Dalam beberapa dekade terakhir, isu-isu lingkungan dan kesetaraan gender telah menjadi topik utama dalam wacana global. Namun, hubungan antara keduanya sering diabaikan.Â
Ekofeminisme menawarkan pendekatan kritis yang menghubungkan eksploitasi terhadap alam dengan penindasan terhadap perempuan. Melalui lensa ekofeminis, kita bisa memahami bagaimana isu-isu lingkungan dan ketidakadilan gender saling terkait, terutama dalam representasi di media.
Ekofeminisme: Menghubungkan Gender dan Ekologi
Ekofeminisme, sebuah gerakan yang muncul pada tahun 1970-an, berpandangan bahwa ada hubungan erat antara eksploitasi alam dan penindasan perempuan. Menurut ekofeminis, dominasi terhadap alam memiliki keterkaitan langsung dengan dominasi terhadap perempuan, yang seringkali dianggap "lebih dekat" dengan alam dibanding laki-laki. Ide ini berakar dari stereotip yang telah berlangsung lama dalam budaya patriarkal yang mengasosiasikan perempuan dengan reproduksi, alam, dan kehidupan domestik, sedangkan laki-laki diasosiasikan dengan teknologi, rasionalitas, dan ruang publik.
Para ekofeminis berpendapat bahwa, untuk mengatasi krisis lingkungan, kita juga harus menghadapi ketidakadilan sosial, terutama yang berkaitan dengan gender. Eksploitasi terhadap alam dan perempuan dianggap memiliki akar yang sama dalam sistem patriarki yang mementingkan kontrol dan dominasi.
Media sebagai Cermin dan Pembentuk Pandangan Publik
Media memainkan peran penting dalam membentuk pandangan masyarakat tentang isu-isu lingkungan dan gender. Namun, representasi gender dan ekologi di media sering kali bias, mendukung struktur kekuasaan yang ada, dan memperkuat stereotip yang tidak akurat.
Representasi Perempuan dalam Isu Lingkungan:Dalam banyak liputan media tentang isu lingkungan, perempuan sering digambarkan sebagai korban. Mereka digambarkan menderita akibat bencana alam, perubahan iklim, atau eksploitasi sumber daya alam. Di sisi lain, perempuan juga seringkali diposisikan sebagai pahlawan lokal dalam komunitas mereka, yang berperan penting dalam menyelamatkan alam melalui aktivitas sehari-hari seperti menanam pohon atau menjaga kelestarian air. Namun, peran ini seringkali direduksi menjadi narasi sentimental, tanpa pengakuan yang memadai terhadap peran politik dan struktural yang dimainkan perempuan dalam gerakan lingkungan.
Contohnya, liputan tentang aktivis perempuan di bidang lingkungan seringkali menunjukkan mereka dalam peran domestik atau lokal, tanpa menunjukkan pengaruh mereka dalam kebijakan lingkungan yang lebih luas. Ini mengabaikan fakta bahwa banyak perempuan berperan sebagai pemimpin dalam gerakan lingkungan global, seperti Greta Thunberg atau Vandana Shiva, yang secara aktif berjuang di kancah politik dan ilmiah.
Maskulinitas dan Eksploitasi Alam:Di sisi lain, media sering menggambarkan hubungan antara laki-laki dan alam dalam kerangka dominasi dan eksploitasi. Maskulinitas dalam liputan media tentang ekologi sering dikaitkan dengan eksploitasi sumber daya alam, teknologi, dan kekuasaan. Laki-laki digambarkan sebagai penguasa teknologi yang mampu "mengendalikan" alam demi pembangunan dan kemajuan ekonomi.
Liputan tentang perusahaan besar yang merusak lingkungan atau pejabat politik laki-laki yang membuat keputusan terkait kebijakan lingkungan seringkali tidak memperlihatkan dimensi gender yang terlibat dalam eksploitasi tersebut. Peran laki-laki dalam mendorong eksploitasi alam di berbagai sektor industri seringkali tidak dihadapkan dengan pertanyaan kritis terkait gender dan kekuasaan.
Bias Media dalam Krisis Lingkungan:Selain bias gender, representasi media terhadap krisis lingkungan juga sering menekankan solusi teknokratis yang dikendalikan oleh laki-laki. Misalnya, dalam liputan tentang perubahan iklim atau krisis energi, media lebih sering menyoroti peran ilmuwan dan pengusaha laki-laki yang menawarkan solusi teknologi. Pendekatan ini mengabaikan kontribusi perempuan, khususnya dalam advokasi komunitas berbasis kelestarian alam dan solusi berkelanjutan berbasis kearifan lokal.
Perspektif ekofeminis mengkritisi bias ini dengan menunjukkan bahwa solusi teknologi seringkali tidak menyentuh akar permasalahan ketidakadilan sosial dan ekologi. Perempuan, terutama di negara berkembang, sangat rentan terhadap dampak lingkungan, tetapi mereka juga seringkali memiliki solusi berbasis komunitas yang lebih berkelanjutan. Media jarang menampilkan narasi ini, sehingga memperkuat gagasan bahwa solusi harus datang dari atas, dari pihak yang memiliki kekuasaan, dan hampir selalu dari laki-laki.
Ekofeminisme di Media: Harapan dan Tantangan
Walaupun ada banyak bias dalam representasi gender dan ekologi di media, semakin banyak ruang yang dibuka oleh ekofeminis untuk mengubah narasi ini. Di era digital, perempuan semakin banyak menggunakan media sosial untuk mengadvokasi keadilan ekologi dan gender, serta berbagi pengetahuan lokal dan solusi lingkungan yang seringkali diabaikan oleh media arus utama.
Jaringan aktivis perempuan di seluruh dunia telah memanfaatkan platform media untuk memperjuangkan isu-isu seperti hak atas tanah, keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim, yang semuanya sangat berdampak pada kehidupan perempuan. Mereka membentuk narasi alternatif yang menantang wacana tradisional tentang eksploitasi alam dan peran perempuan dalam menjaga keseimbangan ekologi.
Namun, tantangan tetap ada. Media arus utama masih didominasi oleh narasi yang mendorong pandangan yang maskulin terhadap eksploitasi alam dan cenderung mengecilkan peran perempuan dalam krisis lingkungan. Ekofeminisme menghadapi tantangan dalam mendekonstruksi narasi-narasi ini dan memperluas ruang bagi perspektif yang lebih inklusif dan adil, baik dalam isu gender maupun lingkungan.
Melalui perspektif ekofeminis, kita dapat melihat bagaimana media berperan penting dalam membentuk persepsi masyarakat tentang hubungan antara gender dan ekologi. Representasi perempuan dalam isu lingkungan seringkali bias dan terbatas, sedangkan eksploitasi alam secara dominan diasosiasikan dengan maskulinitas dan teknologi. Tantangan besar bagi media adalah menciptakan narasi yang lebih adil dan inklusif, yang tidak hanya menggambarkan perempuan sebagai korban, tetapi juga sebagai agen perubahan yang kuat dalam menjaga kelestarian alam.
Untuk mencapai keadilan ekologis dan gender, media harus membuka ruang bagi narasi yang menyoroti peran perempuan dalam gerakan lingkungan dan menciptakan representasi yang lebih holistik tentang hubungan antara manusia, alam, dan kesetaraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H