“Amiiin!” keduanya serempak menengadahkan tangannya.
“Sudah dulu ya….bunda mau bicara sama ayah…kalian main dulu gih,” pintanya pada Adam dan Aisha.
“Baik bunda!” patuh Adam sambil menyerahkan telpon genggam istriku. Keduanya pun terlihat beranjak menjauh dari ibunya.
--
15.30
“Ayah ada dimana sekarang?” tanya istriku serius.
“Aku ada di tempat pengungsian, bunda. Lihat ini…,” ku swap screen video telpon genggamku. Kuperlihatkan apa yang berada disekitarku melalui kamera belakang telepon genggam.
“Innalillaahi waa inna ilaihi rojiuun…,” cekat istriku melihat pemandangan yang dilihatnya.
“Banyak sekali pengungsi di tempat itu, Yah!...anak-anak itu, ya Allaaah…” lanjutnya tidak mengira apa yang dilihatnya. Anak-anak kecil, seusia Adam dan Aisha. Bermain dengan baju yang lusuh dan kotor. Bersenda gurau dengan teman-teman sepengungsiannya mencoba menghiraukan apa yang telah terjadi.
“Tadi malam, dua bendungan desa jebol karena seharian hujan tidak berhenti...,” jelasku.
“Tiga desa terdampak dan aku harus mengevakuasi mereka segera…aku harus mengejar waktu, bunda” ku kembalikan screen video call. Inilah alasan aku tidak bisa pulang. Derita beberapa desa yang terdampak banjir ini yang membuatku harus hadir ditempat ini.