Merindumu tidak mengenal waktu. Bahkan, asal kau tahu saja, bahwa rinduku buta angka. Ia tidak tahu pukul berapa harus merindumu terlalu banyak, dan kapan harus menenggelamkan dirinya.
Aku sangat mengenalnya. Namanya, rindu. Ia begitu mencintaimu.
Aku hapal jadwal-jadwalnya; dimulai pukul dua dini hari, di mana orang-orang terlelap dalam mimpinya, atau saat beberapa sejoli sedang membagi cinta yang lagi hangat-hangatnya. Dia malah melakukan hal sebaliknya.Â
Terbangun dari mimpi tentangmu, dengan napas yang memburu, kemudian merindumu. Ya, sepagi itu rinduku terbangun dari tidurnya. Kejadian itu terus berulang walaupun jam terbangnya kadang berubah-ubah, kadang pukul dua, kadang pukul satu, atau pukul tiga. Namun kesimpulan yang kutangkap ialah, rindu selalu bangun lebih pagi daripada kesadaranku.
Pukul lima atau enam subuh, rindu kembali terjaga. Satu-satunya teman ketika mataku baru saja terbuka, ketika mimpi perlahan melenyap dari ingatan. Aku terbangun dari kasurku, dari bantal yang berisi mimpi-mimpi buruk atau indah bersamamu.
 Menunaikan kewajiban. Dalam sujud dan simpuhku, aku bertemu lagi dengan rindu itu. Rindu yang bangun pukul dua dini hari. Rindu yang pertama menemaniku ketika kesadaranku baru mulai terkumpul. Dalam sujud, dan tengadah tangan yang berdoa, rindu memuisikanmu terlalu dalam. Kerap, sepasang matanya basah sembari menyebut namamu, lalu perlahan leleh oleh air mata yang jatuh ke wajah sajadah. Ya, sepagi itu ia mendoakanmu.
Pukul tujuh pagi, di mana aroma kopi masih kuat tercium di dapurku, rindu hadir lagi sebagai uap kopi yang mengepul di atas cangkirnya. Aromanya seolah-olah bagai nasabah yang sedang menabung receh-receh ingatan tentangmu.Â
Mungkin mudahnya, seperti fragmen-fragmen yang menyusun utuh bayanganmu. Satu sesap, dua sesap, rindu kembali muncul. Ia mungkin teringat bagaimana aroma kopi lebih pekat bila dihirup oleh dua hidung yang berbeda. Bagaimana dua cangkir kopi terlihat lebih candu dari pada secangkir di atas meja. Dan bagaimana paduan rasa pahit-manis lebih mantap jika dinikmati berdua. Namun sayang, rindu lebih memilih menelan kecewa bersama pahit kopi itu dari pada harus mendepakmu dari ingatannya.
Pukul delapan, sampai sepuluh, rindu makin menggila. Dengan lagu-lagu yang ia putar lewat mp3 player miliknya, dia merindumu lebih banyak lagi. Lagu-lagu berisi kenangan yang tak habis-habis dia lamunkan. Seringkali kutatap matanya yang sayu sedang memutar bayanganmu di sana, dengan sisa-sisa ingatan yang makin hari makin kuat namun tipis seiring waktu melenyapkannya satu-satu. Tak jarang rindu bernyanyi terlalu keras, sampai tetangga-tetangganya heran dengan kelakuannya yang aneh di setiap pagi namun tak berani berkomentar di depannya. Suaranya yang cempreng dan tak jarang fals itu terdengar seribu kali memilukan di telingaku yang mendengarnya.
Pukul sebelas, adalah jam-jam di mana rasanya rindu ingin meledakkan tubuhnya sendiri ke udara. Saat-saat di mana mendung menggelayut di langit Januari, dan siap menumpahkan air kencingnya ke bumi.
Maka, diseduhlah kopi kedua, menghidupkan laptop dan semangat yang ia punya hari itu. Rindu memiliki blog. Jadi, setiap pukul sebelas, dia selalu duduk di meja kerjanya bersama laptop dan secangkir kopi--biasanya kopi itu berjenis cappuccino--lalu menuliskan dirinya sendiri lewat papan digital yang lagi dirabanya, ditekan-tekannya, dan disetubuhinya dengan kata-kata puitis tentang dirinya dan kau.Â
Tak peduli suara hujan yang mengganggu di luar sana. Nampaknya, suara langit yang sedang kencing itu lebih  syahdu di telinganya dan mampu membuat dirinya meledak, berhamburan, dan semrawut sehingga yang ditulisnya bisa mencapai lima sampai tujuh paragraf tentangmu. Atau dua sampai lima puisi untukmu. Ya, segila itu rindu padamu.
Kegiatan yang terakhir bisa dilakukannya hingga bertemu lagi dengan pukul angka sebelas. Sebelas malam. Tentu rinduku tidak tahu. Rinduku tidak mengenal waktu, seperti kataku di paragraf pertama.Â
Rinduku memang buta angka, sehingga tidak peduli seberapa banyak waktu yang dihabiskan untuk merindumu. Terdengar bodoh? Ya, memang terkadang bodoh dan tulus itu setipis urat nadi dan kematian.
Jadwal terakhir rindu ialah tidur. Semua orang perlu tidur, kan? Begitu juga rinduku. Rinduku bukan Tuhan atau kota Jakarta yang tak pernah terlelap. Rinduku agaknya seperti manusia biasa. Sebelum tidur, ia akan terus bekerja. Mencari-cari wujudmu di ingatanku, mencoba menangkapnya lalu mengurungnya agar kau tidak bisa terus berlarian di kepalaku. Ia terus berlari sampai mendapatkanmu, sampai ia lelah sendiri akhirnya tertidur. Karena terus gagal menangkapmu dan mengurungmu, alhasil ia selalu terbangun pukul dua dini hari. Terus berulang setiap hari. Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at, Sabtu, Minggu.
Terkadang ia lelah bertanya sendiri, sampai kapan ia terus ada menemani hari-hariku. Mungkin ia bosan dengan jadwal sehari-harinya. Atau mungkin ia terlalu lelah mengejarmu yang tak pernah berhasil ditangkap dan dipenjarakan dalam ruang bernama masa lalu. Namun yang kutahu pasti, rindu itu takkan pernah lenyap sekalipun kita bertemu satu-dua tatap mata saja. Hadirnya akan selalu ada seiring kakimu melangkah menjauh dari tempat di mana aku berpijak hari ini. Menjauh sampai entah akan kembali atau tidak. Menjauh sampai tak kenal waktu.
Tapi, jangan khawatir. Tidak perlu mengkhawatirkan aku. Sebab rinduku sudah cukup setia menemani sepiku akibat kau yang pergi.
Pergilah sepanjang jarak ingin menarikmu dari hidupku. Aku cukup mampu meyakinkan diriku sendiri, bahwa ini takkan sulit bagiku. Dan aku akan meyakinkanmu, bahwa tak apa bila kau ingin menyeret ragamu jauh-jauh dari batang hidungku.Â
Sebab itu takkan pernah mengurangi jumlah cinta rindu untukmu. Rindu akan selalu mengingatmu; baik pukul dini hari atau di saat malam tergelap sekali pun. Hanya itu yang tersisa darimu di hidupku, selain kenangan tentu saja.
Sekali lagi aku ingin meyakinkanmu; Jangan takut pada jarak, sebab jarak tak sekuat doa. Sekali pun jarak merenggutmu, doa senantiasa mendekatkan batin kita. Doa selalu siap sebagai sepasang tangan untuk saling merengkuh dan menguatkan. Walau tanpa raga. Tanpa hangat napas. Tanpa suara.
"pergilah sejauh ombak menyeretmu sampai ujung samudera, aku pasti selalu menantimu selayaknya sebuah dermaga."
Semoga terus sehat dan bahagia.
Dari aku, dan Rindu.
Palembang, 03 Febuari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H