" Ya Allah saat aku kehilangan harapan dan rencana, tolong ingatkan aku bahwa cintaMu jauh lebih besar daripada kekecewaanku dan Rencana yang Engkau siapkan untuk hidupk jauh lebih baik daripad impianku" --Ali Bin Abi Thalib. Ya kata-kata itu yang menghiasi hidupku selama pandemi.Â
Aku Faisyah seorang ibu yang hidup dalam ketakutan dan selalu berdoa, semoga Tuhan mengasihi kami selama pandemi ini berlangsung. Aku tinggal di daerah yang cukup dingin dan di masa seperti saat ini berharap adanya pemasukan meski seribu untuk makan adalah harapanku. Yah... mungkin bukan hanya aku saja yang berharap tapi juga semua orang diluar sana karena harus menghadapi WFH hingga PHK sepertiku.
Kisah ini bermula ketika aku baru memulai pekerjaanku menjadi seorang karyawati diperusahaan kecil. Memang tidak bergengsi hanya saja aku mencintai pekerjaan berkaitan dengan hobbyku untuk menjadi seorang pendidik.Â
Pekerjaan ini adalah harapanku untuk meningkatkan ekonomi keluarga dan yaa.... sedikit gengsi diri, maklum lulusan S2 tanpa bekerja pastilah membuat bisik-bisik tetangga beradu padu hingga sampai ke telinga. "Ngapain jeng, sekolah tinggi-tinggi toh akhirnya ngurus dapur dan ngurus rumah..." perkataan seperti itu sering sekali saya balas "mboten nopo-nopo bu" sambil tersenyum lalu permisi pulang. Kalau diingat-ingat saya jarang sekali belanja kalau banyak kerumunan ibu-ibu, habis malu dan malas menghadapi komentar mereka.Â
Perusahaan tempat aku bekerja memang kecil, gajinya pas-pasan tapi bisa untuk menambahkan uang beli popok anakku dan tambahan untuk membayar pengasuh yang masih berusia satu tahun.
 Karena kondisi tubuh yang tidak baik setelah melahirkan dengan operasi mengharuskanku menerima seorang pengasuh anak yang biasa kami panggil baba (efek anak tidak bisa bilang bibi). Baba membantuku mengurus anakku sampai saat ini dan selama aku bekerja dia juga membantuku mengurus rumah.
Perekonomian kami cukup meski untuk membayar pengasuh dan membayar kontrakan rumah. Satu setengah juta setiap bulan untuk membayar rumah warga desa yang tidak jauh dari tempat suamiku bekerja, kebetulan setelah menikah kami tidak lagi tingga dengan orang tua. Lokasi perkebunan tempat suami bekerja yang cuku jauh dari kota membuat kami harus berupaya sendiri mencari tempat tinggal.
Bulan Desember 2019 kami mencoba peruntungan untuk membeli sebuah rumah sendiri. Selama kam membangun rumah tersebut, kami memutuskan berpindah kontrakan yang lebih kearah kota. Keputusan ini kami ambil setelah banyak sekali kejadian-kejadian aneh dan dinginnya udara di rumah membuat kami mencari daerah yang lebih hangat dan lebih membuat hoki serumah.
Januari 2020 pemberitaan mengenai pandemi Covid-19 di televisi dan berita melalui internet mulai beredar. Dalam kondisi seperti itu kami masih tidak panik. Kami semua masih tidak menghiraukan. Bahkan karyawan di kantor menggunakan itu untuk bahan lelucon. Kami masih bekerja seperti biasa dan bertatap muka dengan semua siswa.
Dalam kondisi paniknya di Wuhan kami masih saja bercanda dan tidak ada satupun yang menghiraukan. Keluarga kamipun sama, awal Maret 2020 Â kami masih berpesta, pada saat ini seorang keluarga kami mengundang untuk merayakan tujuh bulanan anaknya. Kami masih bercanda dan masih berjoget bersama.
Akhir Maret 2020 bencana pandemi ini sampai ke Indonesia. Siapa sangka lelucon kami menjadi kenyataan. Ketakutan mulai mencekik, kematian meningkat dan wabah menyebar luas diwilayah Jawa. Sejumlah protokol kesehatan mulai diwajibkan dari penggunaan masker dan handsanitizer. Â Kelangkaan stok bahan akibat panic buying terjadi hingga ke kota kami. Remuk hati melihat banyaknya korban yang meningkat di negeri ini. Yang paling aku takutkan adalah anakku dan aku yang masih rentan.Â
Kelangkaan masker dan handsanitizer membuat aku semakin ketakutan. Aku merasakan bagaimana kami berebut serta marah-marah kepada petugas di apotik hanya untuk membeli sebuah masker dan sedikit hand sanitizer. Uang kami habis hanya untuk membeli bahan-bahan tersebut. Bayangkan saja untuk 5 mL hand sanitier kami harus merogoh kocek 50.000. Belum lagi masker yang harganya melambung hingga 15.000 per buah. Dalam carut marut kelangkaan masker dan hand sanitizer, aku masih berusaha ke toko kimia untuk mencoba membuat hand sanitizerku sendiri.
Akibat dari banyaknya kasus, PSBB di kotaku dimulai. Dimulainya PSBB adalah permulaan kami mulai kekurangan uang. PSBB menyebabkan kami hanya diberi gaji tetap dengan sedikit sekali komisi mengajar. Kami hanya berangkat kekantor dua hari sekali. Bagaimana tidak semua sekolah tutup dan orang tua khawatir mengijinkan anaknya untuk pergi ke tempat bimbingan belajar. Kami hanya mengajar melalui online. Tentu saja hal ini mengurangi pendapatan dari bimbingan belajar tersebut.
Hari ketiga stelah PSBB dibentuk alergiku kambuh. Saat perjalanan pulang menuju rumah, tiba-tiba dadaku sesak. Kupikir aku mangalami Covid-19. Kepanikan terjadi aku menghubungi anggota keluarga dan kantor bahwa aku ada di rumah sakit. Ketakutan paada Covid-19 menyebabkan aku menjalani serangkaian pemeriksaan di rumah sakit.Â
Di sana baru kulihat betapa beratnya tugas Garis terdepan covid-19. Dalam IGD rumah sakit penuh dengan orang sesak napas, semua orang ajib menggunakan masker. Ada yang sudah menggunakan alat bantu, petugas berlarian kesana kemari, suara tangis bayi tangis anak orang-orang yang berteriak rasanya memekakkan telinga. "Ya Allah, sebatas inikah aku antara hidup dan mati"Â
Aku membayangkan jika aku harus terkena Covid-19 sementara anakku masih kecil. Ketakutan menghantuiku atas nasib anakku dan keluargaku. Dan ternyata aku hanya kekambuhan alergi. Ada sedikit tenang dalam hati, namun bayangan kondisi IGD sangatlah menggangguku.
 Dalam kondisi ini barulah rasanya ingin mendekatkan diri pada Tuhan. Aku yang tidak biasa beribadah menjadi sangat rajin dan tak lewat mengaji. Karena ketakutan ini sungguh mengerikan. Aku mulai sering mendengarkan ceramah dan melakukan ibadah. Telah berjanji aku kepada Tuhan untuk tidak meninggalkan perintahnya lagi.
Namun lagi-lagi badai Corona mengahampiri perkonomian kami. Berita yang kusampaikan pada perusahaan mengenai penyakitku, disambut salah, berkuranglah waktu aku bekerja dan lebih banyak diistirahatkan dirumah. Hal ini berlanjut hingga semua murid naik kelas.
Bulan Ramadhan tiba saat April 2020 aku berharap lebih terhadap THR dan semoga ada. Aku yang baru bekerja disitu seharusnya mendapatkan THR tersebut. Aku berdoa sekuat tenaga pada Allah. Ya Allah aku berharap betul-betul ingin membelikan anakku agar terasa lebaran menjadi nikmat.
Apa yang terjadi tidak sesuai dengan kenyataan. Seminggu sebelum hari raya aku diberhentikan oleh perusahaan sementara dan tidak diberi uang THR. Ditengah kndisi seperti ini hatiku hancur. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku kecewa kepada nasibku, dan sempat kecewa pada Tuhan tentang apa yang aku doakan bukan terjadi malah keadaan semakin buruk.
 Aku tidak bisa lagi memikirkan bagaimana nasib pengasuhku bagaimana nasib anakku bagaimana kami bisa makan dengan uang yang tidak cukup dan bagaimana caraku membayar kontrakan. Abis hatiku dan menangs sekuat-kuatnya.
Aku tahu betul keimanan kami sedang diuji, namun aku tetap berjuang siapa tahu Tuhan masih mendengarkan doaku. Karena janji tak boleh diingkari akupun tetap mencoba bertahan untuk terus berdoa dalam keadaan bulan Ramadhan. Aku masih percaya Allah akan baik pada kami yang mau berdoa meski hancur perasaan saat itu.
Dalam kondisi ekonomi kami yang sulit kami terpaksa memberhentikan pengasuh kami semntara supaya uang yang untuk menggajinya masih bisa kami gunakan untuk sehari-hari.Â
Sedih rasanya memberhentikan orang yang telah baik membantuku mengasuh anakku.Kondisi kami yang sulit membuatku semakin berusaha mencari harapan dengan menjual sayur dan mencari lowongan kerja yang lain. Dengan harapan yang kuat aku masih berusaha, meski hanya mendapat sepuluh ribu seminggu, aku merasakan syukur yang luar biasa.
Aku tak berhenti berdoa dan memohon ampun atas kesalahanku sehingga menyebabkan semua ini. Aku masih menyalahkan diriku atas kejadian ini. Dengan mengurus anakku sendiri aku terus berusaha untuk berjualan dan mencari kerja. Tiba saat itu sebuah lowongan menerima lamaran seorang dosen yang cukup banyak. Aku pesimis untuk diterima dengan persyaratan yang tidak cukup tapi aku tetap nekat dan berusaha memenuhi persyaratan yang aku mampu.
Sekian bulan berlalu tiba masa pengumuman lowongan itu. Ternyata aku diterima untuk menjalani serangkaian tes.Â
Ujian tak selesai sampai disitu, laptop yang harusnya kugunakan bermasalah sehingga aku mengalami kendala dalam ujian tertulis. Nikmat Tuhan mana yang aku dustakan, tes yang seharusnya tidak mengijinkan revisi, ternyata memberikan keleluasaan untuk merevisi.
Tahap satu usai dilanjutkan pada tes wawancara. Aku tidak mengalami kendala hanya saja baground yang tidak sesuai menyebabkan aku harus dipindah pada prodi lain. Aku menyetujui kesepakatan tersebut.
Sebulan setelah tes aku diterima menjadi seorang dosen. Tidak henti-hentinya aku menangis dan bersyukur mendapatkan sebuah pekerjaan ditengah pandemi seperti ini. Impian terwujud dan kesejahteraan meningkat. Aku keluar dari perusahaan yang lama dan pengasuh si kecil dapat kupanggil bekerja lagi dngan gaji yang meningkat.
Sampai saat ini rasanya tidak menyangka Tuhan gan rasa sabar ini dengan hadiah yang luar biasa. Kondisi seperti ini aku yang tidak punya pengalaman mengajar diterima disini dengan gaji sepuluh kali lipat dari perusahaan yang lama.Â
Aku menjadi lebih percaya bahwa Tuhan tidak akan membiarkan hambaNya merasa sedi terus menerus selama kita percaya dan kita berdoa. Aku selalu percaya bahwa pandemi ini adalah cara Tuhan untuk memberikan hal yang terbaik kepada umatnya. Percayalah... dan selalu percaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H