Lebih jauh lagi, kontroversi ini membuka diskusi yang lebih luas tentang karakter kepemimpinan yang dibutuhkan oleh perguruan tinggi Indonesia di era global dan digital. Di tengah tantangan disrupsi teknologi, perubahan pasar kerja, dan tuntutan untuk menghasilkan lulusan yang tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga berkarakter kuat, pemimpin
perguruan tinggi dituntut untuk memiliki visi yang jauh ke depan, kemampuan adaptasi yang tinggi, dan yang tidak kalah penting, keterampilan komunikasi dan empati yang mumpuni.
Pemimpin akademik modern harus mampu menjembatani berbagai kepentingan, mulai dari tuntutan akademik, kebutuhan industri, hingga aspirasi mahasiswa dan masyarakat luas. Mereka harus bisa mengelola perguruan tinggi tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai pusat inovasi dan katalis perubahan sosial. Untuk itu, keterbukaan terhadap kritik, kesediaan untuk berdialog, dan kemampuan untuk menginspirasi seluruh elemen kampus menjadi kualitas yang tidak bisa ditawar.
Ke depan, komunitas Unpad---dan mungkin juga perguruan tinggi lain di Indonesia---perlu melakukan introspeksi mendalam tentang proses pemilihan dan kriteria pemimpin mereka. Perlu ada mekanisme yang lebih inklusif dan partisipatif, yang memberi ruang bagi seluruh civitas academica untuk terlibat aktif dalam menentukan arah kampus. Forum-forum dialog terbuka seperti yang diinisiasi oleh Aliansi Kema Unpad seharusnya menjadi bagian integral dari proses pemilihan, bukan sekadar aksesoris demokrasi kampus.
Bagi para calon rektor Unpad, insiden ini seharusnya menjadi momen introspeksi dan pembelajaran. Ketidakhadiran mereka dalam forum mahasiswa bukan hanya telah menciptakan citra negatif, tetapi juga menunjukkan kelemahan dalam memahami esensi kepemimpinan di era keterbukaan ini. Mereka perlu mengambil langkah konkret untuk merestorasi kepercayaan, mungkin dengan mengadakan forum terbuka susulan atau membuka saluran komunikasi langsung dengan mahasiswa.
Pada akhirnya, krisis ini bisa menjadi katalis perubahan positif jika dikelola dengan bijak. Ini adalah kesempatan untuk mereformasi sistem, memperkuat demokrasi kampus, dan membangun model kepemimpinan yang lebih responsif dan inklusif. Karena pada hakikatnya, kekuatan sebuah perguruan tinggi tidak hanya terletak pada prestasi akademik atau peringkat internasionalnya, tetapi juga pada kemampuannya untuk memelihara dialog terbuka, menghargai suara kritis, dan membangun sinergi antara seluruh elemen kampus.
Unpad, sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi terkemuka di Indonesia, memiliki tanggung jawab untuk menjadi teladan dalam hal tata kelola dan kepemimpinan akademik. Cara mereka menyelesaikan kontroversi ini akan menjadi cermin bagi perguruan tinggi lain
dan masyarakat luas tentang bagaimana sebuah komunitas akademik yang dewasa dan progresif mengelola perbedaan dan membangun konsensus. Semoga dari krisis ini akan lahir model kepemimpinan baru yang lebih selaras dengan tuntutan zaman dan aspirasi generasi muda Indonesia.
*artikel telah tayang di Medium dengan penulis yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H