Siapa yang tidak kenal dengan "Pak Ogah"? Sebutan ini mengacu pada orang-orang yang, dengan atau tanpa seragam, mengatur lalu lintas di persimpangan atau putaran jalan. Pak Ogah ini sering muncul di area strategis seperti simpang empat, putaran balik, atau bahkan jalan sempit yang kerap bikin pengendara uring-uringan. Keberadaan mereka sering dianggap seperti dua sisi mata uang, di satu sisi membantu, di sisi lain bikin emosi.
Keberadaan Pak Ogah: Membantu atau Justru Menambah Masalah?
Mari kita jujur dulu, ketika sedang terburu-buru di jalan, apalagi saat musim hujan, bertemu Pak Ogah yang membantu kendaraan di persimpangan atau putaran jalan memang rasanya seperti mendapat anugerah kecil. Dengan cekatan mereka memberikan aba-aba yang, meskipun seringkali tanpa dasar aturan lalu lintas, membantu mengurai kemacetan kecil. Tapi, sayangnya, tidak semua Pak Ogah seperti itu.
Ada juga Pak Ogah yang justru memanfaatkan situasi. Mereka seenaknya menghentikan kendaraan dari arah lain hanya demi memberikan jalan pada pengendara yang sudah "menyumbang" lebih dulu. Ada pula yang tidak segan-segan memaksa imbalan dengan mengetuk-ngetuk kaca mobil atau bahkan berteriak, "Kopi dulu, bos!" Kalau ditolak? Siap-siap saja dapat lirikan tajam, yang entah kenapa sama menusuknya dengan tatapan polisi lalu lintas asli.
Masalah Baru di Jalan Raya: Tukang Parkir Liar vs Pak Ogah
Selain Pak Ogah, ada juga fenomena tukang parkir liar yang sering menjadi "mitra tidak resmi" mereka. Tukang parkir ini, baik yang ada di depan toko, warung makan, hingga ruko, seringkali bertindak bak penguasa jalan. Mereka meminta pengendara berhenti di tempat yang mereka anggap strategis, meskipun itu artinya bikin macet setengah jalan.
Kita pernah, kan, melihat tukang parkir yang dengan santai berdiri di tengah jalan, memberikan isyarat berhenti kepada pengendara, sementara antrean kendaraan di belakang semakin panjang? Kalau sudah begini, siapa yang sebenarnya bertugas mengatur lalu lintas? Apakah jalanan ini milik mereka? Atau, seperti yang sering kita dengar, "jalan itu milik kita semua", tapi tetap saja yang mengatur adalah mereka?
Pak Ogah di Musim Hujan: Lebih Resah dari Biasanya
Musim hujan adalah ujian tersendiri untuk semua pengguna jalan. Ketika hujan deras mengguyur, jalanan licin, jarak pandang terbatas, dan klakson motor berlomba-lomba memekakkan telinga, keberadaan Pak Ogah yang seenaknya meminta jalan semakin terasa mengganggu. Bukannya membantu, mereka justru sering menambah kekacauan. Bayangkan, seorang Pak Ogah menyetop kendaraan di jalur utama demi memberi jalan pada pengendara lain, sementara antrean kendaraan di belakang memanjang hingga beberapa meter. Kalau sudah begini, siapa yang salah? Pak Ogah, pengendara, atau sistem lalu lintas kita yang memang masih kurang tertata?
Hak Siapa untuk Mengatur Jalan?
Pertanyaan ini mungkin sederhana, tapi jawabannya rumit. Secara hukum, jelas tugas mengatur lalu lintas adalah milik polisi lalu lintas. Tapi, realitanya, keberadaan polisi lalu lintas tidak selalu mencukupi, terutama di area pinggiran kota atau jalan-jalan kecil. Di sinilah celah munculnya Pak Ogah. Dengan dalih membantu, mereka mengambil alih tugas yang seharusnya bukan milik mereka.
Namun, yang jadi masalah, beberapa dari mereka melakukan tugas ini dengan cara yang jauh dari aturan. Mendahulukan pengendara yang memberi imbalan, meminta uang secara paksa, hingga menggores kendaraan bagi yang tidak "berpartisipasi" adalah praktik yang semakin memperburuk citra Pak Ogah di mata masyarakat.
Meski begitu, tidak semua Pak Ogah buruk. Ada juga yang bekerja dengan niat murni membantu. Mereka ini biasanya tertib, tidak memaksa imbalan, dan bahkan tetap membantu meskipun tidak diberi uang. Kehadiran mereka justru sering dirindukan di lokasi-lokasi rawan macet atau kecelakaan.
Namun, harapan terbesar tetap ada pada kita sebagai pengguna jalan. Mengikuti aturan lalu lintas dan menjaga etika berkendara adalah langkah kecil yang bisa membantu mengurangi kekacauan di jalan. Bayangkan jika semua pengendara mematuhi aturan, tidak menerobos lampu merah, dan memberikan jalan saat diperlukan. Mungkin, keberadaan Pak Ogah tidak lagi menjadi isu besar.
Solusi untuk Jalan Raya yang Lebih Baik
Pak Ogah adalah fenomena yang lahir dari kebutuhan, tetapi seringkali menimbulkan dilema. Di satu sisi, mereka membantu mengisi kekosongan sistem. Di sisi lain, kehadiran mereka yang tidak terkendali justru menambah masalah baru.
Solusi terbaik? Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama. Pemerintah perlu memperkuat sistem lalu lintas, menambah personel polisi lalu lintas, dan menertibkan keberadaan Pak Ogah serta tukang parkir liar. Sementara itu, kita sebagai pengguna jalan juga harus lebih disiplin. Kalau semua pihak bekerja sama, mungkin suatu saat kita tidak lagi bertanya, "Pak Ogah, membantu atau meresahkan?", karena jawabannya sudah jelas, membantu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H