Namun, yang jadi masalah, beberapa dari mereka melakukan tugas ini dengan cara yang jauh dari aturan. Mendahulukan pengendara yang memberi imbalan, meminta uang secara paksa, hingga menggores kendaraan bagi yang tidak "berpartisipasi" adalah praktik yang semakin memperburuk citra Pak Ogah di mata masyarakat.
Meski begitu, tidak semua Pak Ogah buruk. Ada juga yang bekerja dengan niat murni membantu. Mereka ini biasanya tertib, tidak memaksa imbalan, dan bahkan tetap membantu meskipun tidak diberi uang. Kehadiran mereka justru sering dirindukan di lokasi-lokasi rawan macet atau kecelakaan.
Namun, harapan terbesar tetap ada pada kita sebagai pengguna jalan. Mengikuti aturan lalu lintas dan menjaga etika berkendara adalah langkah kecil yang bisa membantu mengurangi kekacauan di jalan. Bayangkan jika semua pengendara mematuhi aturan, tidak menerobos lampu merah, dan memberikan jalan saat diperlukan. Mungkin, keberadaan Pak Ogah tidak lagi menjadi isu besar.
Solusi untuk Jalan Raya yang Lebih Baik
Pak Ogah adalah fenomena yang lahir dari kebutuhan, tetapi seringkali menimbulkan dilema. Di satu sisi, mereka membantu mengisi kekosongan sistem. Di sisi lain, kehadiran mereka yang tidak terkendali justru menambah masalah baru.
Solusi terbaik? Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama. Pemerintah perlu memperkuat sistem lalu lintas, menambah personel polisi lalu lintas, dan menertibkan keberadaan Pak Ogah serta tukang parkir liar. Sementara itu, kita sebagai pengguna jalan juga harus lebih disiplin. Kalau semua pihak bekerja sama, mungkin suatu saat kita tidak lagi bertanya, "Pak Ogah, membantu atau meresahkan?", karena jawabannya sudah jelas, membantu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H