Kalau aku ingin pergi ke Jakarta, aku cukup menyeberangi kali Ciliwung itu, dengan berjalan kaki tentu saja, lalu memintas-mintas jalan kampung yang sunyi dan asri, hingga aku sampai di setasiun KA kampung Citayam atau Bojonggede. Dari situlah aku naik KA ke Depok atau ke Jakarta.
   Aku melewati beberapa rumah kosong, lalu jalan setapak yang menurun curam, berkelok. Di kiri-kanan jalan setapak yang menurun itu kebun singkong dan jagung milik bang Somad. Siapa bang Somad? Nanti akan kuceritakan tentang lelaki itu, yang kemana-mana selalu membawa golok, yang menggantung di pinggang sebelah kirinya.
   Aku berpapasan dengan beberapa orang teman pekerja bangunan, yang baru selesai mandi dan siap pulang, berjalan naik ke atas pelan-pelan.
   "Hei, Di. Kenapa senja benar mandinya?" tanya Gandul.
   "Tadi ketiduran," jawabku.
   Aku perhatikan keadaan di sungai, memang sudah sepi. Tidak ada lagi orang yang mandi. Yah, maklumlah sudah senja sangat. Kalau masih sore, banyak sekali orang yang mandi. Ibu-ibu, bapak-bapak, dan juga gadis-gadis, baik dari desa Sukahati sendiri, maupun dari desa yang berada di seberang kali Ciliwung itu.
   "Hati-hati lho, Di, kalau sudah senja begini, Ciliwung banyak hantunya," canda Maskuri sambil tertawa.
   "Saya mau mandi telanjang, biar hantunya takut," cetusku.
   "Kalau sudah senja begini, sudah nggak ada orang lagi, memang Ardi bisa bebas mandi telanjang," kata Taufik.
   Kami semua tertawa.
   Beberapa waktu lalu, kami kerja lembur sampai pukul tujuh malam. Setelah itu kami ramai-ramai pergi mandi ke kali Ciliwung, dan kompak telanjang bulat menceburkan diri ke airnya yang dingin.