Dalam lanskap pendidikan tinggi Indonesia, Universitas Padjadjaran (Unpad) selalu menjadi salah satu mercusuar intelektual yang dipandang sebagai tolok ukur kemajuan dan integritas akademik. Namun, menjelang pemilihan rektor untuk periode 2024-2029, sebuah kontroversi telah mengguncang pondasi kepercayaan antara calon pemimpin dan konstituennya yang paling vital: mahasiswa. Insiden penolakan ketiga calon rektor untuk hadir dalam acara "Bongkar Calon Rektor: Kupas Tuntas Gagasan Bersama Civitas Academica" yang diinisiasi oleh Aliansi Keluarga Mahasiswa (Kema) Unpad telah memicu gelombang kekecewaan dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan krusial tentang esensi kepemimpinan di lingkungan akademik.
Pemilihan rektor bukanlah sekadar ritual administratif lima tahunan. Ini adalah momen definisi yang akan menentukan arah dan nafas kampus untuk waktu yang cukup panjang.
Rektor, sebagai nahkoda institusi, memiliki kekuasaan untuk membentuk kebijakan yang akan berdampak luas, mulai dari kualitas pendidikan, fokus penelitian, hingga budaya kampus secara keseluruhan. Dengan tanggung jawab sebesar itu, proses pemilihan seharusnya menjadi arena dialog terbuka, di mana seluruh elemen kampus---termasuk dan terutama mahasiswa---memiliki kesempatan untuk terlibat aktif, mengajukan pertanyaan kritis, dan menyuarakan aspirasi mereka.
Inisiatif Aliansi Kema Unpad untuk mengadakan forum terbuka "Bongkar Calon Rektor" seharusnya dipandang sebagai manifestasi dari semangat demokrasi dan keterlibatan civitas academica dalam menentukan masa depan almamater mereka. Forum semacam ini bukan hanya kesempatan bagi mahasiswa untuk mendengar langsung visi dan misi para calon pemimpin, tetapi juga momen berharga bagi para calon rektor untuk menunjukkan keterbukaan, empati, dan kemampuan mereka dalam mengelola dialog publik---kualitas yang sangat essential bagi seorang pemimpin perguruan tinggi modern.
Namun, alih-alih memanfaatkan kesempatan emas ini, ketiga calon rektor---Prof. Arief S. Kartasasmita, Prof. Popy Rufaidah, dan Prof. Dr. med. Setiawan---memilih untuk absen. Alasan awal bahwa mereka tidak diizinkan oleh Panitia Penyelenggara Pemilihan Rektor (P3R) dan Majelis Wali Amanat (MWA) ternyata tidak berdasar, karena kedua lembaga tersebut justru memberikan lampu hijau. Penolakan hadir dengan dalih "sudah ada agenda lain" hanya menambah kekecewaan dan memunculkan spekulasi tentang prioritas serta komitmen mereka terhadap keterbukaan dan dialog dengan mahasiswa.
Aksi Simbolik yang Dilakukan Aliansi Kema Unpad Di depan Gedung Rektorat Dalam Pengawalan Pemilihan
Rektor Universitas Padjadjaran Periode 2024-2029
Sikap para calon rektor ini bisa diinterpretasikan dalam beberapa cara, namun tidak satupun yang menguntungkan citra mereka. Pertama, ini bisa dilihat sebagai bentuk arogansi akademik, di mana para calon pemimpin merasa tidak perlu "turun gunung" untuk berdialog langsung dengan mahasiswa. Kedua, ini bisa juga mencerminkan ketakutan untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan kritis dan mungkin kontroversial dari mahasiswa. Ketiga, dan mungkin yang paling mengkhawatirkan, adalah kemungkinan bahwa para calon rektor ini memang tidak memiliki visi yang jelas dan konkret untuk disampaikan kepada komunitas
kampus.
Konsekuensi dari ketidakhadiran ini bisa jauh lebih serius daripada sekadar kekecewaan sesaat. Ini berpotensi menciptakan jurang kepercayaan antara pimpinan dan mahasiswa bahkan sebelum masa kepemimpinan dimulai. Padahal, di era di mana perguruan tinggi dituntut untuk lebih responsif terhadap perubahan global yang cepat, sinergi antara pimpinan dan seluruh elemen kampus menjadi kunci keberhasilan. Ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk berdialog dengan mahasiswa bisa menjadi preseden buruk yang akan mempersulit implementasi kebijakan-kebijakan di masa depan.
Tuntutan Aliansi Kema Unpad agar para calon rektor menandatangani pakta integritas adalah langkah yang bisa dipahami. Ini bisa menjadi jembatan untuk memulihkan kepercayaan dan membangun komitmen bersama. Pakta integritas bukan sekadar formalitas, tetapi bisa menjadi landasan etis dan moral yang mengikat para calon pemimpin untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi dalam kepemimpinan mereka kelak.
Namun, ancaman agar para calon mundur jika tidak menandatangani pakta tersebut perlu dikaji ulang. Meskipun frustrasi mahasiswa bisa dimengerti, pendekatan konfrontatif semacam ini berisiko menutup pintu dialog dan kompromi yang sangat diperlukan dalam proses demokrasi kampus. Alih-alih ultimatum, mungkin lebih bijak untuk membuka ruang negosiasi dan mencari solusi yang bisa mengakomodasi kepentingan semua pihak.
Insiden ini juga menyoroti kebutuhan akan reformasi dalam sistem pemilihan pimpinan perguruan tinggi di Indonesia. Mekanisme yang ada saat ini seringkali terlalu tertutup dan elitis, membatasi partisipasi aktif dari mahasiswa dan civitas academica lainnya. Perlu ada regulasi yang lebih jelas tentang kewajiban calon pemimpin untuk terlibat dalam dialog publik dan forum terbuka sebagai bagian integral dari proses pemilihan.
Lebih jauh lagi, kontroversi ini membuka diskusi yang lebih luas tentang karakter kepemimpinan yang dibutuhkan oleh perguruan tinggi Indonesia di era global dan digital. Di tengah tantangan disrupsi teknologi, perubahan pasar kerja, dan tuntutan untuk menghasilkan lulusan yang tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga berkarakter kuat, pemimpin
perguruan tinggi dituntut untuk memiliki visi yang jauh ke depan, kemampuan adaptasi yang tinggi, dan yang tidak kalah penting, keterampilan komunikasi dan empati yang mumpuni.
Pemimpin akademik modern harus mampu menjembatani berbagai kepentingan, mulai dari tuntutan akademik, kebutuhan industri, hingga aspirasi mahasiswa dan masyarakat luas. Mereka harus bisa mengelola perguruan tinggi tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai pusat inovasi dan katalis perubahan sosial. Untuk itu, keterbukaan terhadap kritik, kesediaan untuk berdialog, dan kemampuan untuk menginspirasi seluruh elemen kampus menjadi kualitas yang tidak bisa ditawar.
Ke depan, komunitas Unpad---dan mungkin juga perguruan tinggi lain di Indonesia---perlu melakukan introspeksi mendalam tentang proses pemilihan dan kriteria pemimpin mereka. Perlu ada mekanisme yang lebih inklusif dan partisipatif, yang memberi ruang bagi seluruh civitas academica untuk terlibat aktif dalam menentukan arah kampus. Forum-forum dialog terbuka seperti yang diinisiasi oleh Aliansi Kema Unpad seharusnya menjadi bagian integral dari proses pemilihan, bukan sekadar aksesoris demokrasi kampus.
Bagi para calon rektor Unpad, insiden ini seharusnya menjadi momen introspeksi dan pembelajaran. Ketidakhadiran mereka dalam forum mahasiswa bukan hanya telah menciptakan citra negatif, tetapi juga menunjukkan kelemahan dalam memahami esensi kepemimpinan di era keterbukaan ini. Mereka perlu mengambil langkah konkret untuk merestorasi kepercayaan, mungkin dengan mengadakan forum terbuka susulan atau membuka saluran komunikasi langsung dengan mahasiswa.
Pada akhirnya, krisis ini bisa menjadi katalis perubahan positif jika dikelola dengan bijak. Ini adalah kesempatan untuk mereformasi sistem, memperkuat demokrasi kampus, dan membangun model kepemimpinan yang lebih responsif dan inklusif. Karena pada hakikatnya, kekuatan sebuah perguruan tinggi tidak hanya terletak pada prestasi akademik atau peringkat internasionalnya, tetapi juga pada kemampuannya untuk memelihara dialog terbuka, menghargai suara kritis, dan membangun sinergi antara seluruh elemen kampus.
Unpad, sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi terkemuka di Indonesia, memiliki tanggung jawab untuk menjadi teladan dalam hal tata kelola dan kepemimpinan akademik. Cara mereka menyelesaikan kontroversi ini akan menjadi cermin bagi perguruan tinggi lain
dan masyarakat luas tentang bagaimana sebuah komunitas akademik yang dewasa dan progresif mengelola perbedaan dan membangun konsensus. Semoga dari krisis ini akan lahir model kepemimpinan baru yang lebih selaras dengan tuntutan zaman dan aspirasi generasi muda Indonesia.
*artikel telah tayang di Medium dengan penulis yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H