Mohon tunggu...
Aziznndaa
Aziznndaa Mohon Tunggu... Penulis - Universitas Padjadjaran

Mahasiswa Jurnalistik Unpad

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Drama Kursi Rektor, Ketika Calon Rektor Unpad Menghindari Suara Mahasiswa

12 Juli 2024   23:59 Diperbarui: 13 Juli 2024   00:17 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam lanskap pendidikan tinggi Indonesia, Universitas Padjadjaran (Unpad) selalu menjadi salah satu mercusuar intelektual yang dipandang sebagai tolok ukur kemajuan dan integritas akademik. Namun, menjelang pemilihan rektor untuk periode 2024-2029, sebuah kontroversi telah mengguncang pondasi kepercayaan antara calon pemimpin dan konstituennya yang paling vital: mahasiswa. Insiden penolakan ketiga calon rektor untuk hadir dalam acara "Bongkar Calon Rektor: Kupas Tuntas Gagasan Bersama Civitas Academica" yang diinisiasi oleh Aliansi Keluarga Mahasiswa (Kema) Unpad telah memicu gelombang kekecewaan dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan krusial tentang esensi kepemimpinan di lingkungan akademik.

Pemilihan rektor bukanlah sekadar ritual administratif lima tahunan. Ini adalah momen definisi yang akan menentukan arah dan nafas kampus untuk waktu yang cukup panjang.
Rektor, sebagai nahkoda institusi, memiliki kekuasaan untuk membentuk kebijakan yang akan berdampak luas, mulai dari kualitas pendidikan, fokus penelitian, hingga budaya kampus secara keseluruhan. Dengan tanggung jawab sebesar itu, proses pemilihan seharusnya menjadi arena dialog terbuka, di mana seluruh elemen kampus---termasuk dan terutama mahasiswa---memiliki kesempatan untuk terlibat aktif, mengajukan pertanyaan kritis, dan menyuarakan aspirasi mereka.

Inisiatif Aliansi Kema Unpad untuk mengadakan forum terbuka "Bongkar Calon Rektor" seharusnya dipandang sebagai manifestasi dari semangat demokrasi dan keterlibatan civitas academica dalam menentukan masa depan almamater mereka. Forum semacam ini bukan hanya kesempatan bagi mahasiswa untuk mendengar langsung visi dan misi para calon pemimpin, tetapi juga momen berharga bagi para calon rektor untuk menunjukkan keterbukaan, empati, dan kemampuan mereka dalam mengelola dialog publik---kualitas yang sangat essential bagi seorang pemimpin perguruan tinggi modern.

Namun, alih-alih memanfaatkan kesempatan emas ini, ketiga calon rektor---Prof. Arief S. Kartasasmita, Prof. Popy Rufaidah, dan Prof. Dr. med. Setiawan---memilih untuk absen. Alasan awal bahwa mereka tidak diizinkan oleh Panitia Penyelenggara Pemilihan Rektor (P3R) dan Majelis Wali Amanat (MWA) ternyata tidak berdasar, karena kedua lembaga tersebut justru memberikan lampu hijau. Penolakan hadir dengan dalih "sudah ada agenda lain" hanya menambah kekecewaan dan memunculkan spekulasi tentang prioritas serta komitmen mereka terhadap keterbukaan dan dialog dengan mahasiswa.

Aksi Simbolik yang Dilakukan Aliansi Kema Unpad Di depan Gedung Rektorat Dalam Pengawalan Pemilihan

Rektor Universitas Padjadjaran Periode 2024-2029

Sikap para calon rektor ini bisa diinterpretasikan dalam beberapa cara, namun tidak satupun yang menguntungkan citra mereka. Pertama, ini bisa dilihat sebagai bentuk arogansi akademik, di mana para calon pemimpin merasa tidak perlu "turun gunung" untuk berdialog langsung dengan mahasiswa. Kedua, ini bisa juga mencerminkan ketakutan untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan kritis dan mungkin kontroversial dari mahasiswa. Ketiga, dan mungkin yang paling mengkhawatirkan, adalah kemungkinan bahwa para calon rektor ini memang tidak memiliki visi yang jelas dan konkret untuk disampaikan kepada komunitas
kampus.

Konsekuensi dari ketidakhadiran ini bisa jauh lebih serius daripada sekadar kekecewaan sesaat. Ini berpotensi menciptakan jurang kepercayaan antara pimpinan dan mahasiswa bahkan sebelum masa kepemimpinan dimulai. Padahal, di era di mana perguruan tinggi dituntut untuk lebih responsif terhadap perubahan global yang cepat, sinergi antara pimpinan dan seluruh elemen kampus menjadi kunci keberhasilan. Ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk berdialog dengan mahasiswa bisa menjadi preseden buruk yang akan mempersulit implementasi kebijakan-kebijakan di masa depan.

Tuntutan Aliansi Kema Unpad agar para calon rektor menandatangani pakta integritas adalah langkah yang bisa dipahami. Ini bisa menjadi jembatan untuk memulihkan kepercayaan dan membangun komitmen bersama. Pakta integritas bukan sekadar formalitas, tetapi bisa menjadi landasan etis dan moral yang mengikat para calon pemimpin untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi dalam kepemimpinan mereka kelak.

Namun, ancaman agar para calon mundur jika tidak menandatangani pakta tersebut perlu dikaji ulang. Meskipun frustrasi mahasiswa bisa dimengerti, pendekatan konfrontatif semacam ini berisiko menutup pintu dialog dan kompromi yang sangat diperlukan dalam proses demokrasi kampus. Alih-alih ultimatum, mungkin lebih bijak untuk membuka ruang negosiasi dan mencari solusi yang bisa mengakomodasi kepentingan semua pihak.

Insiden ini juga menyoroti kebutuhan akan reformasi dalam sistem pemilihan pimpinan perguruan tinggi di Indonesia. Mekanisme yang ada saat ini seringkali terlalu tertutup dan elitis, membatasi partisipasi aktif dari mahasiswa dan civitas academica lainnya. Perlu ada regulasi yang lebih jelas tentang kewajiban calon pemimpin untuk terlibat dalam dialog publik dan forum terbuka sebagai bagian integral dari proses pemilihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun