Disinilah indikasi adanya pelanggaran HAM berat atas tragedi berdarah di stadion Kanjuruhan yang harus diusut hingga tuntas dan divaluasi secara detail oleh para pihak pemangku kebijakan.
Melanggar Aturan FIFA soal Larangan Penggunaan Gas Air MataÂ
Para pihak jelas sudah paham dan mengetahui aturan main dalam proses penyelenggaraan permainan sepak bola ditanah air, dan aturan FIFA pun di langgar hingga menyebabkan ratusan nyawa melayang.
Federasi Sepak bola International (FIFA) sudah membuat regulasi dan aturan tentang larangan penggunaan senjata api, dan larangan Gas pengendali Massa di dalam stadion.
Dikutip dari laman Jatim.viva.co.id, tentang Aturan FIFA tertuang dalam Pasal 19 Nomor (b), tentang Pitchside Stewards, yang berbunyi: No fi rearms or crowd control gas, shall be carried or used (Tidak boleh membawa atau menggunakan senjata api atau gas pengendali massa).
Mengapa Gas Air mata itu masih digunakan ? Apakah benar sudah sesuai dengan Prosedur yang diungkapkan oleh pihak aparat keamanan ? Disinilah menjadi sejumlah tanda tanya bahwa aparat keamanan, tidak lagi menjadi penagak aturan dan pengendali ketertiban, yang ada hanya menjadi robot "pembunuh" massa hingga mencapai ratusan orang yang kehilangan nyawa.
Ketika penyelenggara dan pihak aparat keamanan melanggar aturan dan regulasi yang ditetapkan oleh FIFA, hingga menyebabkan ratusan nyawa melayang tersebut, ini bisa menjadi tragedi pelanggaran HAM berat, sehingga penyelidikan dan pengusutan atas tragedi kelam itu harus dituntaskan oleh pemerintah.
"Tidak ada permainan yang nilainnya seberharga nyawa seseorang"
Mengapa penulis menduga adanya pelanggaran HAM berat atas tragedi hilangnya nyawa para suporter Aremania di stadion Kanjuruhan Malang itu ?
Sebab peristiwa 01 Oktober 2022 tersebut telah membuat ratusan nyawa melayang, dan salah satu pemicunya adalah tembakan gas air mata yang menyebabkan kepanikan, sehingga para suporter berupaya keras mencari jalan keluar untuk menghindari tembakan Gas tersebut.
Tragedi berdarah di Kanjuruhan menjadi tragedi yang paling mencekam dalam sejarah sepakbola Indonesia, mungkin saja para orang tua yang kehilangan anak dan kerabatnya itu sangat membenci permainan sepakbola sepanjang hayatnya, sebab mereka hanya menonton bola harus bertaruh nyawa, bahkan kehilangan nyawa.