Mohon tunggu...
Akhmad Solikhin
Akhmad Solikhin Mohon Tunggu... Lainnya - Biotechnologist

Ayo Melek Sains

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Jangan Ada Kusta di antara Kita

23 Juni 2024   11:41 Diperbarui: 23 Juni 2024   12:04 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebut saja Galih dan Ratna. Mereka saling mencintai sejak SMA. Usai menamatkan kuliah kemudian sama-sama bekerja, cinta mereka semakin kuat dan berujung ke rencana pelaminan. 

Ratna akan segera dilamar oleh Galih. Namun santer berita orang tua Galih adalah OYPMK (Orang Yang Pernah Mengalami Kusta). Hal tersebut menjadi alasan keluarga Ratna menolak lamaran Galih. Cinta mereka pun kandas terhalang stigma kusta. 

Lain Galih dan Ratna, Rini yang masih duduk di bangku SMP terpaksa memilih berhenti sekolah. Rini terkena kusta. Teman-teman Rini menjauhinya. Bahkan sekolah memintanya libur sementara hingga penyakitnya bisa disembuhkan. 

Kondisi ekonomi keluarga Rini pas-pasan. Rini memilih tak mau berobat dan berhenti dari sekolahnya. Orang tua Rini juga merasa malu dengan tetangga. Anak gadis satu-satunya jadi buah bibir karena penyakit kusta yang menimpanya.

***

Dua cerita di atas adalah secuil kisah bagaimana stigma penyakit kusta mengakar kuat di masyarakat Indonesia. Stigma kusta merupakan ciri negatif yang diberikan sekelompok orang kepada penderita kusta dan atau keluarganya.

Secara umum stigma kusta dapat dilihat dari dua aspek yaitu stigma diri dan stigma publik. Stigma diri misalnya saja rasa malu, perasaan rendah diri, dan tidak percaya diri. Sedangkan stigma publik seperti prasangka masyarakat umum terkait pembatasan partisipasi sosial dan diskriminasi.

Kusta dikenal masyarakat Indonesia sebagai penyakit kulit menular. Penyakit yang disebabkan infeksi bakteri Mycobacterium leprae ini, menular dari percikan ludah atau dahak penderita yang terhirup oleh orang lain dan kontak kulit terbuka dengan penderitanya.

Agak ngerinya, gejala kusta biasanya berupa bercak putih, merah, dan kecoklatan yang tidak disertai rasa gatal dan sakit. Hal ini membuat penderitanya seringkali tidak menyadarinya. Padahal jika tidak segara diobati, kusta dapat menyebabkan kecacatan pada kaki dan tangan hingga kebutaan.

Kusta sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Dahulu orang yang terkena kusta diisolasi di daerah tertentu seperti halnya penderita Covid-19 saat pandemi yang diisolasi di Wisma Atlet Jakarta.

Hingga sekarang ini, masih ditemukan perkampungan kusta di daerah Sulawesi yang dihuni oleh OYPMK bersama keluarganya. Perkampungan tersebut juga merupakan peninggalan dari zaman penjajah Belanda.

Status Kusta di Indonesia

Pada tahun 2022, Indonesia menempati posisi ke-3 kasus kusta terbanyak di dunia setelah India dan Brazil. Berdasarkan laporan dari Kemenkes tahun 2023, kasus baru kusta di Indonesia mencapai 14.376.

Sebelas provinsi berikut ini termasuk tinggi prevalensi kusta, di antaranya yaitu Papua Barat, Papua, Papua Barat Daya, Maluku Utara, Papua Tengah, Maluku, Papua Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara.

Prevalensi kasus kusta di 11 provinsi tersebut masih di atas 1 kasus per 10.000 penduduk. Sebagai informasi, Indonesia telah menargetkan eliminasi kusta nasional pada tahun 2024.

Saat ini, Kemenkes telah memiliki tatalaksana nasional penyakit kusta di Indonesia. Informasi terkait deteksi, pencegahan dan pengobatan kusta telah tersedia dan sudah disosialisasikan. Berbagai fasilitas kesehatan seperti puskesmas, klinik dan rumah sakit yang mampu menangani dan mengobati kusta juga telah tersedia di berbagai wilayah dan daerah.

Stigma kusta di masyarakat membuat upaya eliminasi kusta di Indonesia menjadi semakin kompleks. Stigma kusta membuat penderitanya menjadi malu, tidak percaya diri dan tidak segara mengobati penyakitnya. Hal ini membuat penemuan kasus baru menjadi terhambat dan proses penularan (transmisi) akan terus berlanjut tanpa bisa dicegah.

Lalu, seberapa menularkah penyakit kusta ini? 

Menurut Melani Marisa (dokter spesialis dermatologi dan venereologi), kusta merupakan penyakit menular dengan daya tular yang rendah. Jadi orang tidak akan langsung tertular jika hanya bersalaman atau sekadar berinteraksi biasa dengan penderita kusta.

Ada sebuah simulasi untuk menjelasakan rendahnya daya tular kusta. Jika 100 orang terpapar oleh kusta, 95 orang tidak akan menjadi sakit, 3 orang akan sembuh sendiri karena memiliki daya tahan tubuh yang tinggi, 2 orang akan menjadi sakit dan perlu pengobatan.

Kontak atau interaksi dalam waktu lama yang harus digarisbawahi sebagai potensi penularan dari penderita kusta yang tidak diobati. Persentase keluarga yang serumah untuk tertular menjadi semakin tinggi.

Namun semua itu akan menjadi potensi penularan yang rendah hingga tidak akan terjadi penularan jika pendirita mau segera berobat dan tidak menutupi penyakitnya. Keterbukaan dari penderita dan dukungan dari keluarga serta orang lain menjadi penting dalam upaya memutus rantai penyakit kusta di Indonesia.

"Jangan (lagi) ada kusta di antara kita" cocok menjadi slogan menuju eliminasi kusta di Indonesia. Slogan ini bukanlah hal yang mustahil untuk dicapai. Intervensi medis memang penting namun mengahapus stigma kusta harus menjadi prioritas.

Sekali lagi yang ditolak itu stigma dari kusta dan bukan penderitanya. OYPMK memiliki hak yang sama dengan orang sehat lainnya. Hak untuk tidak dikucilkan, tidak didiskriminasikan dan mendapat edukasi yang benar terkait kusta.

Dibutuhkan kerja sama yang erat antara penderita kusta, keluarganya, masyarakat, petugas kesehatan dan pemerintah guna mengahapus stigma kusta dan mencapai eliminasi kusta di Indonesia.

***

Lamaran Galih diterima oleh keluarga Ratna. Status OYPMK orang tua Galih dipahami betul oleh keluarga Ratna dan tidak menjadi alasan untuk menolak lamaran tersebut. 

Dengan komunikasi yang baik, ternyata orang tua Galih sudah dalam keadaan sembuh karena menjalani pengobatan. Galih dan Ratna menikah dan hidup bahagia. 

Di sisi lain, Setelah mengetahui menderita kusta Rini langsung melaporkan kondisi tersebut ke pihak sekolah. Rini izin untuk segera menjalani pengobatan di fasilitas kesesehatan terdekat yang biayanya ditanggung pemerintah. 

Teman-teman sekolah menjenguk Rini di rumahnya. Semua telah paham bahwa kusta tidak akan semudah itu menular dengan hanya menjenguk teman kelas yang sedang sakit. Dukungan dari teman-teman kelas membuat Rina semakin percaya diri untuk dapat sembuh kembali seperti sedia kala. 

Begitulah 2 kisah bahagia berlanjut ketika kusta sudah tidak lagi menjadi stigma buruk di masyarakat Indonesia. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun