"Yah, modal utama adalah kemauan. Kalau kita mau bekerja pasti ada jalan. Itu memang kedengarannya klise, tapi itulah hukum dan kebijakan purba yang kebenarannya dapat dibuktikan," tukas Basuni.
Bu Marsiah yang nguping pembicaraan mereka berdua dari dalam rumah, tersenyum sendiri. Orang yang punya wawasan seperti Basuni, memang keren ngomongnya, puji Bu Marsiah dalam hati.
Dan ketika Basuni berlalu pulang, Rapilus menggerutu. Agak kesal dikuliahi guru muda itu. Enak aja kalau ngomong, gumamnya. Tapi ketika dia berpikir dan merenung lebih dalam, dia mengakui apa yang dikatakan Basuni memang benar adanya. Lantas Rapilus berdiri di ambang jendela kamarnya yang terbuka lebar, dia melihat betapa luas tanah milik orangtuanya di sekitar bangunan rumah panggung mereka ini, yang tidak dimanfaatkan kecuali hanya ditumbuhi rumput-rumput liar semak belukar.
Oh, Rapilus jadi ingat peristiwa aneh yang dialaminya di hutan bambu beberapa malam yang lalu. Setelah dia tak bisa bangkit karena tenaganya seolah terkuras, saat menyaksikan para dedemit sedang menari-nari di rumpun-rumpun bambu itu. Dia melihat dengan jelas itu para dedemit yang wajahnya berantakan tak keruan, dan dia sangat ketakutan. Lantas dia jatuh dan tertidur dibalut kepekatan malam, dan manakala tersadar ternyata hari sudah pagi dan Rapilus buru-buru pulang. Tapi dia ingat, saat tertidur tak sadarkan diri itu, dia bermimpi ditemui oleh almarhum ayahnya, pak Suryan, yang berpesan kepadanya agar dia bangkit dan percaya kepada diri sendiri dan menyuruh Rapilus untuk mengelola tanah atau lahan mereka sendiri. Mengingat itu Rapilus bagai tersentak. Apalagi barusan Basuni juga membicarakan hal yang sepertinya sama dengan pesan ayahnya di dalam mimpi itu. Apakah makna semua ini?
Rapilus jadi teringat kembali kepada ayahnya itu, pak Suryan, yang tewas diseruduk seekor babi jantan ketika sedang meramu rotan di hutan belantara. Kawannya yang ikut meramu hanya sempat mendengar teriakan kesakitan dari jauh, dan ketika dia berlari menemui ayah Rapilus, masih sempat dia lihat babi jantan itu kabur, meninggalkan ayah Rapilus yang tertiarap mengerang kesakitan. Punggungnya penuh luka robek oleh serudukkan taring babi jantan itu. Berdarah-darah. Kawannya memanggul tubuh ayah Rapilus pulang. Tetapi sesampainya di rumah, karena sudah terlalu banyak mengeluarkan darah diperjalanan, nyawanya tak bisa diselamatkan. Ayah Rapilus pun tewas.
Rapilus kemudian melaksanakan apa yang dianjurkan oleh Basuni dan juga ayahnya dari dalam mimpi itu. Lahan tidur di sekitar rumahnya itu dia bersihkan dengan membabat semak dan rumput liar, lalu mengolah tanahnya dengan cara menggemburkannya dengan cangkul. Dia tanami semangka, melon, jagung dan tanaman apa saja yang bermanfaat.
Sementara wabah penyakit itu belum juga sirna. Malah kini makin gencar menyantroni siapa saja yang tidak memiliki imun tubuh yang mumpuni. Wabah virus itu menyebar dari kota ke desa-desa.
Basuni kembali datang berkunjung ke rumah Bu Marsiah atau rumah Rapilus. Kali ini mereka ngobrol di ruang tamu enam mata. Bu Marsiah, Rapilus, dan Basuni. Bahan bincang mereka bertiga tidak lain mengenai kesuksesan Rapilus dengan kebun buahnya.
Sedang asyik bercakap, mereka melihat beberapa orang tengah berjalan mendekati rumah Bu Marsiah. Mereka adalah Pak Kades , Pak RT, dan seorang paranormal Babeh Lim yang baru sebulan mencari peruntungan di desa ini. Tiga orang bocah lelaki kecil tak berbaju mengiringi mereka dari belakang. Mereka nampaknya sedang membicarakan rumah Bu Marsiah. Dan salah seorang bocah kecil itu memungut sebutir batu kerikil dari tanah, lalu melempar dengan keras ke arah rumah itu, dan mengenai kaca jendela hingga pecah berantakan.
Bu Marsiah, Rapilus, dan Basuni geram bukan main melihat yang diperbuat bocah kecil itu.
"Kenapa kau lempari rumahku, hei anak kecil?!" teriak Bu Marsiah sambil berjalan ke arah pintu.