‘Become a symbol of the insecurities of the information age’, itulah Kevin Mitnick. Bagi banyak orang yang mengaku dirinya hacker paling tidak pastilah mengenal tokoh ini. Belum lagi sederetan nama hacker seperti Richard Stallman, Fyodor, Vladimir Levin, Linus Torvalds, Adrian Lamo, Loyd Blankenship, Robert Tappan Morris, Kevin Poulsen, Joe Engressian dan John Draper, bahkan hacker Indonesia seperti Ray Abduh (nama samarannya) yang heboh dengan kasus KlikBCA, kemudian pada hari Sabtu tanggal 17 April 2004 yang sempat heboh juga yaitu Dani Firmansyah yang telah mengacak-acak situs KPU.
Kita pun tahu bahwa pendiri WikiLeaks yaitu Julian Assange, juga merupakan seorang hacker. Tentu saja dia tidak bekerja sendirian, ada banyak orang yang bergerak dibelakangnya. Bahkan sampai saat ini pun sekitar 800 sukarelawan dan puluhan ribu simpatisan telah ikut mendukung. Anehnya lima besar media di dunia seperti The New York Times, Der Spiegel, The Guardian, El Pais dan Le Monde juga ikut mendukung apa yang dilakukan WikiLeaks. Lebih dari itu, tindakan dari Julian Assange ini juga telah menjadi inspirasi banyak pihak untuk bertindak minimal sama dengan apa yang diperbuat WikiLeaks.
Akhirnya kita melihat penyelesaian semena-mena dan lagi-lagi mengesampingkan ketidakadilan terhadap para pelaku yang dianggap menentang pemerintah ini, bukannya akan menyelesaikan suatu masalah namun malah akan menimbulkan bibit-bibit masalah baru. Misalnya saja kasus terorisme yang menimbulkan banyak problem definisi dan pemahaman yang berbeda-beda. Suatu permisalan yang diungkapkan St. Augustine, seperti apa yang dikutip Noam Chomsky untuk melihat bagaimanakah fenomena terorisme internasional dengan menganalogikannya dari percakapan cerita antara seorang bajak laut yang tertangkap oleh Kaisar Alexander Agung.
“Mengapa kamu berani sekali mengacau lautan?”, tanya Alexander Agung kepada si pembajak. Maka dibalaslah pertanyaan itu oleh pembajak, “Nah mengapa juga kamu berani mengacau di seluruh dunia? Apa hanya karena aku melakukannya dengan sebuah perahu kecil, terus aku disebut pembajak, sedang kalian melakukannya dengan kapal besar terus kalian lebih pantas disebut Kaisar.”
Baiklah, fenomena WikiLeaks ini juga tak akan selesai begitu saja jika penyelesaiannya sendiri tidak diiringi oleh keinginan untuk menciptakan keadilan dan perdamaian dalam tata pemerintahan dunia. Mentang-mentang superior, negara besar, ekonomi kapitalis kuat, persenjataan militer hebat, merasa paling adidaya kemudian sambil diiringi bertindak sewenang-wenang tanpa mau peduli hak asasi manusia lainnya, pastilah akan terus mendapatkan perlawanan dari pihak-pihak yang itu tadi, yang menurut istilah kitanya yaitu ‘orang-orang yang terzalimi’.
Dalam hal ini tak ada salahnya juga kita mengetahui akan sebuah manifesto hacker yang berjudul “The Conscience of a Hacker” yang ditulis oleh Loyd Blankenship yang seringkali dikalangan ‘underground’ lebih dikenal dengan nama “The Mentor”. Dalam manifesto itu Loyd menulis,
“Kalian menyebut kami penjahat.. karena kami menggunakan layanan yang sudah ada tanpa membayar, padahal layanan itu seharusnya sangat murah jika tidak dikuasai oleh orang-orang rakus. Kami kalian sebut penjahat.. karena kami gemar menjelajah. Kami kalian sebut penjahat.. karena kami mengejar ilmu pengetahuan. Kami ada tanpa warna kulit, tanpa kebangsaan, tanpa bias agama.. tapi bagi kalian kami penjahat. Kami adalah penjahat.. sedangkan kalianlah yang membuat bom nuklir, mengobarkan peperangan, membunuh, berbuat curang, berbohong, dan berusaha membuat kami percaya bahwa itu semua demi kebaikan kami.”
“Ya, aku adalah penjahat. Kejahatanku adalah keingintahuanku. Kejahatanku adalah menilai orang berdasarkan perkataan dan pikiran mereka, dan bukan berdasarkan penampilan mereka. Kejahatanku adalah menjadi lebih pintar dari kalian, sebuat dosa yang tak akan bisa kalian ampuni.”
“Aku adalah hacker, dan inilah manifestoku. Kau bisa menghentikan satu, tapi kau tak bisa menghentikan semuanya… bagaimanapun juga, kami semua sama.” (The Mentor, 1986)
Sebagaimana yang dikatakan oleh Kevin Mitnick, “The world has a right to know.” Paling tidak fenomena WikiLeaks ini timbul dari semangat dan kegeraman sekaligus kegemesan akan berbagai permasalahan global yang tak pernah selesai seperti hak asasi manusia, korupsi pemerintah dan korporasi, perang, konflik, hubungan politik eksternal, ekonomi yang semakin liberal dan kapitalis, ketimpangan sosial, terorisme yang merebak dimana-mana, perlombaan senjata, dan lain sebagainya.
Yah, fenomena WikiLeaks menjadikan banyak pihak berang karena borok-borok mereka terungkap, namun sekali lagi kita dituntut pula untuk menyikapinya secara bijak dengan niatan yang baik. Kita tahu WikiLeaks baru saja ditendang dari Amerika Serikat, beberapa jam kemudian sudah berada di Swiss, Jerman, Belanda dan Swedia. Bagi mereka yang ketakutan nantinya akan terbongkar ketahuan kenyataan perbuatan buruknya, pastilah akan berusaha sedemikian rupa untuk melakukan segala tindakan dalam upaya pembungkaman.