Mohon tunggu...
Akhmad Hamid N
Akhmad Hamid N Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konflik SARA dan Urusan Perut

2 Agustus 2016   21:20 Diperbarui: 2 Agustus 2016   21:25 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hampir semua konflik sosial berbau SARA di negeri ini selalu dapat dirunut ke arah urusan perut (baca: kesejahteraan sosial).

Dibalik rusuh konflik tolikara akarnya karena ada kesenjangan ekonomi antara penduduk pendatang (suku bugis dan suku jawa) dibanding penduduk lokal Papua.

Dibalik rusuk konflik Sampit, ada penguasaan sumber daya ekonomi secara masif oleh etnis madura dibanding penduduk lokal (dayak).

Dan dibalik konflik SARA yang melibatkan etnis China, sudah tidak asing lagi, selalu ada kesenjangan ekonomi yang tinggi antara penduduk etnis keturunan china di wilayah itu dengan penduduk lokal pribumi.

Seperti yang baru-baru ini terjadi di Tanjung balai.

Adapun ada kasus kriminalitas, ada kasus perkelahian sebelumnya, atau ada protes suara Adzan, hanyalah trigger pemicu konflik. Pemicu atas kedongkolan2, atas frustasi sosial yang sudah terpendam lama dalam alam bawah sadar.

Kecemburuan ekonomi dan sosial yang sudah mengakar.

Dan sayangnya Negeri ini tidak pernah berusaha mengatasi akar permasalahan ini dengan serius.

Lebih senang dengan upaya basa basi rekonsiliasi elit tokoh adat tokoh agama, yang bukannya tidak bermanfaat, tetapi hanya menyelesaikan masalah sementara.

 

Tidakkah kita mau belajar dengan MALAYSIA ?

 

Setelah konflik SARA 1969, terhitung sejak tahun 1971, malaysia menetapkan konstitusi negara yang menjamin dan menjaga keseimbangan simber daya politik dan ekonomi bagi penduduk lokal pribumi, yakni etnis Melayu.

Seluruh perusahaan wajib memiliki komposisi kepemilikan minimal 30% bagi etnis melayu (pribumi).

Sekolah sekolah swasta wajib minimal menerima 30% warga etnis melayu. Demikian juga beasiswa 30% melayu.

Perusahaan wajib memperkerjakan minimal 30% melayu.

Kebijakan yg terkesan diskriminatif dan rasialis.

Kebijakan yang bukannya tidak mendapat kecaman dari aktivis anti diskriminasi.

 

Tapi lihatlah hasilnya..

Efektif dan tidak basa basi.

Malaysia relatif aman tenteram dari konflik sosial SARA.

Ekonomi stabil terus melesat meninggalkan jauh indonesia.

Dan psda akhirnya etnis2 pendatang seperti keturunan china dan india pun senang, karena ekonomi tumbuh dengan baik di tengah kondisi sosial keamanan yang stabil.

 

Tidak seperti disini

90 % Sumber daya ekonomi dikuasai oleh hanya 1% penduduk, yang mana mayoritas dari 1% itu adalah etnis keturunan china.

Tidak ada perlindungan dan keberpihakan kepada penduduk lokal pribumi.

Bahkan sebentar lagi sumber daya politik juga mulai akan dikuasai.

 

Kita terlalu terbuai dengan program rekonsiliasi basa basi, diperparah dengan penegakan hukum yang kurang dan kebijakan politik yang seringkali tidak adil.

Melindungi kepentingan penduduk pribumi bukanlah bentuk diskriminasi, namun disinilah upaya pemerintah menjaga keseimbangan sumber sumber daya ekonomi, politik dan sosial.

Sebagaimana pemerintah memliki keberpihakan gender terhadap perempuan dan anak di segala bidang dibanding terhadap laki-laki.

Sebagaimana kebijakan memprioritaskan pembangunan indonesia timur dibanding barat.

Kebijakan keberpihakan itu bukannya tdk berdasar dan diskriminatif. Toh ketika perempuan dan anak di istimewakan, laki laki masih tetap punya posisi dominan dan berkuasa di semua tatanan sosial ekonomi politik. Toh dengan kebijakan perhatian pembangunan ke indonesia timur, tetap saja anggaran dan pembangunan tetap masih lebih terpusat ke wilayah jawa dan sumatera. Apalagi jika keberpihakan itu tidak ada.

Membiarkan kesenjangan ekonomi terus berlangsung, makin jauh dan dalam, sama dengan membiarkan api dalam sekam.

Mau pendekatan konflik dengan teori apapun, jika kesenjangan ekonomi masih tajam, potensi bencana itu masih ada dan siap menjadi bom waktu.

Karena sesungguhnya kalau perut rakyat itu kenyang,

Kalau lapangan kerja ada,

Buat apa main bakar-bakaran,

Bakar mesjid, bakar gereja, bakar vihara

Di provokasi pun mager (malas gerak)

Jadi gak perlu berdebat keluarkan jurus jurus agama, menghujat pembakar vihara, atau penghina adzan

Karena Kalau rakyat bisa kenyang dan sejahtera, ketimbang bakar rumah ibadah, pasti lebih enak bakar bakar ikan

Bukan begitu sodara-sodara ??

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun