Selain itu mengutip tulisan RH Barnes dari Vatter (1932 : 158) dalam bukunya tentang Kedang (Kedang a study of the Colletive thought of an Castern Indonesian People) diterjemahkan oleh Saver Jadav menyebutkan; pada tahun 1915 di Kedang terdapat 3 (tiga) pasar yakni pasar Wairiang, pasar Kalikur dan pasar Dolulolong. Yang dimaksud pasar Dolulolong adalah yang terletak di pantai Balauring.
Dalam buku tsb disebutkan Dolulolong pada saat itu sebagai pusat gerakan anti Belanda dan proganda Bolschevistic yang dilakukan dengan cara mengusir kapal penembak Belanda yakni kapal Prina Hendrik dan kapal Benkoelen yang berlabu dikampung Dolulolong dipantai Balauring.
Selain itu wilayah ulayat Dolulolong di Balauring telah di akui oleh masyarakat dan Pemerintah Desa Balauring. Pengakuan sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Rapat Pembahasan Persehatian Batas Wilayah Administrasi antara Desa Balauring dan Desa Dolulolong yang dilakukan pada tanggal 16 Januari 2016, salah satu poin dalam Berita Acara tsb menyebutkan "Forum Rapat menyetujui bahwa Leu Ote Wata Noq merupakan Hak Ulayat Dolulolong".
Berita Acara sebagaimana disebutkan diatas ditandatangani oleh kedua Kepala Desa yakni Kepala Desa Dolulolong dan Kepala Desa Balauring, juga ditandatangani oleh 68 warga masyarakat kedua Desa tsb serta turut diketahui / ditandatangani oleh Camat Omesuri;
Selain Berita Acara tsb, ulayat Dolulolong di Balauring juga diakui melalui Surat Pernyataan Kepala Desa Balauring yang dibuat pada tanggal 16 Januari 2016 yang dalam surat pernyataan tersebut menegaskan "bahwa wilayah administratif Desa Balauring, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata berada dalam wilayah Hak Ulayat Dolulolong";
Selain Desa Balauring, ulayat Dolulolong juga diakui oleh masyarakat dan Pemerintah Desa Hoe Lea I, hal itu tertuang dalam Berita Acara yang dibuat dan di tandatangani oleh masyarakat adat dan Pemerintah Desa Hoe Lea I bersama masyarakat adat dan Pemerintah Desa Dolulolong, Berita Acara mana dibuat pada tanggal 20 November 2011.
Pengakuan Hak Ulayat
Warga Dolulolong merupakan paguyuban masyarakat adat, yang memiliki hak-hak tradisional yang dilindungi Negara sesuai amanat Pasal 18b ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang".
Pengakuan terhadap hukum adat dan hak-hak tradisional khususnya dalam bidang Agraria diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria menyatakan, bahwa : "Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi".
Undang-undang Nomor  39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 6 menyatakan bahwa dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menyatakan bahwa Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan oleh Pemerintah dan atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan undang-undang.