Penulis : Akhmad Bukhori Pane
Pembimbing : Dr. Gustianingsih, M.Hum
Sebagai bangsa Indonesia yang berada di garis khatulistiwa tentu memiliki khazanah dan kekayaan alam yang melimpah ruah. Menurut data dari Badan Pusat Statistik Nasional, luas sawah persawahan mencapai 8 juta hektar. Menurut Kementerian Pertanian Republik Indonesia, luas lahan perkebunan sawit mencapai 14,3 juta hektar, ditambah lagi dari sektor peternakan, pertambangan, kelautan dan perikanan, penghasilan pegawai negeri, BUMN dan swasta, serta berbagai profesi lainnya, semua itu adalah potensi zakat di negeri yang bertuah ini.
Hasil riset yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat Nasional, melaporkan bahwa potensi zakat di Indonesia setiap tahunnya mencapai 217 triliun rupiah, angka ini dinilai sangat fantastis untuk mensejahterakan ummat. Namun ternyata, kuantitas yang mampu dikumpulkan setiap tahunnya sekitar 3,7 triliun rupiah saja. Potensi zakat yang besar tadi berbanding terbalik dengan potret kesejahteraan ummat di negeri yang bertuah ini.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik Nasional, Maret 2021 tercatat jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,54 juta jiwa, persentase penduduk miskin di kota 7,89%, sementara di desa 13,10%, masih banyak masyarakat yang tinggal di rumah kumuh dan tidak layak huni, masih banyak yang putus pendidikan, kerja pengangguran, mati kelaparan, bahkan masih banyak warga yang terpaksa meninggalkan keluarga untuk bekerja sebagai pembantu dan buruh kasar di luar negeri.
Potret ini sungguh sangat memilukan, mengingat potensi zakat di Indonesia cukup besar, dan menjadi tugas bersama untuk segara mengembalikan kesejahteraan ummat dengan mengoptimalkan fungsi zakat sebagai bagian dari syariat.
Sebagai seorang muslim yang militan harus sadar tentang perintah zakat, dalilnya tertuang di dalam Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 103. Apabila di bedah lebih lanjut, menurut Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili di dalam Tafsir Al-Munir jilid 6 halaman 28, menukilkan sebab turun ayat ini adalah berkenaan dengan Abu Lubabah dan teman-temannya yang mengikat diri di tiang Masjid Nabawi dan tidak mau dilepaskan kecuali oleh Rasulullah SAW, karena merasa berdosa tidak mengikuti perang disebabkan harta mereka.
Setelah dilepas mereka datang menjumpai Rasulullah dengan membawa sebagian harta mereka, dan berkata “Wahai Rasulullah, ambillah sebagian dari harta kami dan mohonlah ampunan kepada kami”. Kemudian Rasulullah menjawab, “Saya tidak akan mengambil sedikitpun harta dari kalian sampai datang perintah Allah” lalu turunlah Surah At- Taubah ayat 103.
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab di dalam Tafsir Al-Misbah volume 5 halaman 232, menjelaskan bahwa ayat tentang zakat ini meskipun yang di uraikan adalah Abu Lubabah dan teman-temannya, ayat ini juga untuk umum. Dan meskipun redaksinya khusus ditunjukkan kepada Rasulullah, ayat ini juga berlaku bagi penguasa lainnya. Jadi, ketika ada di zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Siddiq menolak untuk menunaikan zakat dengan dalil ayat ini hanya khusus ditunjukkan kepada Rasulullah, maka Abu Bakar menolak dalih tersebut dan memerangi mereka.
Prof. Dr. Yusuf Al-Qardhawi di dalam Kitab Fiqh Zakat jilid 2 halaman 747, juga menjelaskan kewajiban zakat bukan berupa kewajiban yang bersifat individual, sehingga yang kuat iman dan berharap pahala akhirat menunaikannya, sementara yang lemah iman dan bakhil tidak sama sekali, konsepnya tidak seperti demikian.
Kewajiban zakat ini bersifat managerial menjadi tugas dan tanggung jawab penguasa atau yang ditunjunjuk penguasa untuk melakukan pengelolaan dan pendistribusian secara profesional dan proporsional, dengan begitu dapat difahami penguasa memiliki peran yang sangat signifikan supaya berusaha meningkatkan kuantitas zakat setiap tahunnya, sesuai potensi zakat yang besar yang dimiliki bangsa Indonesia tadi.