--
"Assalamu alaikum, Har"
"Hmmm..." matanya menyipit melihatku. Tak berapa lama, ia menyeringai saat mengenaliku dan beranjak dari bangku pos ronda nya.
"Bu..di.. Wi..cak...so...no!" Ia mendekatiku sambil mengisap rokoknya dalam-dalam. Dan menghembuskannya dimukaku.
"Seharusnya namamu bukan Budi Wicaksono,...tapi Umar Bakri," tawanya meledak. Tawanya menular ke teman-temannya yang lagi asyik minum-minum.
Aku hanya tersenyum kecut. Inilah Bahar. Teman SD ku. Waktu kecil, aku begitu dipuja dengan raihan prestasiku. Selalu juara satu di kelas. Berbanding terbalik dengan Bahar. Peringkat paling rendah dikelas. Banyak yang bilang agar Bahar mencontoh aku agar hidupnya kelak lebih baik. Tapi nasibku sekarang tidak lebih baik darinya.
"Kau pasti kesini untuk berhutang kan?"
"Iya Har, aku butuh dua ratus ribu. Semoga kau ada rejeki untuk menolongku"
"Rejeki?...tentu saja aku ada...BA HAAR!" ia menepuk dadanya bangga.
"Aku habis menang judi bola kemarin. Lumayan lah buat minum-minum. Kalo sekedar dua ratus aja, tentu ada kawanku."
Deg. Uang dari hasil judi bola? Sebegitu rendahnya diriku hingga aku harus berhutang uang haram? Uang yang nantinya istriku belikan sekilo dua kilo beras dan kami makan bersama? Uang yang aku gunakan merawat anakku yang sedang sakit?