Ada dua buah pertanyaan yang selalu muncul di benak terkait ketahanan pangan atau istilahnya Food Security di Indonesia. Pertanyaan itu adalah "Bagaimana sebetulnya kondisi Ketahanan Pangan di Indonesia?" dan "Kenapa Indonesia harus mengimpor pangan khususnya beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri?".
Ada pendapat yang menyatakan bahwa kondisi Ketahanan Pangan di Indonesia semakin buruk dan Indonesia memang sangat perlu mengimpor pangan dari negara lainnya. Realitanya begitu, kegiatan mengimpor beras dibenarkan dan memang sangat dibutuhkan untuk kondisi saat ini dan masa depan.
Bahkan menurut data Global Food Security Index (GFSI) Tahun 2014, Indeks Ketahanan pangan Indonesia lebih rendah dibanding negara - negara ASEAN lainnya seperti Malaysia (peringkat 34), Thailand (peringkat 49), Filipina (peringkat 65) bahkan Vietnam (peringkat 67). Indonesia sendiri menempati urutan ke 72 dari 109 negara.
Lupakan negara tetangga Singapura yang masuk lima besar Indeks Ketahanan Pangan dunia. Indikatornya seperti dimensi aksesibilitas (accesbility), ketersediaan (availability), kualitas (Quality) dan keamanan pangan (Security).
Lalu, apakah memang realitanya Indonesia memang buruk soal Ketahanan Pangannya?
Mari kita tengok teori water, energy and food nexus.
Hal ini dikarenakan untuk memproduksi air (dengan desalinasi) dibutuhkan energi dalam jumlah besar, misalnya untuk desalinasi, pengolahan air limbah, pendistribusian air (pompa), dan lainnya. Sebaliknya, untuk memproduksi energi juga dibutuhkan air, misalnya PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro).
Di sisi lain, kelangkaan air jelas akan menyebabkan kelangkaan bahan pangan. Begitu pula kelangkaan pangan akan menyebabkan standar kehidupan manusia menurun, sehingga berdampak pada kualitas kerja, dan beberapa aktivitas lainnya. Jika terjadi kelangkaan pangan maka terjadi kemungkinan banyaknya penyakit.
Berarti jikalau ketahanan buruk berkorelasi dengan Gizi buruk. Jelas dan sudah terbukti seperti itu, lihat saja di beberapa negara di Afrika yang terkena gelombang kelaparan yang berakibat buruknya gizi.
Pangan juga merupakan sumber konflik dimana terjadi perebutan sumber makanan untuk kelangsungan hidup. Konflik Israel-Suriah(Golan Heights) dan Afrika (Republik Afrika Tengah, Chad, Zambia) merupakan sebagian contoh konfliknya. Sumber konfliknya antara lain adalah alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian, degradasi lahan, rehabilitasi lahan dan lainnya. Ledakan penduduk yang semakin pesat dan semakin banyaknya aktivitas yang membutuhkan energi membuat kebutuhan lebih besar daripada suppy bahan makanan.
UU Pangan No 8 Tahun 2012, mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tesedinanya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu aman, beragam, bergizi dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakainan dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.
Indonesia adalah negara terbesa rketiga yang memproduksi beras terbanyak di dunia. Akan tetapi Indonesia masih tetap merupakan negara importir beras (net importir). Realitanya setiap orang Indonesia mengkonsumsi sekitar 140 kilogram beras per tahun. Untuk para petani kecil mengkontribusikan sekitar 90% dari produksi total beras di Indonesia.
Beberapa provinsi di Indonesia merupakan penghasil beras antara lain adalah Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Produksi beras Indonesia sebesar 70,8 juta ton per tahun, China merupakan produsen beras terbesar di dunia. Miris bukan?
(Sebenarnya) Indonesia Kaya Akan Bahan Pangan
Beberapa waktu lalu, saya diskusi dengan beberapa teman yang memiliki pengetahuan tentang pangan dan gizi. Mereka rata - rata berpendapat optimis bahwa Indonesia tidak kekurangan pangan sebenarnya. Ada yang berpendapat jikalau negara Indonesia sudah mandiri dan berdaulat pasti ketahanan pangannya oke. Negara berdiri mengawal ketahanan pangan juga bukan hanya soal memastikan bahwa penduduknya tidak kelaparan, tetapi juga memastikan bahwa pangan layak dimakan atau tidak.
Sebenarnya kodisinya tidak seperti itu dan tidak seburuk itu pula kondisi ketahanan pangan di Indonesia. Lha wong yang diukur hanya kepemilikan dan konsumsi "Nasi" sebagai makanan pokoknya saja. Lalu apakah kita mengesampingkan makanan lainya, sagu, singkong, gembili, jagung dan lainnya sebagaimana makanan poko di beberapa daerah.
Indonesia tidak harus identik dengan "beras". Penganekaragaman alias diversity makanan pokok ditonjolkan sebagaimana konsep wawasan nusantara. Tidak mesti dicap Indonesia harus mengkonsumsi "beras". Sebagai contohnya masyarakat Papua dan Maluku makanan pokoknya sagu. Masyarakat di kedua wilayah ini mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok karena kedua wilayah ini memang kaya dengan tanaman sagu bukan "beras". Suku Kanum di Merauke yang mendiami Taman Nasional Wasur mengonsumsi gembili sebagai makanan pokok secara turun temurun.
Sistem budi daya gembili sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat suku Kanum karena mempunyai nilai budaya yang tinggi, yaitu sebagai mas kawin serta pelengkap pada upacara adat. Bahkan tanpa gembili, konon suku Kanum tidak dapat melaksanakan pernikahan. Sehingga, budi daya gembili bagi suku Kanum menjadi suatu keharusan. Itu baru sebagian contoh kecil saja penganekaragaman makanan pokok, yang intinya Indonesia kaya akan bahan makanan.
Ada teman juga mengatakan bahwa jika memaksakan beras sebagai makanan pokok supaya ketahanan pangan meningkat itu menyalahi kaedah karena bisa malah mengganggu ketahanan pangan daerah. Seperti contohnya seperti di Nusa Tenggara Timur dimana susah ditanami tanaman padi. Seharusnya pula acara panen raya tak melulu soal "Panen Padi". Seharusnya ada "Panen Raya Jagung", "Panen Raya Gembili", "Panen Raya Ubi", "Panen Raya Singkong", "Panen Raya Sagu" dan lainnya.
Sebenarnya konsep 4A 2S +1U, Availability(Ketersediaan); Accessibility(Infrastruktur); Affordability (Keterjangkauan); Acceptability (Penerimaan);Sustainability (Keberlanjutan); Stability (Stabilitas); dan Utilization(Pemanfaatan) dalam pemenuhan kriteria ketahanan pangan Indonesia bisa memenuhi.
Bonus demografi dengan tetap mempertahankan local wisdom terkait pangan, tidak memaksakan atau mengharuskan "beras" sebagai makanan pokok daerah dan dengan tidak melakukan banyak perubahan dan konversi lahan pertanian maka Indeks Ketahanan Pangan Indonesia tentunya akan meningkat dan surplus bahan makanan.
#OptimumProject2016
#AHN
#Setrip
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H