Akhirnya, kita sampai di angka 60, yaitu suwidak. Filosofinya? "Sejatine wis cedhak tindak." Usia ini dianggap sebagai masa-masa mendekati akhir kehidupan, alias masa untuk mempersiapkan diri menghadap Tuhan. Di sini, seseorang biasanya sudah mulai banyak merenung, melihat kembali perjalanan hidupnya, dan bersiap untuk mewariskan nilai-nilai baik kepada generasi berikutnya. Tapi, jangan keburu serius dulu. Dalam budaya Jawa, suwidak ini juga sering dibalut humor, "Wis suwidak, wis wayahe ngendhong cucu!"
Uniknya, pola penyebutan angka dalam bahasa Jawa ini nggak cuma soal estetika atau tradisi. Ada makna filosofis yang mencerminkan perjalanan hidup manusia, dari masa kecil penuh kasih, masa muda penuh perjuangan, masa dewasa dengan kebahagiaan cinta, hingga masa tua yang penuh kedekatan dengan Sang Pencipta. Pola ini juga menunjukkan bagaimana bahasa Jawa punya cara tersendiri untuk memahami dan menyampaikan makna hidup.
Tapi, kenapa angka-angka ini berbeda? Salah satu alasannya adalah kreativitas bahasa Jawa itu sendiri. Orang Jawa cenderung menciptakan istilah-istilah yang njawani, alias punya nuansa lokal dan filosofis. Hal ini membuat bahasa Jawa terasa hidup dan punya ciri khas yang nggak dimiliki bahasa lain.
Apa Pesan yang Bisa Kita Ambil?
Dari penyebutan angka-angka ini, kita belajar bahwa bahasa Jawa lebih dari sekadar alat komunikasi. Bahasa ini menyimpan nilai-nilai kehidupan yang dalam, dari kasih sayang, perjuangan, cinta, hingga refleksi diri. Di zaman modern seperti sekarang, penting bagi kita untuk tetap menjaga dan melestarikan warisan ini. Jangan sampai anak cucu kita nanti cuma tahu angka dalam bahasa Inggris, tapi nggak paham apa itu sewelas atau suwidak. Jadi, kapan terakhir kali kamu memakai bahasa Jawa untuk menghitung? Kalau lupa, yuk mulai lagi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H