Menepis Berbagai Tuduhan Terhadap Falsafah IslamÂ
Ada kesan kuat yang berkembang dikalangan sarjana barat maupun bukan bahwa "falsafah islam" tidaklah benar-benar islam. falsafah islam tidak lebih dari sekedar falsafah Yunani dalam bahasa arab. Perannya tak lebih sebagai penyambung peradaban Yunani (Fakhry, 2002: xi). Tidak ada keaslian didalamnya. Bahkan dianggap ilmu yang haram dipelajari karena dapat membahayakan akidah dan sama sekali bukan bagian dari ajaran Al-Qur'an dan Hadits. Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya tuduhan seperti itu yang dilayangkan oleh kalangan sarjana barat. Pertama, mengira seluruh kegiatan keilmuan yang dilakukan oleh para pelajar muslim hanyalah untuk meng-islamkan khazanah Yunani. Kedua, minimnya literatur kebudayaan terhadap falsafah islam. tuduhan yang mereka kirimkan kepada falsafah islam hanyalah melihat sebagian kacamata dalam kegiatan penerjemahan. Padahal kalau mereka melihat lebih dalam bahwa semangat keilmuan pelajar islam itu berdasar atas Al-Quran dan Hadits sendiri. misal, Al-Quran secara harfiah berasal dari kosakata qara'a yang berarti membaca, dalam arti luasnya berarti mengamati, mengidentifikasi, memahami, mengkategorisasi, membandingkan, menganalisa, menyimpulkan, dan memverifikasi (Nata, 2018: 51-52).
Falsafah islam adalah (bersifat) islam, bukan hanya karena ia dibudidayakan di dunia islam dan dilakukan oleh kaum muslim, melainkan juga karena menjabarkan prinsip-prinsip dan menimba inspirasi dari sumber-sumber wahyu islam, serta menangani banyak permasalahan dengan sumber-sumber itu kendati pun ada klaim-klaim yang berlawanan dari para penentangnya (Nasr & Leaman, 2003: 36). Semua failasuf hidup dalam buaian Al-Quran dan Hadits seperti Ibnu Sina yang apabila mendapat masalah yang pelik ia langsung pergi ke masjid untuk melaksanakan salat dan ibnu rusyd yang merupakan seorang qadhi.
Kehadiran Al-Quran dan Hadits telah memberi perubahan pada pola berfalsafah yang kemudian nanti disebut sebagai falsafah profetik. Falsafah profetik ini selalu berupaya melakukan penyempurnaan terhadap kapasitas akal, mental, sekaligus jiwa manusia secara terus menerus. Dengan demikian falsafah islam mampu membawa pencerahan terhadap fakultas intelektual, emosional, mental, sekaligus spiritual yang berada dalam diri manusia (Zaprulkhan, 2019: 5). Tentunya penjelasan ini tidak akan dibahas secara radikal, karena bagian penugasan saya mengenai bukti hadits yang menginspirasi falsafah islam. tapi setidaknya pembahasan awal tadi sebagai pengantar untuk masuk kedalam topik pembahasan yang saya angkat.
Akal Mempunyai Posisi Penting dalam Agama Islam
Islam memiliki dua sumber utama yakni Al-Quran dan Hadits. Saya tidak panjang lebar dalam membahas keduanya tapi hanya membahas salah satunya saja yaitu Hadits walaupun nantinya masih ada relasi dengan Al-Quran. Sebelum mengelaborasi lebih jauh soal Hadist yang telah menginspirasi falsafah islam, hendaknya mengetahui lebih dulu definisi hadits itu sendiri. hadits mempunyai beberapa sinonim menurut para pakar ilmu hadits, yaitu sunnah, khabar dan atsar. Menurut muhadditsin, hadits adalah sesuatu yang datang dari nabi, baik berupa perkataan atau perbuatan dan atau persetujuan (Khon, 2015: 2-3). Setelah mengetahuinya, ternyata hadits pun sempat menyinggung soal berpikir atau berfalsafah. Akan tetapi tidak secara mendetail hadits membahas definisi sampai permasalahan dalam falsafah islam.
Secara arti praktisnya, falsafah adalah berpikir (Tiam, 2015: 6) dan alat untuk berpikir disebut akal. Akal inilah yang nanti dibahas dalam beberapa hadits/sunnah Nabi. Islam sangat peduli dengan potensi akal manusia. Dalam Al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang mengisyaratkan hal ini. Berkali-kali Allah menyebutkan perihal akal, orang yang berakal. Misalnya saja kalimat "afala ta'qilun", "afala tatadabbarun", dan sebagainya. Demikian pula didalam hadits, banyak ditemukan isyarat pentingnya penggunaan akal dalam beragama. Bahkan "berakal" merupakan prasyarat individu untuk bisa memikul tanggung jawab beragama seperti dalam hadits disebutkan bahwa akal merupakan substansi agama.
"agama adalah akal pikiran, barangsiapa yang tidak ada agamanya, maka tidak ada akal pikirannya". (HR. An-Nasai).
secara tersirat, agama memposisikan akal sebagai sesuatu yang sangat urgent. Dalam beragama diperlukan kontribusi akal, kalau tidak disebutnya bukan beragama. Dalam ajaran agama islam terdapat perintah dan larangan yang relevan dengan pemikiran manusia, hal tersebut bisa dipahami bagi yang akal nya sehat dan normal. Orang yang tidak berakal dianalogikan seperti bayi yang masih belum bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk. Oleh karena itu, hadits ini sebagai isyarat untuk mengoptimalkan penggunaan akal. Demikian agama memberikan akal pada kedudukan yang tinggi. Bagi mereka yang menggunakan akal pikirannya secara optimal seringkali disebut pemikir atau kalangan intelektual. Banyak juga nash dari Al-Quran perihal penyebutan orang yang menggunakan akal pikirannya seperti ulul albab, ulul abshar, ulun nuha dan lain sebagainya.
Rasulullah secara eksplisit menganjurkan kepada umatnya untuk berpikir, misalnya hadits dari Ibnu Abbas Ra sebagai berikut:
"diriwayatkan dari ibn abbas ra bahwa ada suatu kaum yang memikirkan Allah Azza Wajalla, maka Nabi SAW bersabda: pikirkanlah tentang ciptaan Allah dan jangan kalian pikirkan tentang Allah, karena sesungguhnya kalian tidak akan sanggup (memikirkannya)." (HR. Abu Nu'ain dan Baihaqi).
Dikalangan sahabat pun dikenal banyak para pemikir diantaranya Ali bin Abi Thalib yang dikenal sangat cerdas dan disebut Nabi sebagai gudang ilmu dan kebijakan. Banyak atsar beliau yang mengandung hikmah yang sangat tinggi nilainya. Misalnya perkataan beliau bahwa "akal adalah kendaraan ilmu", "manusia adalah akalnya", "manusia memiliki akal dan bentuk, barangsiapa yang tak berfungsi maka bentuknya pun menjadi tak sempurna, seperti orang yang tak memiliki ruh". Imam ali berkata kepada putranya hasan "wahai anakku, kekayaan yang paling hebat adalah akal. Paling besarnya kefakiran adalah dungu". Selanjutnya imam ali berkata, "akal adalah rasul kebenaran", "akal adalah yang memperbaiki seluruh perkara", "akal adalah tiang penyangga yang paling kuat", "akal adalah pedang yang memutuskan", "buahnya akal senantiasa pada kebenaran", "buahnya akal adalah istiqamah" (Faisal, 2016: 15). Semua penjelasan tersebut menunjukkan bahwa akal mempunyai tempat yang sangat penting bagi agama.
Nabi Muhammad Sebagai Failasuf
Nabi Muhammad saw., sejak kecil dikenal sangat cerdas. Ketika ikut berdagang ke syam bersama Abu thalib ia bertanya pada pamannya tentang hakikat penciptaan alam. Sebagai pemuda yang cerdas dan kritis, beliau telah mempunyai sifat-sifat yang menunjukkan kualitas seorang failasuf. Oleh karena kecerdasan dan sifat-sifat yang dimilikinya beliau dapat menyelesaikan pertikaian pemuka Quraish dalam memperebutkan siapa yang harus meletakkan hajar aswad ketempatnya semula. Â Melihat realitas sosial yang bobrok, sebagai seorang warga yang berkepribadian unggul, beliau merasa sangat gelisah. Kegelisahannya mendorongnya pergi mencari pencerahan ke Gua Hira. Beliau pergi untuk merenungkan dan memikirkan apa sebab semua itu terjadi dan bagaimana cara mengatasinya. Sampai turunlah wahyu pertama, yaitu perintah untuk membaca. "membaca" disini bisa diartikan dengan membaca realitas sosial yang ada dalam kehidupan masyarakatnya, dengan didasari oleh adanya kesadaran dan transendental. Dengan kata lain, sebenarnya Tuhan memerintahkan Nabi untuk menggunakan potensi akalnya membaca gejala sosial yang ada pada masyarakatnya dan memikirkan jalan keluar untuk mengatasinya (Arrauf, 2013: 14-15).
Nabi Muhammad dengan ketinggian daya khayal nya mampu berkomunikasi dengan akal aktif (Jibril) untuk menerima risalah dalam bentuk wahyu guna diberitahukan kepada umatnya agar tercipta peradaban. Tentu, menyampaikannya perlu menggunakan bahasa yang mudah diterima oleh logika orang awam, Nabi dengan cerdasnya mampu membahasakan wahyu dengan bahasa yang logis sehingga mudah diterima oleh umatnya.Â
Bukti Falsafah Islam Terinspirasi Hadits
Sebenarnya pada bagian sebelumnya sudah dijelaskan bahwa agama islam memberikan posisi yang penting bagi akal untuk berpikir atau berfalsafah. Supaya lebih menguatkan lagi, bahwa Rasulullah telah mengubah cara pandang dari mythos ke logos. Saat dimana masyarakatnya sudah tidak menunjukkan adanya berpikir logis melainkan lebih percaya terhadap ramalan. Rasul pun melarang umatnya mendatangi dan lebih jauh mempercayai pada tukang ramal karena akan berakibat terhadap berpikir logis yang dianjurkan oleh agama dan sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Artinya Sunnah Nabi telah menyuruh kepada kita semua untuk menggunakan daya pikir yang logis bahkan ada sebuah hadits yang menjelaskan keutamaan berpikir logis dinilai ibadah.
Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Hibban dari Ali bin abi thalib, dijelaskan keutamaan berpikir yang dinilai sebagai ibadah tiada tandingnya. Rasul dalam sebuah hadits bersabda "tiada ibadah seperti berpikir". Demikian pula hadits Riwayat ibnu abbas dan abu darda ra :
Artinya: berpikir sejam lebih baik dari bangun beribadah sepanjang malam.
Hadits ini tentunya tidak bermaksud untuk melemahkan semangat untuk beribadah, tetapi menjadi isyarat tingginya penghargaan islam terhadap aktifitas intelektual (Faisal, 2016: 13).
Kemudian yang paling jelas mengenai bukti hadits nabi yang menginspirasi falsafah islam yaitu banyaknya tema-tema dari Al-Quran maupun hadits yang menjadi topik pembahasan para failsuf. Tema-tema tersebut seperti mengenai tauhid, Tuhan sebagai pencipta dan penciptaan dari ketiadaan, persoalan hadis dan qadim, pengetahuan tentang alam, eskatologi dan sebagainya.
Misalnya seperti pengetahuan tentang alam, ada sebuah hadits yang menceritakan tentang kewajiban berpikir dalam memahami alam raya sebagai suatu perintah agama. Hadits yang diriwayatkan ibn hibban yang berasal dari sayyidatina Aisyah tersebut menceritakan tentang Rasulullah yang pada suatu malam menangis dan tidak meninggalkan tempat sholat lail hingga subuh datang. Ketika Aisyah menanyakan mengapa baginda menangis padahal Allah telah mengampuni dosanya yang telah berlalu maupun yang akan datang, Rasulullah menjawab, "tidak bisakah aku menjadi hamba yang bersyukur? Dan kenapa aku tidak berbuat demikian? Sedangkan pada malam ini telah turun ayat padaku". Kemudian Rasulullah membayacakan ayat 190-191 surah Ali Imran:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, maha suci engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka". (Q.S. Ali Imran: 190-191)
Selanjutnya Rasulullah bersabda  maksudnya "celakalah bagi orang yang membacanya dan tidak memikirkannya".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H