Mohon tunggu...
Akhmad Solikhin
Akhmad Solikhin Mohon Tunggu... Lainnya - Biotechnologist

Ayo Melek Sains

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Dialog Batin Nyamuk Wolbachia

30 November 2023   03:12 Diperbarui: 30 November 2023   06:04 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Ada 3 tulisan tentang nyamuk Wolbachia yang telah penulis publikasikan di Kompasiana. Tiga tulisan tersebut diantaranya: Teknologi Nyamuk Wolbachia, Misinformasi Nyamuk Wolbachia, dan Menengok Nyamuk Wolbachia di Singapura.

Kebetulan untuk tulisan dengan judul Menengok Nyamuk Wolbachia di Singapura berhasil menjadi salah satu headline di Kompasiana. Terimakasih penulis ucapkan kepada tim editor Kompasiana, capaian itu merupakan hadiah sebulan penulis bergabung dengan Kompasiana. Inspirasi tulisan tersebut adalah konten youtube Ibu Siti Fadilah Supari.

Sebagaimana hukum III Newton yang berbuyi, "Setiap gaya aksi maka akan menimbulkan gaya reaksi yang sama besarnya, tetapi arahnya berlawanan". Begitu pula penulis, kali ini penulis mencoba mencurahkan isi hati melalui tulisan sebagai bentuk reaksi atas konten youtube Ibu Siti yang berjudul, "Apa Kata Ilmuwan tentang Penyebaran Nyamuk Wolbachia".

Pada konten tersebut Ibu Siti mengundang Dr. Ir. R Kun Wardana A.MT. Perkenalan awal disampaikan bahwa Dr. Kun adalah seorang pegiat nyamuk Wolbachia, pengamat nyamuk yang mumpuni, memiliki data lengkap tentang nyamuk baik nasional maupun internasional.

Penulis penasaran lalu melakukan pencarian di google. Informasi yang penulis dapatkan, Dr. Kun adalah seorang dosen Teknik Elektro di Institut Sains dan Teknologi Nasional. Pendidikan S1 di Universitas Trisakti, S2 di Universitas Indonesia dan S3 di Institut Teknologi Bandung. Cukup dan penulis tidak kepo lebih lanjut.

Tulisan kali ini akan penulis sajikan dalam bentuk komentar atas beberapa pernyataan dari Dr. Kun di dalam konten youtube tersebut. Penulis menegaskan, tulisan ini tidak bermaksud mediskriditkan orang lain. Penulis hanya menyampaikan dialog batin atau opini reaksi atas opini aksi yang disampaikan oleh narasumber dalam konten tersebut.

Pernyataan 1:

"..pada tahun 2022, kematian karena dangue mencapai 1014, dibandingkan jumlah penduduk Indonesia relatif kecil, dibandingkan kasus kecelakaan lalu lintas, bunuh diri, pembunuhan, diabetes dan karidovaskuler sangat kecil.." (menit ke 3.10)

Komentar 1:

Pernyataan tersebut membahas data Incident Rate (IR) dan Case Fatality Rate (CFR) DBD di Indonesia yang disampaikan Kemenkes pada laporan tahun 2022. Kesimpulan data dari kemenkes tersebut adalah selama 50 tahun kebelakang IR fluktuatif namun menunjukan trend kenaikan kasus dengan CFR/tingkat kematian yang rendah, dibawah 1%. Maka tepat Kemenkes dalam laporan tersebut tetap menyatakan beban dangue semakin meningkat di Indonesia.

Membandingkan angka kematian dangue tahun 2022 (1014 kasus) dengan jumlah pendudukan Indonesia (tahun 2022: 275,77 juta) sangat tidak relevan. Tentu saja jumlah tersebut terpaut siginifikan dan sangat jauh. Begitu pula dengan data kasus kecelakaan (tahun 2021: 103.645) maupun data diabetes (tahun 2021: 236.711).

Namun, apakah kematian yang dianggap kecil tersebut tetap membuat kita maupun pemerintah tidak berupaya lebih lanjut? Padahal di dalam laporan Kemenkes juga menyatakan bahwa kenaikan tren kasus DB di Indonesia selama 50 tahun kebalakang, telah disertai dengan upaya penganganannya.

Berdasarkan data pokok dangue per golongan umur tahun 2018-2023 proporsi umur penderita dan kematian akibat dangue terjadi paling besar pada usia 5-14 tahun (Kemenkes, 2023). Usia produktif yang merupakan calon penerus masa depan bangsa menjadi paling banyak terkena dangue dan paling banyak mengalami kematian karena dangue.

Pertanyaanya, apakah kita masih tidak akan peduli kalau kasus kematian dangue dikatakan rendah seperti sekarang? Yang mati sedikit itu mereka yang berusia produktif lho. Jadi Kemenkes tidak salah dengan inovasi teknologi Wolbachia. Itu upaya mengurangi resiko kematian dan bahkan target 2030 adalah 0 kasus keamatian dangue.

Pernyataan 2:

"..tidak benar dikatakan bahwa selama 50 tahun ini dbd (dangue) tidak terkendali dan kematian besar, data ini juga dari kemenkes.." (menit ke 3.59)

Komentar 2:

Disini berarti narasumber ingin menyatakan bahwa dangue selama 50 tahun ini sudah terkendali. Padahal dari Kemenkes seperti di komentar 1 penulis, Kemenkes jelas menyebutkan bahwa beban dangue semakin meningkat selama 50 tahun di Indonesia.

Mengenai kematian yang besar, Kemenkes tidak pernah menyampaikan hal tersebut. Dalam laporan Kemenkes tahun 2022 jelas menyatakan bahwa angka kejadian dangue (IR) tidak diikuti dengan dengan pola kematian yang meningkat menurun dari 41,% (1968) ke <1% (2022).

Pernyataan 3:

"..apa yang disampaikan selalu yang baik-baik saja. Cek google untuk mencari tahu bahayanya Wolbachia dan cek tingkat keberhasilannya di negara lain.." (menit ke 4.30).

Komentar 3:

Sejauh pemahaman penulis mengenai teknologi Wolbachia, penulis belum menemukan adanya sesuatu yang berbahaya dari nyamuk Wolbachia. Pendapat penulis disini juga diperkuat dengan hasil kajian resiko yang dilakukan oleh tim independent yang terdiri dari beberapa ahli di bidangnya.

Tim yang buat oleh Kemenristek Dikti (sekarang Kemendikbudristek) pada 2016 tersebut menyatakan bahwa pelepasan nyamuk Wolbachia yang dilakukan di Yogyakarta menimbulkan risiko yang sangat rendah terhadap manusia, hewan dan lingkungan. (baca: mdpi.com)

Jika masyarakat awam diminta mencari data mengenai bahaya dari nyamuk Wolbachia di google, yang banyak muncul adalah data-data yang kurang valid untuk dipertanggungjawabkan keabsahaanya. Beberapa data bahaya nyamuk Wolbachia yang tersebar di mesin pencari google juga dipaparkan oleh pihak yang diluar kompetensinya.

Terkait keberhasilan negara lain, silahkan baca tulisan Menengok Nyamuk Wolbachia di Singapura.

Pernyataan 4:

"..di Singapura, direktur NEA (instutut lingkungan hidup) menyatakan bahwa penggunaan teknologi Wolbachia itu tidak efektif menurunkan kasus dangue.." (menit ke 5.18)

Komentar 4:

Berdasarkan hasil studi 1-5 program Wolbachia di Singapura, semua menununjukkan hasil yang posistif, yaitu menurunkan jumlah signifikan nyamuk Aedes aegypti di lokasi pelepasan dibanding dengan lokasi kontrol. (Baca tulisan Menengok Nyamuk Wolbachia di Singapura).

Kasus dangue yang melonjak di Singapura pada tahun 2020 bersamaan dengan proses studi tahap 5 disebabkan oleh faktor lain diantaranya pelepasan nyamuk Wolbachia belum dilakukan secara luas, banyaknya populasi nyamuk Aedes aegypti di lokasi lain tanpa intervensi, peredaran berbagai serotipe virus dangue, dan rendahnya imunitas penduduk.

Pernyataan yang benar dari direktur NEA menurut penulis adalah bahwa program Wolbachia di Singapura bukan satu-satunya kunci untuk mengatasi masalah dangue. Perikalu masyarakat menjadi kunci penting. Hal serupa sebenarnya dilakukan juga di Indonesia dimana PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat), 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) dan G1R1J (Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik) serta program lainnya tetap perlu diterapkan bersama inovasi teknologi Wolbachia.

Pernyataan 5:

"..Singapura sudah menetapkan bahwa dia tidak mau menjadi kelinci percobaan, negara yang diuji coba untuk Wolbachia .." (menit ke 6.34)

Komentar 5:

Penyataan tersebut tidak tepat. Karena hingga 2023 ini, Singapura masih menerapkan program Wolbachia (silahkan cek di www.nea.gov.sg). Singapura tidak pernah menjadi kelinci percobaan, baik itu dari WMP (World Mosquito Program) maupun negara atau lembaga lain. Program Wolbachia di Singapura juga berbeda dengan program Wolbachia dari WMP yang seperti di Indonesia.

 Pernyataan 6:

"..di Srilangka, tahun 2023 kenaik kasus dangue mencapai 2000% dari tahun 2022. Nyamuk yg disebar tahun 2018 efek jangka panjangnya sangat fatal. Kasus dangue (dbd) naik 3 kali, jumlah tidak terkendali di Srilangka.." (menit ke 6.46)

Komentar 6:

Kenaikan kasus dari 2022 ke 2023 sebanyak 2000% kasus itu sangat berlebihan. Data kasus dangue di Srilangka pada tahun 2022 mencapai 76.467, sedangkan tahun 2023 hingga pekan 34 mencapai 61.361 kasus. Meski data belum mencapai bulan pekan 40 (bulan November 2023), namun sangat tidak mungkin jika persentase kenaiknya adalah 2000%.

Melihat data dari WHO, Kasus tertinggi terjadi pada tahun  2017. Seiring penerapan program Wolbachia dari WMP, masih terjadi fluktuatif jumlah kasus dangue.

Pernyataan 7:

"..Sebar nyamuk,maka kita tidak bisa mengendalikan. Nyamuk bisa gigit serangga lain.." (menit ke 7.54)

Komentar 7:

Perlu penulis tegaskan bahwa nyamuk tidak menggigit serangga lain. Nyamuk mengigit hewan seperti sapi atau kambing bisa saja terjadi. Namun nyamuk menggigit serangga lain itu misinformasi. Nyamuk betina menggigit manusia atau hewan untuk mendapatkan darah sebagai sumber makanannya. Sedangkan darah serangga tidak bisa digunakan sebagai sumber energi bagi nyamuk.

Nyamuk jantan tidak menggigit manusia atau hewan. Nyamuk jantan hanya mengambil sumber makanannya dari nectar tanaman. (Baca tulisan Teknologi Nyamuk Wolbachia).

Pernyataan 8:

"..Ribuan nyamuk di dalam kamar, bisa tidur tidak?.." (menit ke 10.4)

Komentar 8:

Pernyataan tersebut kurang terpat jika dikaitkan dengan program Wolbachia di Indonesia. Ribuan nyamuk tidak akan berada dalam satu kondisi kamar dimana rumah tersebut menjadi lokasi pelepasan telur nyamuk Wolbachia.

Berikut penulis jelaskan mengenai strategi pelepasan nyamuk Wolbachia di Yogyakarta berdasarkan informasi dari Prof. Utari dalam sebuah acara Talk To Scienctis di youtube BRIN:

  • Telur diletakkan di ember, diberi pakan,diberi air, dititipkan orang tua asuh
  • Setiap 2 minggu sekali air diganti dan dikasih telur yang baru
  • Dilakukan dalam radius 75-100 m2, dititipkan dirumah
  • Memerlukan waktu 6-7 bulan (di Yogya)
  • Dipantau 80% dilingkungan sudah ada nyamuk aedes aegypti Wolbachia
  • Setelah 80%, pelepasan dihentikan.

Dari informasi tersebut, jelas bahwa telur nyamuk tidak ditaruh di setiap rumah. Selanjutnya, penambahan telur nyamuk 2 minggu sekali selama 6 bulan hanya menghasilkan 10% dari ju,lah nyamuk yang ada di lingkunga. Jadi potensi untuk adanya kondisi ribuan nyamuk dalam 1 kamar sangatlah kecil.

Pernyataan 9:

"..asal nyamuk ini import dari Australia. Kita udah banyak nyamuk kenapa masih import. Bawa flora dan fauna dari Indonesia ke Australia kita bisa dipenjara 5 tahun, Import nyamuk dari luar negeri ke Indonesia, siapa yg memverifikasi bahwa telur ini bersih dari virus dan parasit, belum ada mekanisme verifikasi.." (menit ke 13.04)

Komentar 9:

Nyamuk Wolbachia yang di lepas di Yogyakarta, yang akan dilepas di Bali dan 5 kota lainnya adalah produksi asli dari laboratorium di FK-KMK UGM. Jadi pernyataan nyamuk import dari Australia sangat tidak tepat.

Ditambah lagi dengan pernyataan membawa fauna dan floara Indonesia ke Australia bisa dipenjara 5 tahun, ini tentu bisa membuat banyak orang misinformasi. Indonesia tidak mengimpoirt hewan terlarang atau langka dari Australia. Kalau pun misal yang diimport ternyata nyamuk, misal dalam konteks penelitian seperti yang dilakukan di Yogya, pasti juga atas izin dan kesempatan pihak yang di Australia.

Namun perlu penulis tegaskan, Indonesia tidak mengimpor nyamuk dari Australia. Teknologi produksi nyamuk Wolbachia yang digunakan Indonesia berasal dari WMP yang kebetulan rumahnya adalah di Australia.

Penulis cukupkan sampai disini. Beberapa pernyataan tidak penulis komentari karena cukup dengan sembilan pernyataan tersebut. Semoga pembaca yang Budiman bisa mengambil manfaatnya. Jika ada yang tidak sepaham dengan penulis, silahkan anda bisa membuat opini reaksi atas tulisan yang saya buat.

Akhirnya, berakhir sudah dialog batin nyamuk Wolbachia. Sekian dan salam ayo melek sains.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun