Oleh : AK Fahmi
Jika KLB PSSI jadi digelar lagi dalam waktu dekat, inilah organisasi olahraga di dunia yang paling rajin buat Kongres. Alih-alih menghadirkan kebanggaan dan prestasi sepakbola, akan tetapi kisruh, kisruh dan kisruh terus pengurusnya.
Sesungguhnya permainan sepakbola memiliki filosofi sederhana. Mencetak gol dan menang. Bermain senang dan menang. Akan tetapi yang sederhana inilah yang kemudian menjadi susah. Jika dulu PSSI zaman Ramang atau Soetjipto untuk mengisi skuad Timnas cukup beberapa bon/ klub yang dipantau, maka lahirlah Tim yang hebat kala itu.
Sesungguhnya pengurus bola sangat sadar, bahwa sepakbola modern didapat hanya dengan kompetisi berkualitas, hal ini akan menjadikan Timnas hebat. Entah mengapa, yang sepenting ini kok pada rebut gak selesai-selasai?
Tentu persoalannya sudah bukan bagaimana membentuk Timnas Hebat, akan tetapi sudah soal-soal lain yang beragam kalkulasi. Seperti halnya Mbah buyut saya dulu melarang bermain bola-minimal jangan di depan rumahnya-untuk menghormati Sayyidina Hussein dan Nabi Yunus, yang konon ketika Syahid terbunuh kepalanya dijadikan ajang tendang-tendangan, dan bahkan beberapa ulama melarang permainan bola sebab lebih banyak melahirkan mudharatnya, maka dan cenderung melalaikan orang dari beribadah.
Maka, jika ditambah dengan carut marut kepengurusan PSSI semacam ini, tentu mungkin para Ulama akan lebih mengharamkan lagi. Permainan bola memang sederhana, akan tetapi dibalik permainan tidak sesederhana itu. Judi, pengaturan skor, intimidasi, kekerasan massa, skandal suap, dan seabrek tindakan kaum jahiliyah lainnya.
Yang membuat tidak sederhana, ya bukan pertandingan itu sendiri. Akan tetapi di luar pertandingan, dan penuh dengan berbagai asumsi keliru soal-soal olahraga dengan filosofinya.
Nilai olahraga sederhana: Sportifitas, Prestasi dan tentu saja kesehatan. Untuk hal ini, diilustrasikan secara sederhana dengan mengeluarkan keringat sehingga sehat, sekaligus usaha bermasyarakat, ataupun nilai maksimalnya untuk mengharumkan nama sebuah instutusi atau bahkan suatu bangsa. Jika itu olahraga permainan bisa ditambah nilai-nya, yaitu kebersamaan. Nilai-nilai ini nampaknya sudah hilang digantikan nilai-nilai materi dan hanya adu kuat. Jika begitu apa bedanya dnegan tinju jalanan.?
Melihat gejala-gejala "barbarism" di kepengurusan sepakbola Indonesia. Ingat di kalangan bawah pun gejala perilaku "jahiliyah" tersebut pernah saya ketahui. Judi adalah fenomena paling sering, katanya untuk menambah motivasi. Dan untuk memenangkan permainan judi dalam pengaturan skor ada istilah poor pooran. Bagaimana cara mempengaruhi permainan? Sederhana saja. Berikan iming-iming pada pemain lawan yang dijagokan untuk bermain tidak semestinya dan beragam taktik licik lainnya. Persoalan ini dari tingkat RT hingga tingkat level atas seperti Piala Dunia atau Liga-liga bergengsi.
Cukup sulit memberantas motif-motif judi ini. Dari yang secara tidak langsung hingga mempengaruhi pertandingan. Jika persoalan ini menjadi perjudian tingkat pengurus maka semakin semrawut sudah suatu tatanan. Tentu, public bola Indonesia sangat berharap hal ini jangan sampai terjadi, sebab melarang segala bentuk perjudian juga cukup susah dilakukan. Terpenting, permainan ini tidak menyentuh ke level pengurus.
Persoalan lain adalah Tidak Siap Kalah dan kemudian curang. Sebagai contoh dalam kejuaraan antar sekolahan, untuk kategori usia tertentu, mempalsu umur seseorang wajar dilakukan. Dan lucu juga kegiatan turnamen antar RT untuk tujuh belasan sebagai media hiburan dan kebersamaan, harus nge-bond (menyewa) pemain dari luar. Perilaku Tidak siap kalah lainnya adalah brutalnya para supporter jika timnya kalah. Dan modus kecurangan tentu berbagai ragam yang kiranya pengurus bola atau PSSI sudah sangat paham.
Saya jadi mahfum kenapa, Mbah buyut saya melarang bermain bola di depan rumahnya. Ya inilah permainan yang sesungguhnya bisa menjadikan orang sportif dan kompak, akan tetapi yang lahir adalah saling tipu-tipu dan menusuk.
Catatan lain dari persoalan kekisruhan PSSI, tentu masih sangat banyak. Dari mental pemain Timnas yang menurut Peter White mental bayaran, hingga ulah supporter merusak atau gak ada suporternya yang sepi penonton hingga anggaran duit APBD. Membentuk klub bola professional tentu butuh dana besar, kira-kira minimal angka 15 Milyar untuk bertahan sebagai professional. Tentu hanya orang yang gila bola yang mau membelanjakan uang segitu besar untuk membentuk tim professional. Rasanya, untuk hanya berharap dari pengembalian sponsor, penjualan merchandise, jual beli pemain dan tiket pertandingan, serta hal-hal lain yang bisa dibisniskan, sepakbola kita masih jauh dari criteria bisnis bola akan menguntungkan.
Tetapi mengapa orang ramai-ramai buat klub professional? Darimanakah dana-nya? Dan terakhir, kapankah Garuda bisa terbang tinggi di pentas sepakbola dunia. Rasanya kita masih membanggakan sukses Ramang Cs tahun 1956 ketika menahan Uni Soviet pada Olimpiade Melbourne. Prestasi lebih dari kiranya belum diraih. Level kita masih Asia Tenggara. Akan tetapi, potensi kita terutama adalah publik bola yang luar bisa fanatik, walaupun fanatisme ini belum dikelola menjadi sebuah industry bola yang lebih baik sehingga menimbulkan multiper effect yang baik.
Hal inilah yang kiranya banyak diperebutkan para pengurus PSSI. Hanya melihat antuasiasme public bola, bukan mengelola publik menjadi komunitas yang cerdas. Sesungguhnya upaya mengelola publik bola menjadi komunitas yang lebih tertata mulai ada contohnya, misal apa yang dilakukan Aremania. Sayang Pengurus Arema juga terseret-seret ke persoalan kisruh ini.
Masih banyak sederet persoalan yang bisa panjang untuk ditulis. Dan sekarang kuncinya ada pada para pengurus bola, baik yang sedang memiliki kedudukan (PSSI) maupun para seterunya, yang sesungguhnya mereka bisa eksis karena bola Indonesia juga. Jika terus ber-kisruh dan saling menyandera, maka mungkin inilah puncak persoalan Bola Indonesia. Saya berharap ini sudah puncak, sebab diandaikan malam gelap gulita, maka sebentar lagi fajar menyingsing.
Namun, untuk mencapai fajar, jika diperlukan upaya konsolidasi diri dalam temaram kabut malam yang dingin. Dan praktisnya, lebih baik kita disuspenss saja sama FIFA. Hal ini sebagai upaya konsolidasi dan perenungan diri.
Dan buat para bos-bos yang gila bola dan punya duit banyak, mending beli klub di Australia, Jepang, Korsel atau China. Atau bisa juga di Eropa kalau mampu. Ambil Pemain Indonesia yang masih muda, nanti Suspenss selesai kiranya sudah punya pemain-pemain hebat dan terbiasa dalam kompetisi yang ketat, disiplin dan lebih mengindahkan aturan, dibandingkan jika bermain di dalam negeri, selama belum tertata dengan baik.
Kita sudah berada di kegelapan pekat, menunggu fajar menyingsing. Hanya saja, apakah setelah terbit fajar kemudian sudah membawa kesadaran baru, ataukah hal lain yang lebih pekat lagi dalam kegelapan justru ketika kesadaran akan kegelapan itu terjadi.
Untuk itu, marilah rentangan tangan dalam kegelapan ini untuk konsolidasi diri untuk Bola Indonesia. Tentu, semangat bahwa sepakbola adalah alat perjuangan harus dimaknai prestasi dan profesionalisme. Bukan perjuangan saling menyandera atau melemparkan tanggungjawab.
Waallahu alam Bisshowab.
Penulis
AK Fahmi
Ditulis di perengkali Lokulo 16 Desember 2011. Jam 11.13 menit am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H