Santri yang berasrama untuk menempa diri, harus berpulang tanpa bergerak tersebut, bisa menyebabkan para orang tua ragu untuk menitipkan anak sekolah yang berasrama, sehingga peristiwa yang tidak lazim tersebut tidak boleh kembali terjadi.
Bukan lembaganya yang salah, namun para oknum itulah yang harus menerima hukuman karena telah melakukan tindakan yang tidak manusiawi hingga menghilangkan nyawa temennya sendiri.
Kekerasan kembali terjadi di lingkungan pendidikanÂ
Bentuk-bentuk kekerasan baik fisik maupun psikis ini, memang sudah sedari awal diantisipasi, tetapi kelalaian hingga hal-hal yang seharusnya tidak terjadi, justru masih ada saja, sehingga menjadi suatu pelajaran dan evaluasi para pihak.
Kematian seorang Santri Gontor Darussalam, hal tersebut bukanlah perkara sepele karena itu telah menghilangkan nyawa.
Disamping menjadi pelajaran, evaluasi, antisipasi, hukum pun terus dijalankan hingga tuntas, sehingga keluarga korban mendapatkan keadilan.
Tindak kekerasan dan penganiayaan yang menewaskan salah satu santri tersebut menjadi "keraguan" tersendiri bagi orang tua untuk menitipkan putra/putrinya sekolah dengan berasrama.
Para orang tua tentunya menitipkan anak-anaknya supaya ditempa dengan pengetahuan, menggali skill, dan menjadi harapan dimasa yang akan datang, namun harapan itu harus pupus, lantaran tindak kekerasan dan penganiayaan yang menghilangkan nyawa.
Oleh karena itu tindak kekerasan, penganiayaan, bullying, dan tindak pelecehan lainnya harus sudah diantisipasi bagi sekolah yang berasrama, seperti pondok pesantren dan sekolah lainnya yang bukan pesantren.
Sehingga para pihak harus memantau sistem dan proses penyelenggaraan sekolah berasrama tersebut, dan menekan dengan keras upaya-upaya yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan dan penganiayaan dilingkungan pendidikan itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H