Tak peduli suara hujan yang mengganggu di luar sana. Nampaknya, suara langit yang sedang kencing itu lebih  syahdu di telinganya dan mampu membuat dirinya meledak, berhamburan, dan semrawut sehingga yang ditulisnya bisa mencapai lima sampai tujuh paragraf tentangmu. Atau dua sampai lima puisi untukmu. Ya, segila itu rindu padamu.
Kegiatan yang terakhir bisa dilakukannya hingga bertemu lagi dengan pukul angka sebelas. Sebelas malam. Tentu rinduku tidak tahu. Rinduku tidak mengenal waktu, seperti kataku di paragraf pertama.Â
Rinduku memang buta angka, sehingga tidak peduli seberapa banyak waktu yang dihabiskan untuk merindumu. Terdengar bodoh? Ya, memang terkadang bodoh dan tulus itu setipis urat nadi dan kematian.
Jadwal terakhir rindu ialah tidur. Semua orang perlu tidur, kan? Begitu juga rinduku. Rinduku bukan Tuhan atau kota Jakarta yang tak pernah terlelap. Rinduku agaknya seperti manusia biasa. Sebelum tidur, ia akan terus bekerja. Mencari-cari wujudmu di ingatanku, mencoba menangkapnya lalu mengurungnya agar kau tidak bisa terus berlarian di kepalaku. Ia terus berlari sampai mendapatkanmu, sampai ia lelah sendiri akhirnya tertidur. Karena terus gagal menangkapmu dan mengurungmu, alhasil ia selalu terbangun pukul dua dini hari. Terus berulang setiap hari. Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at, Sabtu, Minggu.
Terkadang ia lelah bertanya sendiri, sampai kapan ia terus ada menemani hari-hariku. Mungkin ia bosan dengan jadwal sehari-harinya. Atau mungkin ia terlalu lelah mengejarmu yang tak pernah berhasil ditangkap dan dipenjarakan dalam ruang bernama masa lalu. Namun yang kutahu pasti, rindu itu takkan pernah lenyap sekalipun kita bertemu satu-dua tatap mata saja. Hadirnya akan selalu ada seiring kakimu melangkah menjauh dari tempat di mana aku berpijak hari ini. Menjauh sampai entah akan kembali atau tidak. Menjauh sampai tak kenal waktu.
Tapi, jangan khawatir. Tidak perlu mengkhawatirkan aku. Sebab rinduku sudah cukup setia menemani sepiku akibat kau yang pergi.
Pergilah sepanjang jarak ingin menarikmu dari hidupku. Aku cukup mampu meyakinkan diriku sendiri, bahwa ini takkan sulit bagiku. Dan aku akan meyakinkanmu, bahwa tak apa bila kau ingin menyeret ragamu jauh-jauh dari batang hidungku.Â
Sebab itu takkan pernah mengurangi jumlah cinta rindu untukmu. Rindu akan selalu mengingatmu; baik pukul dini hari atau di saat malam tergelap sekali pun. Hanya itu yang tersisa darimu di hidupku, selain kenangan tentu saja.
Sekali lagi aku ingin meyakinkanmu; Jangan takut pada jarak, sebab jarak tak sekuat doa. Sekali pun jarak merenggutmu, doa senantiasa mendekatkan batin kita. Doa selalu siap sebagai sepasang tangan untuk saling merengkuh dan menguatkan. Walau tanpa raga. Tanpa hangat napas. Tanpa suara.
"pergilah sejauh ombak menyeretmu sampai ujung samudera, aku pasti selalu menantimu selayaknya sebuah dermaga."
Semoga terus sehat dan bahagia.