Mohon tunggu...
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Muhaimin Azzet Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis, blogger, dan editor buku.

Akhmad Muhaimin Azzet, penulis buku, blogger, dan editor freelance di beberapa penerbit buku. Beberapa tulisan pernah dimuat di Republika, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Suara Karya, Ummi, Annida, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Bernas, Bakti, Kuntum, Yogya Post, Solo Pos, Suara Merdeka, Wawasan, Surabaya Post, Lampung Post, Analisa, Medan Pos, Waspada, Pedoman Rakyat, dan beberapa media kalangan terbatas.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Bukanlah Mengisi Gelas Kosong

27 April 2011   06:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:20 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan yang membebaskan bukanlah memberikan banyak pelajaran kepada anak didik hingga ia menguasai banyak ilmu pengetahuan. Sama sekali bukan. Ibarat mengisi gelas kosong maka pendidikan bertugas mengisi air ilmu pengetahuan sehingga gelas itu penuh. Bila sudah penuh maka berhasillah pendidikan itu. Sungguh, pendidikan yang demikian bukanlah model pendidikan yang membebaskan.

Bila demikian yang terjadi, murid akan selalu menjadi objek sedangkan guru yang menjadi subjek. Murid tidak pernah ditanya apa yang dibutuhkan dan disenanginya, namun pendidikan terus memberikan apa saja yang dinilainya penting dibutuhkan oleh anak didik. Murid mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, harus menerima dan menjalani proses pendidikan yang diberikan oleh sang pendidik atau lembaga pendidikan yang diikutinya.

Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang diberikan kepada anak didik sesuai dengan perkembangan dan potensi yang dimiliki oleh anak didik agar tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang merdeka. Sungguh, hanya manusia merdeka yang bisa merasakan kebahagiaan dalam hidup. Inilah hal yang mendasar dalam pendidikan yang membebaskan. Bahasa ekstremnya, hasil dari pendidikan yang membebaskan lebih baik menjadi pekerja sederhana yang bahagia daripada sarjana yang selalu saja gelisah dalam hidupnya.

Dengan demikian, memerhatikan potensi yang dimiliki oleh anak didik adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan dalam pendidikan yang membebaskan. Di sinilah sesungguhnya dibutuhkan seorang pendidik yang jeli dan bisa membaca kebutuhan sekaligus potensi yang dimiliki oleh setiap anak didiknya. Dengan demikian, seorang pendidik bisa memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak didik sesuai dengan apa yang dibutuhkannya. Sungguh, anak didik bukanlah robot-robot yang siap dijadikan apa saja setelah melalui proses pendidikan.

Pemahaman seperti tersebut di atas, sesungguhnya tidak hanya penting bagi para pendidik dan orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan. Akan tetapi, penting juga bagi setiap orangtua. Ada seorang anak yang sangat mencintai ilmu biologi ketika duduk di bangku SMA. Sang anak ingin melanjutkan kuliah pada jurusan dan fakultas yang sesuai dengan ilmu biologi. Namun, ayahnya yang seorang sarjana teknik bersikeras agar anaknya melanjutkan kuliah di fakultas teknik. Maka, sang anak yang tidak ingin dituduh sebagai anak yang durhaka kepada orangtua akhirnya hanya bisa menuruti keinginan sang ayah.

Pada saat kuliah, sang anak yang sesungguhnya tidak menyukai fakultas teknik, tidak bisa belajar dengan baik. Hal ini terjadi karena sang anak tidak mempunyai kecintaan dan semangat untuk belajar ilmu teknik. Bila sudah begini, siapakah sesungguhnya yang menjadi korban? Sekian tahun sang anak memaksakan diri mempelajari ilmu pengetahuan yang sesungguhnya ia sama sekali tidak menyukainya.

Setelah berjuang sekuat tenaga menyelesaikan kuliahnya di fakultas teknik, sang anak pun akhirnya lulus dengan nilai yang tidak begitu memuaskan. Sudah selesaikah penderitaan sang anak? Ternyata belum. Setelah lulus dari fakultas teknik, sang anak dipaksa oleh orangtuanya untuk bekerja di sebuah instansi di mana ayahnya bekerja di sana sebagai sarjana teknik. Lagi-lagi, sang anak yang sebelumnya sudah menyatakan ketidaksetujuannya dengan sang ayah hanya bisa menangis dan akhirnya menuruti kehendak sang ayah yang keras kepala. Jadilah sang anak bekerja di sebuah instansi yang sesungguhnya tidak sesuai dengan pilihan dan cita-citanya.

Pembaca yang budiman, kisah dari sang anak yang dipaksa ayahnya untuk kuliah dan bahkan untuk bekerja sesuai dengan kehendak orangtuanya di atas sama sekali bukan sekadar ilustrasi dari tulisan ini yang diangkat dari kisah rekaan. Sungguh, penulis mendapatkan cerita langsung dari sang anak tersebut yang kini telah bekerja di sebuah instansi, yang sekali lagi, di luar keinginannnya. Inilah yang penulis maksudkan jangan sampai terjadi dalam dunia pendidikan kita.

Orangtua memang mendapatkan amanat dari Tuhan untuk mendidik anaknya agar menjadi orang yang baik dan bertakwa kepada-Nya. Namun, bukan berarti bisa bertindak semena-mena sesuai dengan kehendaknya sendiri tanpa mendengar apa yang menjadi keinginan sang anak. Demikian pula dengan dunia pendidikan, yang dalam hal ini adalah pendidikan secara formal di sekolah. Lembaga pendidikan yang dipercaya oleh masyarakat ini hendaknya juga bisa menemukan apa yang menjadi keinginan dan cita-cita dari peserta didiknya sehingga dapat mengembangkan pendidikan yang diselenggarakannya dengan penuh semangat dan kegembiraan bersama anak didik.

Jika pendidikan masih memberlakukan anak didik sebagai gelas kosong, yang akan diisi apa saja sesuai dengan kehendak orang-orang yang bertindak dan mempunyai kebijakan di dunia pendidikan, maka akan hanya menghasilkan manusia-manusia yang jauh dari merdeka. Mereka hanyalah manusia yang dicetak untuk menjadi pelaku industri di dunia kapitalisme atau beragam kepentingan kekuasaan yang ada.

Dalam pendidikan yang tidak membebaskan, murid tidak pernah dipandang sebagai pribadi yang mempunyai pilihan dan berkemampuan untuk berkreasi. Murid dipandang seakan sebuah benda yang siap menerima dengan pasif sederet dalil pengetahuan dari seorang guru. Bila sudah begini, maka pengertian, pemahaman, dan kesadaran akan ilmu pengetahuan yang diberikan seorang guru kepada muridnya sudah bukan hal yang penting lagi. Ciri dari pendidikan yang semacam ini biasanya lebih mengajarkan menghafal kepada murid-muridnya daripada memahami, pilihan tertutup daripada esai, atau menyalin dan mencatat daripada membahasakannya kembali dengan cara atau apalagi pemahaman baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun