Kelangkaan masker dan handsanitizer membuat aku semakin ketakutan. Aku merasakan bagaimana kami berebut serta marah-marah kepada petugas di apotik hanya untuk membeli sebuah masker dan sedikit hand sanitizer. Uang kami habis hanya untuk membeli bahan-bahan tersebut. Bayangkan saja untuk 5 mL hand sanitier kami harus merogoh kocek 50.000. Belum lagi masker yang harganya melambung hingga 15.000 per buah. Dalam carut marut kelangkaan masker dan hand sanitizer, aku masih berusaha ke toko kimia untuk mencoba membuat hand sanitizerku sendiri.
Akibat dari banyaknya kasus, PSBB di kotaku dimulai. Dimulainya PSBB adalah permulaan kami mulai kekurangan uang. PSBB menyebabkan kami hanya diberi gaji tetap dengan sedikit sekali komisi mengajar. Kami hanya berangkat kekantor dua hari sekali. Bagaimana tidak semua sekolah tutup dan orang tua khawatir mengijinkan anaknya untuk pergi ke tempat bimbingan belajar. Kami hanya mengajar melalui online. Tentu saja hal ini mengurangi pendapatan dari bimbingan belajar tersebut.
Hari ketiga stelah PSBB dibentuk alergiku kambuh. Saat perjalanan pulang menuju rumah, tiba-tiba dadaku sesak. Kupikir aku mangalami Covid-19. Kepanikan terjadi aku menghubungi anggota keluarga dan kantor bahwa aku ada di rumah sakit. Ketakutan paada Covid-19 menyebabkan aku menjalani serangkaian pemeriksaan di rumah sakit.Â
Di sana baru kulihat betapa beratnya tugas Garis terdepan covid-19. Dalam IGD rumah sakit penuh dengan orang sesak napas, semua orang ajib menggunakan masker. Ada yang sudah menggunakan alat bantu, petugas berlarian kesana kemari, suara tangis bayi tangis anak orang-orang yang berteriak rasanya memekakkan telinga. "Ya Allah, sebatas inikah aku antara hidup dan mati"Â
Aku membayangkan jika aku harus terkena Covid-19 sementara anakku masih kecil. Ketakutan menghantuiku atas nasib anakku dan keluargaku. Dan ternyata aku hanya kekambuhan alergi. Ada sedikit tenang dalam hati, namun bayangan kondisi IGD sangatlah menggangguku.
 Dalam kondisi ini barulah rasanya ingin mendekatkan diri pada Tuhan. Aku yang tidak biasa beribadah menjadi sangat rajin dan tak lewat mengaji. Karena ketakutan ini sungguh mengerikan. Aku mulai sering mendengarkan ceramah dan melakukan ibadah. Telah berjanji aku kepada Tuhan untuk tidak meninggalkan perintahnya lagi.
Namun lagi-lagi badai Corona mengahampiri perkonomian kami. Berita yang kusampaikan pada perusahaan mengenai penyakitku, disambut salah, berkuranglah waktu aku bekerja dan lebih banyak diistirahatkan dirumah. Hal ini berlanjut hingga semua murid naik kelas.
Bulan Ramadhan tiba saat April 2020 aku berharap lebih terhadap THR dan semoga ada. Aku yang baru bekerja disitu seharusnya mendapatkan THR tersebut. Aku berdoa sekuat tenaga pada Allah. Ya Allah aku berharap betul-betul ingin membelikan anakku agar terasa lebaran menjadi nikmat.
Apa yang terjadi tidak sesuai dengan kenyataan. Seminggu sebelum hari raya aku diberhentikan oleh perusahaan sementara dan tidak diberi uang THR. Ditengah kndisi seperti ini hatiku hancur. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku kecewa kepada nasibku, dan sempat kecewa pada Tuhan tentang apa yang aku doakan bukan terjadi malah keadaan semakin buruk.
 Aku tidak bisa lagi memikirkan bagaimana nasib pengasuhku bagaimana nasib anakku bagaimana kami bisa makan dengan uang yang tidak cukup dan bagaimana caraku membayar kontrakan. Abis hatiku dan menangs sekuat-kuatnya.
Aku tahu betul keimanan kami sedang diuji, namun aku tetap berjuang siapa tahu Tuhan masih mendengarkan doaku. Karena janji tak boleh diingkari akupun tetap mencoba bertahan untuk terus berdoa dalam keadaan bulan Ramadhan. Aku masih percaya Allah akan baik pada kami yang mau berdoa meski hancur perasaan saat itu.