengan kata dn kalimat dengan kalimat. Namun bukan berarti indera selain mata tidak sedang menerima sensasi. Artinya anda lebih memilih mengarahkan atensi anda kepada objek sensorik yang didapatkan mata anda saat anda membaca dan memahami tulisan saya. Namun bisa saja saat kita membaca, pemahaman kita tidak sempurna lantaran atensi kita beralih pada suara dering handphone, atau bahkan rasa nyesi gigitan nyamuk di kaki.

Penjelasan singkat diatas memberikan gambaran bahwa setiap detiknya kita melakukan proses sensasi, atensi dan persepsi dalam setiap aktivitas sadar kita. Para ahli psikologi kognitif tidak menyebutkan bahwa atensi kita dapat memproses dua atau lebih objek sensorik yang kita terima lewat atensi. Apakah hal tersebut berarti bahwa multitaskingadalah hal yang mustahil? Tapi mengapa kita bisa makan sambil menulis pesan dalam gadget kita? Mengapa ibu-ibu dapat membantu anaknya mengenakan tali sepatu sambil menelpon?

Pemrosesan Otomatis (Automatic Processing)

Dua atau lebih aktivitas yang kita lakukan secara bersamaan sejatinya berbeda dengan istilah multitasking dalam IT. Saat kita menerima telepon sambil mengendara, sebenarnya kita tidak sedang membagi atensi kita namun kita sedang melakukan pemrosesan otomatis pada satu atau beberapa aktivitas diluar aktivitas utama kita.

Saat anda berkendara sambil makan camilan dan menerima telepon anda sedang melakukan penjatahan upaya (allocation of effort) pada aktivitas lain, namun sumberdaya atensi terbesar anda jelas pada aktivitas mengemudi. Intinya, aktivitas pendamping yang dilakukan yaitu makan dan menelepon adalah aktivitas yang secara otomatis dilakukan karena kita telah terbiasa atau terlatih sehingga hanya membtuhkan sedikit sumberdaya atensi dan tidak mengganggu kesadaran kita. Solso, Maclin dan Maclin (2008) menyebut pemrosesan aktivitas secara serempak diatur oleh pengendali waktu motorik di serebelum (berbentuk kubis yang terletak pada bagian otak paling belakang) disertai dengan keterlibatan bagian lain di otak.

Oleh Posner dan Snyder (1975; dalam Solso, dkk., 2008) pemrosesan otomatis disebut memilki setidaknya tiga karakteristik, pertamabahwa sebenarnya kita melakukan beberapa aktivitas tanpa ada niatan sadar. Sebagai contoh, bahwa kita terpicu istilah stand-up comedysaat kita mendengar atau membaca nama Cak Lontong, Raditya Dika, Indro Warkop, atau yang lainnya. Keduabahwa pemrosesan otomatis tersembunyi dari kesadaran, bahwa ibu-ibu hanya sadar bahwa sebelum jam tujuh anak-anak dan suaminya harus sampai di sekolah dan kantornya, oleh karena itu setiap pagi tangan dan kakinya cekatan melakukan aktivitas yang terlihat membutuhkan atensi yang sama. Ketigaadalah pemrosesan otomatis hanya membutuhkan sedikit sumberdaya sadar atau bahkan tidak sama sekali. Membaca pesan, menulis pesan, mengangkat handphone, dan aktivitas kecil lainnya sebenarnya kita lakukan tanpa membutuhkan/mengganggu kesadaran dan praktis tanpa memerlukan usaha.

Penjelasan diatas gamblang menunjukkan bahwa sebenarnya kita menggunakan atensi kita –atau hanya menggunakan sedikit– saat kita melakukan beberapa aktivitas ringan secara bersamaan. Akibatnya jelas bahwa kesadaran kita tidak terganggu dan kinerja kita juga tetap akan optimal. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika kita dengan sengaja ingin melakukan aktivitas yang berbeda secara bersamaan? Contohnya adalah seorang mahasiswa yang mengerjakan tugas/skripsi sambil berselancar di internet. Atau seorang ibu yang memasak sambil ngerumpi secara virtual menggunakan grup jejaring sosial. Atau seorang ayah yang bermain dengan anaknya sambil mengecek pekerjaannnya dengan perangkat gadgetnya.

Riset tentang Human Multitasking

Ilmuan kognitif menyebut bahwa keadaan saat kita  mengalihkan atensi pada satu objek sensorik ke objek lainnya dengan istilah beralih tugas “task switching”. Sehingga jika kita dengan sadar ingin melakukan beberapa aktivitas secara bersamaan sebenarnya hanyalah berproses secara berurutan, bukan bersamaan. Mengapa demikian? Hal tersebut karena setiap task switchingmelibatkan biaya psikologis (Rubinstein, Meyer, dan Evans, 2001). Kompensasi psikologis memberikan dampak secara nyata dalam produktivitas dan kualitas aktivitas.

Penelitian yang dilakukan oleh Ophir, Nass dan Wagner (2009) menunjukkan bahwa multitasker media (melakukan pekerjaan dengan berinternet) terganggu oleh beberapa aliran informasi yang mereka konsumsi sedangkan mereka yang berekrja dengan tugas tunggal (tanpa berinternet) terbukti lebih efektif mengalokasikan perhatian mereka dan menyelesaikan tugasnya. Penelitian serupa juga pernah dilakukan pada pelajar yang mengerjakan tugas dengan berinternet dan yang menyelesaikan tugas tanpa/sedikit menggunkan sambungan internet, hasilnya bahwa pelajar tanpa sambungan internet memiliki kualitas tugas dan efisiensi waktu yang lebih baik (Roberts, Foehr, dan Rideout, 2005; Bowman, Levine, Waite, dan Gendron, 2009).

Sejauh ini ilmuan mempercayai bahwa otak kita diciptakan bukan untuk multitasking. Otak hanya dapat memproses dan memperhatikan satu hal pada satu waktu, sehingga multitasking sebenarnya mengurangi produktivitas. Saat kita mencoba untuk multitasking media (bekerja dengan berinternet, menonton televisi atau bermain game) sebenarnya kita sedang benar-benar tampil sangat buruk pada kemampuan kunci kognitif tertentu seperti menyaring informasi yang tidak relevan, menjaga memori tetap terorganisir, dan beralih dari satu tugas ke yang lain. Berbeda saat kita hanya mencoba salah satu tugas pada satu waktu, maka kita otomatis tidak terganggu oleh informasi yang tidak relevan, lebih fokus, dan lebih akurat dalam pengambilan keputusan. Mungkin kita masih saja berpikir bahwa kita mendapatkan banyak hal saat melakukan multitasking, pada kenyataannya, multitasking sebenarnya menambah tingkat stres dalam kehidupan kita.

Namun internet tetaplah internet, dia menawarkan berjuta rayuan keceriaan. Akibatnya, kita seringkali keliru dalam menilai kinerja diri (self-evaluation) kita sendiri. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar multitasker media (kita boleh menyebutnya pecandu internet) merasa mereka melakukan pekerjaan lebih baik saat mereka sedang terseambung dengan internet, padahal kenyataannya adalah sebaliknya (Glenn, 2010; Choate, 2015). Inilah ilusi, sebuah mitos multitasking.

Sumber bacaan:

Solso, R.L., Maclin, O.H., dan Maclin, M.K. (2008). Cognitive Psychology. Pearson Education, Inc.

Rubinstein, J. S., Meyer, D. E., dan Evans, J. E. (2001). Executive control of cognitive processes in task switching. Journal of Experimental Psychology: Human Perception and Performance, 27(4), 763-797.

Bowman, L. L., Levine, L. E., Waite, B. M., dan Gendron, M. (2010). Can students really multitask? an experimental study of instant messaging while reading. Computers & Education, 54(4), 927-931.

Glenn, D. (2010). Divided attention.Chronicle of Higher Education, 56(21), B6-B8.

Ophir, E., Nass, C., dan Wagner, A. D. (2009). Cognitive control in media multitaskers. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 106 (37), 15583-15587.

Roberts, D. F., Foehr, U. G., dan Rideout, V. J. (2005). Generation M: Media in the lives of 8-18 year olds. Kaiser Family Foundation, Menlo Park, CA.

Choate, L. (2015). Swimming Upstream, Parenting Girls for Resilience in a Toxic Culture. New York: Oxford University Press

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun