Apakah ada yang salah akan hal tersebut, tentu saja tidak, namun dalam konstek sosial, bahwa anak-anak yang melakukan rutinitas demikian tentu menjadi perhatian kita bersama, baik pemerintah maupun warga yang hidupnya lebih beruntung.
Lantas bagaimana seharusnya kita melihat fenomena sosial yang kerap kita lihat di tempat-tempat keramaian sebagai fenomena sosial yang keberadaannya di anggap lumrah ?Â
Pemerintah dan warga yang lebih beruntung harus ada untuk merekaÂ
Ada peribahasa yang mengatakan, apa yang engkau tanam hari ini dan dirawat dengan baik, maka esok hari akan tumbuh, berkembang dan berbuah dikemudian hari.
Bahwasanya sebagai makhluk sosial, kita bisa merasakan apa yang sedang mereka rasakan, hidup terlunta-lunta dengan cara mengemis dan meminta-minta, sementara umur mereka masih sangat belia yang seharusnya berada di bangku sekolah, justru di ajak untuk mengemis.
Memang tidak ada yang salah akan hal tersebut, tetapi kondisi itu menunjukkan bahwa indikator kemiskinan di Negeri yang sangat kaya akan SDM maupun SDA nya, seakan tidak berbanding lurus dengan fenomena kemiskinan dan kefakiran.
Pemerintah pun terus melakukan upaya menekan angka kemiskinan dengan berbagai program bantuan, dengan istilah yang beragam, dengan tujuan untuk menekan angka kemiskinan semakin menurun.
Tetapi soal menekan angka kemiskinan ini bukanlah perkara yang mudah di tengah psikososial masyarakat kita.
Karena terkadang kemiskinan itu dipelihara untuk mencari simpatik saja atau bahkan kemiskinan bisa di jadikan tunggangan atau alat politik dan kepentingan, sehingga tidak heran jika kemiskinan masih menjadi objek "dipelihara".
Walau bagaimanapun tetaplah berbuat Baik dan saling berbagiÂ
Sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, bahwa harus disadari betul dalam diri kita, bahwa harta yang kita dapatkan disitu ada sebagian harta kaum dhuafa, fakir, dan miskin.