Mohon tunggu...
andy_the_learner
andy_the_learner Mohon Tunggu... Guru - Pengajar Bahasa Inggris

Very enthusiastic about optimizing English learning by injecting a great sense of humour and games in a classroom. Students are united in applying theories into useful speaking and writing practices.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menembus Seribu Bulan

7 April 2024   21:10 Diperbarui: 7 April 2024   21:49 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menembus Seribu Bulan

15.15

Ku buka password telpon genggamku. Ada 3 missed call dari istriku. Aku tahu dia mengkhawatirkanku. Begitu juga kedua anakku. Mereka pasti sedang menanti dan bertanya kepada ibunya mengapa aku tidak kunjung pulang. Apalagi di sepuluh hari dipenghujung Ramadhan seperti saat ini. Selepas mandi sore, keduanya biasa duduk dikursi depan rumah, menenteng Al Qur’an dan Juz Amma, dengan raut muka penuh harap menanti kedatanganku dari tempat kerja. Seiring suara sepeda motorku yang semakin mendekat, riuh suara mereka juga pecah. Sejurus kemudian keduanya saling berebut naik ke sepeda motorku. Kami bertiga ngabuburit, mencari takjil untuk buka puasa.

Usai sholat maghrib, anak-anakku tidak pernah kekurangan energi untuk mengajakku melantunkan ayat-ayat Al Qur’an. Bagiku, mereka adalah malaikat yang dikirim Allah agar aku terus mengingat-Nya. Sepertiga malam bulan Ramadhan selalu menjadi kenangan tersendiri bagi kami. Bertadarus dimalam-malam itu. Beriktikaf bersama. Aku yakin mereka merindukan malam-malam ini. Begitu juga aku.

“Wa alaikum salam…akhirnya ayah video call juga,” sambut istriku dengan raut mukanya yang bersinar. Begitu juga jerit dua buah hatiku kegirangan dibelakangnya.

“Kapan ayah pulang?” teriak Aisha, anak keduaku, disebalik ibunya.

“Sebentar lagi ayah pulang ya nak….tunggu ayah ya,” kerinduanku terasa semakin memuncak melihatnya. Ingin  segera kembali pulag dan menghabiskan waktu bersamanya.

“Yah…Adam dan Aisha kangen cerita Nabi…segera pulang yah, kami ingin dengar cerita Nabi!” teriak anak pertamaku sambil mencoba meraih telpon genggam ibunya. Istriku membiarkan keduanya berbicara dengan ku.

“Hmm…cerita Nabi ya? Bukannya sudah ayah ceritakan ya? Eh…tapi masih ada sih cerita lainnya…ada cerita tentang sahabat Nabi bernama Bilal bin Rabbah, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib, seeruuu sekali. maauu?”

“Maauuu!” seru keduanya riang.

“Alhamdulillaaah…kita doakan agar ayah segera pulang ya?” Istriku menyela diantara keduanya.

“Amiiin!” keduanya serempak menengadahkan tangannya.

“Sudah dulu ya….bunda mau bicara sama ayah…kalian main dulu gih,” pintanya pada Adam dan Aisha.

“Baik bunda!” patuh Adam sambil menyerahkan telpon genggam istriku. Keduanya pun terlihat beranjak menjauh dari ibunya.

--

15.30

Ayah ada dimana sekarang?” tanya istriku serius.

“Aku ada di tempat pengungsian, bunda. Lihat ini…,” ku swap screen video telpon genggamku. Kuperlihatkan apa yang berada disekitarku melalui kamera belakang telepon genggam.

“Innalillaahi waa inna ilaihi rojiuun…,” cekat istriku melihat pemandangan yang dilihatnya.

“Banyak sekali pengungsi di tempat itu, Yah!...anak-anak itu, ya Allaaah…” lanjutnya tidak mengira apa yang dilihatnya. Anak-anak kecil, seusia Adam dan Aisha. Bermain dengan baju yang lusuh dan kotor. Bersenda gurau dengan teman-teman sepengungsiannya mencoba menghiraukan apa yang telah terjadi.

“Tadi malam, dua bendungan desa jebol karena seharian hujan tidak berhenti...,” jelasku.

“Tiga desa terdampak dan aku harus mengevakuasi mereka segera…aku harus mengejar waktu, bunda” ku kembalikan screen video call. Inilah alasan aku tidak bisa pulang. Derita beberapa desa yang terdampak banjir ini yang membuatku harus hadir ditempat ini.

“Lailatul Qadr akan segera tiba,  bunda,” kutatap istriku yang mengusap linangan air matanya, seraya menggangguk.

“Ayah mohon maaf tidak bisa menemani bunda, Adam dan Aisha menghidupkan malam seribu bulan,” air matanya semakin tidak terbendung. Ia hanya mengangguk.

---

18.15

“Bondan! Siapkan regu mu!” seru komandan batalyon ku.

“Siap komandan!” jawabku sigap. Lantas ku panggil semua anggota reguku. Dua belas orang serentak berlarian kearahku dan membuat barisan.

“Bondan, tugasmu memimpin regu menelusuri dua desa terdampak banjir di sisi selatan dengan membawa tiga perahu karet. Evakuasi sebanyak mungkin orang! Utamakan orang-orang tua, wanita dan anak-anak! Jika perlu malam ini sampai pagi besok kita bergerak tanpa henti menyisir rumah demi rumah di dua desa itu!”

“SIAP, KOMANDAN!” jawabku dan semua anggota regu kompak.

Kami segera berlarian menuju perahu karet yang sudah kami persiapkan. Hujan rintik mulai membasahi seragam SAR kami. Lantunan sholawat menjelang waktu isya’ menemani keberangkatan kami.

--

22.05

Malam sudah gulita. Temaram cahaya bulan separo menemani pencarian kami. Banjir seakan enggan meninggalkan daerah ini. Yang terlihat hanyalah air, atap-atap rumah dan pohon-pohon yang mampu menahan derasnya arus yang ada dibawahnya. Selainnya, tentu saja tersapu oleh derasnya luapan air dari tanggul yang jebol.

Sudah beberapa kali kami hilir mudik ke tempat ini untuk mengevakuasi para korban. Banyak diantara warga dua desa yang terperangkap dirumah-rumah mereka karena begitu deras dan besarnya banjir yang menimpa daerahnya. Mereka berada di lantai dua atau bahkan diatap rumah mereka saat banjir terus menerjang. Dingin dan basah membuat tubuh mereka meradang.

Aku dan reguku berpacu dengan waktu.  Menyelamatkan apa yang kami mampu selamatkan: nyawa. Nyawa mereka begitu berharga bagi kami. Menyelamatkan mereka berarti memberikan sebuah kesempatan untuk hidup. Agar mereka meneruskan perjuangan menjalankan kebaikannya. Atau agar tersadar dan kembali ke jalan Allah.

“Tooolooong!” sayup-sayup terdengar suara dari kejauhan. Aku dan beberapa rekan tim yang membawa sentolop sigap mengarahkan cahayanya ke berbagai penjuru. Mata kami awas mencari tanda-tanda lanjutan dari suara tadi.  Ku instruksikan dua perahu lainnya untuk berpencar memperluas pencarian. Suara kami sahut menyahut meminta respon lanjutan.

“PAAAK?! BUUUU! …” teriakku lantang. Kali ini cahaya sentolopku menyisir atap-atap rumah yang kulewati. Rekan-rekan SAR satu perahuku juga mencoba memanggil-manggil para korban. Semua mata awas memandang bangunan-bangunan yang masih tersisa. Atap...genteng…tangan yang melambai…tiang listrik…

“Pak Bondan, disitu pak! Sorot lagi pak,” Aku terhenyak. Teriakan salah satu anggotaku membuat tanganku segera mengarahkan sentolop ke sebuah bangunan rumah. Atap dan bangunan lantai 2 nya masih tersisa separo. Ada tangan melambai-lambai terlihat dijendela rumah tersebut.

Perahuku semakin mendekat jendela itu. Lambaian tangannya semakin terlihat. Begitu juga suara minta tolong. Sang empunya rumah rupanya masih didalam dan terperangkap banjir. Aku memerintahkan 2 orang rekan SAR untuk membuka jendela yang separohnya sudah tertutup banjir. Keduanya menyelam dan berusaha membuka paksa jendela itu.

“Pak, pria, usia 60 an, keadaan pingsan, kedinginan, butuh paramedis!” salah satu rekanku menyembul dari air. Aku segera mengambil walkie talkie yang terpasang dipinggangku. Sejurus kemudian aku mengontak 2 perahu lainnya dengan menyebutkan koordinat letak perahuku. Penyelamatan harus segera dilakukan.

---

03.21

Semua rekan satu reguku sudah beristirahat. Hanya aku yang tidak bisa tidur malam ini. Walaupun seluruh badanku terasa pegal. Rasanya sayang melewatkan malam ini. Keberkahan-Nya semoga terpancar di bumi ini untuk seluruh makhluk. Malam dimana petunjuk-Nya menggema menyadarkan manusia untuk tetap bertahan pada jalan kebenaran-Nya. Jalan yang diridhoi.

Aku menengadahkan tanganku. Ya Allah…kuserahkan segala hasil upayaku kepada-Mu malam ini. Semoga Engkau meridhoi caraku menembus seribu bulan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun