Mohon tunggu...
Akhmad Alhamdika Nafisarozaq
Akhmad Alhamdika Nafisarozaq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Setengah AI

“Anglaras Ilining Banyu, Angeli Ananging Ora Keli”

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kenapa Penyebutan Angka dalam Bahasa Jawa Itu Unik? Sebuah Perjalanan dari Sewelas ke Suwidak

15 Desember 2024   18:00 Diperbarui: 14 Desember 2024   20:25 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sebagai seorang anak Jawa yang tumbuh dengan mendengar bahasa Jawa setiap hari, ada satu hal yang selalu bikin saya bertanya-tanya, kenapa sih angka dalam bahasa Jawa punya pola penyebutan yang berbeda, terutama untuk angka-angka tertentu? Coba saja dengar, sewelas, selikur, selawe, seket, suwidak. Unik kan? Tapi, kenapa begitu?

Nah, untuk menjawab itu, mari kita bongkar satu per satu makna di balik angka-angka ini. Ternyata, selain sekadar bunyi, ada filosofi mendalam yang menghubungkan penyebutan angka ini dengan perjalanan hidup manusia. Siap? Yuk kita mulai dari awal.

11: Sewelas, Bab Welas Asih

Dalam bahasa Jawa, angka 11 disebut sewelas. Kata ini berasal dari "siji" (satu) dan "welas" (kasih). Artinya? Kalau dikaitkan dengan umur, 11 itu masa-masa ketika anak mulai punya rasa kasih sayang, terutama kepada lawan jenis. Ciee, masa puber, ya? Di usia ini, anak-anak mulai paham apa itu perhatian, mulai ada rasa suka-sukaan. Tapi, jangan lupa, welas asih ini juga berlaku untuk sesama manusia, bukan hanya untuk si doi. Makanya, masa ini penting untuk mengajarkan empati.

21: Selikur, Seneng Lingguh Kursi

Lanjut ke angka 21, yang dalam bahasa Jawa disebut selikur. Kata ini punya makna yang menarik, yaitu "seneng lingguh kursi" alias masa-masa mengejar kursi, entah itu kursi jabatan, kursi kerja, atau kursi akademik. Di usia 21-an, seseorang biasanya sedang semangat-semangatnya kuliah, mengejar karier, atau berjuang membangun masa depan. Usia ini identik dengan energi yang meluap-luap untuk membuktikan diri. Tapi, jangan sampai lupa, nggak semua kursi itu layak diperjuangkan. Ada kalanya kita harus rela melepas kursi yang nggak sesuai.

25: Selawe, Seneng Lanang Lan Wedhok

Nah, ini dia angka yang bikin banyak orang Jawa tersenyum lebar, yaitu selawe. Secara filosofis, angka 25 diartikan sebagai "seneng-senenge lanang lan wedhok." Kenapa? Karena di usia ini, orang-orang biasanya mulai berpikir soal pasangan hidup. Ya, 25 itu dianggap usia ideal untuk menikah atau memulai rumah tangga. Kalau di usia ini kamu masih single, mungkin kamu sering ditanya, "Kapan nikah?" Jangan sedih, itu tanda perhatian kok (meski kadang nyebelin). Di sisi lain, selawe juga mengajarkan pentingnya keseimbangan, antara mengejar pasangan dan mengejar mimpi.

50: Seket, Waktunya Mendekat ke Gusti

Masuk ke angka 50, yang dalam bahasa Jawa disebut seket. Kalau kata orang tua dulu, di usia ini seseorang mulai fokus mendekatkan diri kepada Tuhan. Seket sering diartikan sebagai "seneng ketunan" atau "seneng nggawe iket." Dalam arti simbolis, "iket" ini bisa berarti memegang teguh prinsip hidup, menjaga iman, dan bersiap-siap menuju fase hidup berikutnya. Usia ini adalah pengingat bahwa hidup bukan soal materi lagi, tapi soal kualitas hubungan dengan Sang Pencipta.

60: Suwidak, Wis Cedhak Tindak

Akhirnya, kita sampai di angka 60, yaitu suwidak. Filosofinya? "Sejatine wis cedhak tindak." Usia ini dianggap sebagai masa-masa mendekati akhir kehidupan, alias masa untuk mempersiapkan diri menghadap Tuhan. Di sini, seseorang biasanya sudah mulai banyak merenung, melihat kembali perjalanan hidupnya, dan bersiap untuk mewariskan nilai-nilai baik kepada generasi berikutnya. Tapi, jangan keburu serius dulu. Dalam budaya Jawa, suwidak ini juga sering dibalut humor, "Wis suwidak, wis wayahe ngendhong cucu!"

Filosofi Bahasa dalam Angka

Uniknya, pola penyebutan angka dalam bahasa Jawa ini nggak cuma soal estetika atau tradisi. Ada makna filosofis yang mencerminkan perjalanan hidup manusia, dari masa kecil penuh kasih, masa muda penuh perjuangan, masa dewasa dengan kebahagiaan cinta, hingga masa tua yang penuh kedekatan dengan Sang Pencipta. Pola ini juga menunjukkan bagaimana bahasa Jawa punya cara tersendiri untuk memahami dan menyampaikan makna hidup.

Tapi, kenapa angka-angka ini berbeda? Salah satu alasannya adalah kreativitas bahasa Jawa itu sendiri. Orang Jawa cenderung menciptakan istilah-istilah yang njawani, alias punya nuansa lokal dan filosofis. Hal ini membuat bahasa Jawa terasa hidup dan punya ciri khas yang nggak dimiliki bahasa lain.

Apa Pesan yang Bisa Kita Ambil?

Dari penyebutan angka-angka ini, kita belajar bahwa bahasa Jawa lebih dari sekadar alat komunikasi. Bahasa ini menyimpan nilai-nilai kehidupan yang dalam, dari kasih sayang, perjuangan, cinta, hingga refleksi diri. Di zaman modern seperti sekarang, penting bagi kita untuk tetap menjaga dan melestarikan warisan ini. Jangan sampai anak cucu kita nanti cuma tahu angka dalam bahasa Inggris, tapi nggak paham apa itu sewelas atau suwidak. Jadi, kapan terakhir kali kamu memakai bahasa Jawa untuk menghitung? Kalau lupa, yuk mulai lagi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun