Lembaga ekonomi kesayangan kapitalis, perdagangan publik, memusatkan kekuatan pada sumber-sumber produksi, pasar, media dan tekhnologi untuk melayani pasar-pasar finansial. Kekuatan ini digunakan oleh lembaga-lembaga korporasi ekonomi untuk menguasai institusi politik dan budaya sesuai kehendak mereka. Kekuasaan yang menggunakan kekuasaan politik dan kekuatan budaya secara normatif menjadi instrumen kontrol dan manipulasi.Â
Pesan yang selalu dilakukan dalam praktik adalah bahwa cara untuk mengartikan cinta dan pemenuhan adalah dengan melakukan transaksi jual beli dan menjadi konsumen dari produk-produk yang diinisiasi, memperkuat alienasi individu dari sumber-sumber makna dan dientitas yang otentik. Kekuatan dan nilai yang menentukan masyarakat mengalir dari uang kepada lembaga dan kepada manusia.
Kontrol atas sistem yang dengannya uang diciptakan dan dialokasikan adalah sumber primer dari kekuatan badan-badan korporasi. Ketergantungan mereka terhadap budaya non otentik yang didasarkan pada ilusi dan kesesatan untuk memelihara legitimasi mereka dalam pandangan masyarakat, adalah kelemahan mereka. Keaslian budaya adalah ajang kekuatan masyarakat (adat).Â
Bagi masyarakat adat, dengan demikian budaya adalah arena pilihan yang menawarkan perjuangan, terutama, melawan kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi korporasi yang tersemai yang hendak menyingkirkan fondasi kultural.Â
Mulai saat ini kita perlu memikirkan nasib masyarakat adat 20 hingga 30 tahun mendatang, kita harus mentransformasikan masyarakat yang berdedikasi terhadap kecintaannya pada nilai-nilai dan identitas mereka dan melahirkan kelompok kreator budaya ataukah kita harus mengambil resiko dengan menuai kepunahan spesies kita sebagai masyarakat adat akibat pertarungan dan pergeseran budaya?
)* Penulis; Advokat, Kuasa Hukum Masyarakat Adat Dolulolong
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H