Rapilus dan Basuni mengikuti. Mereka membuka daun pintu lebar-lebar dan berdiri di sana memandangi Pak Kades, Pak RT, Babeh Lim, dan bocah-bocah nakal itu.
"Mau apa kalian datang kemari?" tanya Rapilus setengah berteriak.
"Mengapa kalian mengusik kami?" Bu Marsiah berkata dengan geram.
"Tidak cukupkah kebaikan Rapilus dan ibunya, Bu Marsiah, selama ini terhadap kalian? Bukankah mereka selalu berbagi kalau kebun buah Rapilus panen? Kalian sudah merasakan semua, betapa manisnya buah semangka dan melon dari kebun buah Rapilus?" Basuni juga ikut bersuara.
Tapi Pak Kades, Pak RT, dan paranormal Babeh Lim terus juga bercakap-cakap. Kedatangan mereka memang hanya ingin melihat rumah tua di pinggir desa, yang kini terkenal angker itu.
"Memang sudah berapa lama mereka itu pulang?" tanya Babeh Lim.
"Sudah tiga tahun lalu," jawab Pak RT. "Yang jelas mereka lebih dulu dari kita."
"Ya. Yang lebih dulu terkena ya si Basuni itu. Karena dia kerap berkunjung kemari, Bu Marsiah akhirnya ternyangkit pula, lalu menyusul putranya si Rapilus. Mereka bertiga terpaksa harus dikarantina di rumah itu juga, karena sudah terlampau parah. Â Virus itu memang sangat mematikan. Tidak ada ampun bagi yang sudah tertular. Hanya diberi kesempatan bernapas beberapa hari saja, setelah itu pulang...," terang Pak Kades, sambil tangannya memberi isyarat agar bocah-bocah kecil tak berbaju itu segera enyah dari situ.
"Tadi kita lihat bersama, pintu rumah itu terbuka sendiri," kata Pak RT lagi. "Padahal tak ada angin atau apa."
"Begitulah...Tapi kita juga harus pulang sekarang, khawatir tempatku dimasuki oleh para dedemit atau hantu-hantu yang sialan itu," ucap Pak Kades, dan semua mereka tertawa. Bahkan tiga orang bocah kecil tak berbaju itu, tertawa terpingkal-pingkal sampai mengeluarkan air mata darah.
Rombongan itu segera berjalan kembali menuju kawasan tanah perkuburan yang khusus untuk orang-orang yang tewas karena wabah virus yang mematikan itu.