Oleh Akhmad Bumi)*
Perlawanan masyarakat adat Dolulolong terhadap pelaksanaan proyek reklamasi pantai Balauring dan pembukaan jalan wisata lingkar Lohu Balauring-Dolulolong membuka mata bagi segenap pihak, bahwa pembangunan model apapun tidak dapat mengabaikan hak-hak masyarakat adat, yang nyata-nyatanya masih ada. Narasi perjuangan terletak pada masyarakat adat dan dampak sosio-kulturalnya.
Dolulolong sebuah desa kecil, 59 kilometer dari Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata, NTT. Dengan infrastruktur jalan yang buruk, melalui jalan darat dari arah barat Lewoleba ditempuh sekitar 2 sampai 3 jam menyusuri jalan berdebu dan berlubang sepanjang jalan. Dolulolong, kampung terpencil, penduduk dengan mata pencaharian rata-rata petani baik petani darat maupun petani laut. Memasuki kampung Dolulolong tampak struktur tanah berbukit-bukti dan bebatuan.
Ada dua sumur (air tanah) yang berada dilembah barat dan lembah timur mengapit kampung mungil itu. Di barat disebut "wei tiu" dan di barat lagi ada kali hidup yang diberi nama "kali meru" yang tampak subur ditumbuhi kelapa dan pisang nan hijau membujur arah selatan ke utara.
Di timur kampung Dolulolong, ada lagi sumur yang disebut "wei edang", persis dikaki bukit Leu Lai. Puluhan meter dari arah wei edang (sumur), ada sebuah batu yang disebut "kora-kora" (waq tene). Kalau ula werung (bulan baru) tampak terang dan menyala, ula opol (bulan purnama) tampak redup.
Parid Ridwanudin dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) sempat mengunjungi batu itu sekitar akhir Juli 2018, dalam perjalanan wisata keadilan untuk perikanan, pria kelahiran Jawa Barat ini mendarat dikampung berbukit itu. Sempat selfi bersama warga Dolulolong di Wata Riang (pantai besar) dan dirumah adat (huna hale) persis berada didalam area Nuba Nara.
Dari Lewoleba, pria dengan postur tubuh yang mungil itu menumpang bis penumpang Lewoleba-Kedang. Tentu potret infrastruktur jalan yang dilalui tidak semulus Jakarta, tidak sehebat iklan festival tiga gunung Lembata yang menghabiskan uang puluhan milyar rupiah. Daya dukung industri pariwisata rasanya terkubur bersama debu dan kerikil yang beterbangan, ketika kendaraan lewat.
Disebelah batu perahu (kora-kora) dikampung Dolulolong, ada tempat yang diberi nama "Uhe Dolu". Uhe secara harfiah diartikan sebagai isi perut bumi atau daya penyegar tanah. Ada batu berpesona manusia halus dan lubang sejauh mata memandang.
Setiap kunjungan wisatawan, selalu mengunjungi tempat itu, yang ditemani Dinas Pariwisata Kabupaten Lembata. Bulan Juli kemarin mahasiswa STFK Ledalero Maumere melakukan study tentang tempat itu, mengapa berada dikampung itu dan seperti apa kejadiannya.
Bagi masyarakat adat Dolulolong meyakini "Uhe" itu tidak akan mati, bisa lenyap kalau lenyap juga alam semesta. Dia berada, menempati dan hidup dibawah tanah, jika bergerak maka orang yang berada diatasnya merasa seperti neju (gempa). Artinya ada yang menggoncangkan, batang (auq pulu), batang tubuh bumi.
Oleh kepercayaan adat setempat, bumi ditahan oleh "tanah ekang" atau seekor naga. Kalau ada neju (gempa) maka orang diatas tanah berteriak "eke beq, eke beq" (kami disini, kami disini). Keyakinan adat, orang yang hidup diatas bumi ada penjaganya dibawah bumi. Masyarakat adat Dolulolong meyakini hal itu sebagai "naga leu".