Mohon tunggu...
AKHMAD HUDA
AKHMAD HUDA Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca, Traveling, suka dengan artikel populer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Multikultural dan Moderasi Beragama

18 Juli 2022   11:40 Diperbarui: 18 Juli 2022   11:51 2479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Indonesia mewarisi konsep pluralisme yang tertuang dalam semboyan "Bhineka Tunggal Ika". Pluralisme yang terkandung dalam semboyan tersebut tidak hanya mencakup agama, tetapi juga ras, suku, dan aspek kehidupan lainnya yang terkait dengan keragaman dan pluralisme kehidupan masyarakat. Untuk mendukung konsep pluralisme diperlukan toleransi antar umat beragama dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, kehidupan 278 juta jiwa itu tentram dan damai, serta tidak ada konflik antarumat beragama.

Masyarakat Indonesia yang majemuk dengan berbagai aspek seperti suku, ras, dan agama memberikan kontribusi yang signifikan terhadap dinamika permasalahan masyarakat Indonesia, dan dampak buruk dari gesekan kebhinekaan ini adalah untuk menghindari konflik yang berkelanjutan, harus benar-benar diatasi. Salah satu strateginya adalah mengedepankan pendekatan multikultural dalam segala hal, bahkan terhadap tradisi Islam Nusantara yang sebelumnya kontradiktif.

Stabilitas kerukunan umat beragama akhir-akhir ini terganggu oleh paham agama yang membawa narasi kebencian, kekerasan, kekejaman, dan ancaman dengan mengatasnamakan agama tertentu kemudian tindakan tersebut mengarah pada radikalisme, ekstremisme hingga terorisme. Istilah radikalisme merupakan paham beralasan sempit (ifrat) yang menghendaki perubahan suatu sistem di masyarakat dengan menebarkan warna kekerasan (Sanaky & Safitri, 2016). Sedangkan ekstremisme dalam terminologi syariat disebut ghuluw yakni melebih-lebihkan sikap dalam suatu perkara dengan melampaui batas syariat (Afroni, 2016). Ada beberapa kelompok agama yang mempraktikkan ajaran agama penuh kedamaian, cinta, dan toreansi, Ada juga yang mengedepankan etnosentrisme.

Sebagai upaya preventif dan kuratif dari paham agama yang ekstrem, pemerintah berusaha memberikan penguatan moderasi agama pada masyarakat. Moderasi beragama ini penting dilakukan sebagai usaha preventif dari penyebaran paham radikalisme di Indonesia (Arifinsyah et al.,2020). Istilah moderasi beragama dalam Islam yang dikenal dengan wasathiyah atau moderat, merupakan  upaya  memahami atau menyikapi secara tidak berlebihan dan netral yang ditujukan kepada semua lapisan masyarakat termasuk pendidikan. melalui Direktorat  Pendidikan Agama Islam No. 7272 Tahun 2019 (Kementerian Agama Republik Indonesia, 2019).

Lembaga pendidikan Islam adalah basis laboratorium moderasi beragama. Lingkungan sekolah menjadi alternatif dengan menanamkan nilai-nilai pantangan agama untuk mempererat komitmen, kerukunan bangsa dan kecintaan terhadap sesama secara universal. Di dalam UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan Islam harus mengantarkan peserta didik pada kesadaran beragama dan beretika.

Konsep moderasi beragama mencakup pandangan, sikap, dan praktik keagamaan yang berpihak pada jalan tengah tetapi tidak mengesampingkan esensi ajaran agama. Moderasi beragama merupakan sebuah jalan tengah atau al-wasathiyah di tengah keberagaman agama di Indonesia. Moderasi dipahami sebagai komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan yang paripurna, di mana setiap warga masyarakat, apapun suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya mau saling mendengarkan satu sama lain serta saling melatih kemampuan unutk mengelola dan mengatasi perbedaan di antara mereka.

Moderasi Beragama merupakan cara pandang dalam beragama yang tidak ekstrim, baik ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. Moderasi Beragama memuat nilai-nilai nasionalisme, anti radikalisme, toleransi, dan budaya. Nilai-nilai tersebut harus ditanamkan sejak dini, agar dapat mengetahui pentingnya makna dari sikap moderat tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain sebagai bagian dari masyarakat multikultur.

Multikultural merupakan proses dimana manusia saling menghargai keberagaman suku, budaya, ras, dan aliran agama. Keberagaman tersebut dapat memicu terjadinya beberapa konflik di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan model pendidikan yang dapat meredam konflik tersebut. Salah satu model pendidikan yang dapat meredam konflik tersebut adalah pendidikan multikultural.

Menurut Fuad Hasan (2005: 4-5) Pendidikan multikultural berasal dari dua kata pendidikan dan multikultural. Pendidikan merupakan proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan dan cara-cara yang mendidik. Pendidikan adalah Transfer of knowledge atau memindah ilmu pengetahuan. Sedangkan menurut Alo Liliweri M.S (2003:7-9) multikultural secara etimologis multi berarti banyak, beragam dan aneka sedangkan kultural berasal dari kata culture  yang mempunyai makna budaya, tradisi.

Andersen dan Cusher (1994) mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Definisi ini lebih luas dibandingkan dengan yang dikemukakan di atas. Meskipun demikian, posisi kebudayaan masih sama dengan apa yang dikemukakan dalam definisi di atas, yaitu keragamaan kebudayaan menjadi sesuatu yang dipelajari dan berstatus sebagai objek studi.

Merupakan sebuah keniscayaan untuk melakukan internalisasi dan implementasi nilai-nilai moderasi beragama (wasathiyah) melalui dunia pendidikan. Pendidikan tidak boleh hanya berorientasi pada persoalan-persoalan teoritis yang bersifat kognitif akademis. Justru porsi perhatian yang lebih besar harus difokuskan pada bagaimana mengubah wawasan pengetahuan agama maupun pengetahuan umum menjadi sikap dan perilaku beragama yang moderat dan toleran (Hanafi, 2022).

Pembelajaran  berbasis  multikultural  menurut  Sleeter  and  Grant  adalah kebijakan dalam   praktik   pendidikan   dan   mengakui,   menerima   dan   menegaskan   perbedaan   dan persamaan  yang  dikaitkan  dengan  gender,  ras,  dan  kelas (Suwarno, 2021). Sedangkan Skeel menjabarkan bahwa pendidikan multikultural  adalah  suatu  sikap  dalam  memandang  keunikan  manusia tanpa  membedakan  ras,  budaya,  jenis  kelamin,  kondisi  jasmaniyah  ataupun status ekonomi (Rahman, 2012). Pendidikan  multikultural  merupakan  strategi  pendidikan  yang  memanfaatkan keberagaman  latar  belakang  kebudayaan  dari  para  peserta  didik  sebagai  salah  satu  kekuatan untuk membentuk sikap multikultural.

Proses internalisasi nilai moderasi beragama melalui pendidikan multikultural  dinilai sangat tepat diterapkan dalam lingkup masyarakat yang heterogen di Indonesia. Keberagaman, baik itu agama, suku, ras, kodisi sosial, dan lain-lain memiliki peluang tinggi untuk terjadinya pecah konflik. Kondisi ini harus diantisipasi dengan mengedepankan nilai moderasi beragama, sikap ini akan berdampak positif karena prinsip dasar dari moderasi beragama adalah memandang secara adil dan berimbang dalam menjalankan agama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun