Oleh: Akhmadi Swadesa
  Â
   SETELAH magrib, aku langsung saja pergi ke rumah Asri. Aku ingin mengkonfirmasi apa benar  bapaknya Asri mengantarkan sebiji buah pepaya besar ke rumah yang kutempati, dan lantas kami bertemu saat sedang mandi di kali Ciliwung tadi.
  Pintu rumah yang kutuju nampak tertutup rapat dan di dalamnya gelap. Hanya lampu teras yang menyala.
   Kuketuk pintu perlahan. Ternyata yang membukakan pintu adalah si Pedro, pamannya Asri.
Pedro ini sepantaran denganku. Dan aku juga berteman akrab dengannya.
   "Hallo, Ped. Kok rumah kelihatannya sepi?" tanyaku.
   "Ya, memang. Semua pada  berangkat ke Sumedang sejak dua hari lalu. Bapak Asri sedang memantau keadaan pabrik tahunya di sana," jawab Pedro sambil mempersilahkan aku duduk di bangku teras.
   "Sudah sejak dua hari yang lalu?"
   "Ya. Sejak dua hari lalu."
   Aku menimbang-nimbang dalam hati, apakah aku harus ceritakan kepada Pedro apa yang telah kualami? Tapi kemudian aku merasa tidak perlu menceritakannya. Khawatir Pedro tak percaya, lalu mentertawakanku dan mengatakan bahwa aku sudah senewen.