(Bagian 9 dari 20 Tulisan untuk Buku Baru saya yang akan terbit September 2021, GURU HEBAT MAN JADDA WAJADA)
A. MENJADI PRIBADI PENYAYANG
Pribadi guru itu adalah pribadi penyayang. Mendidik orang berarti menyayangi orang tersebut. Kita mendidik murid-murid adalah karena sayang dengan mereka, ingin mereka lebih maju dan berkembang.
Apapun yang kita lakukan sebagai guru, pada dasarnya adalah karena sayang kepada murid-murid kita. Kalau kita marah, itu karena sayang. Menegur mereka karena terlambat, itu juga karena sayang. Menghukum mereka karena tidak mengerjakan tugas, itu juga karena sayang.
Apa yang kita lakukan, semua yang kita kerjakan, pada dasarnya adalah karena kita sayang kepada murid-murid kita. Itulah yang disebut sebagai pendidikan. Apapun yang kita lakukan, dasarnya adalah untuk mendidik anak-anak, bukan untuk yang lain.
Jiwa-jiwa penyayang itu yang paling mudah terlihat pada wajah dan tingkah laku kita. Tersenyum, menunjukkan wajah yang ramah, sikap terbuka, mau mendengarkan, tidak merasa pintar sendiri, memberi solusi, dan sebagainya. Membuat orang nyaman berbicara dan berinteraksi, sehingga mereka terpacu untuk mengembangkan potensi hebat yang mereka miliki.
Pada saat kita memuji siswa karena prestasi yang kita raih, kita lakukan karena kita sayang dengan mereka. Jiwa-jiwa penyayang itu tercermin juga pada saat kita harus mendidik murid-murid dengan penuh disiplin. Pada saat memberi hukuman atau peringatan, kita niatkan sepenuhnya untuk mendidik mereka menjadi orang-orang yang penuh disiplin.
Bersihkan hati dari kemarahan dan dendam. Apa yang kita lakukan buat siswa bukan karena kemarahan kita, tetapi karena ingin mendidik mereka dengan sebaik-baiknya. Bagaimana menilainya? Tentu yang bisa menilai adalah diri kita sendiri. Akan berbeda tindakan kita antara yang didasari oleh kemarahan dan emosi, dengan yang didasari oleh jiwa-jiwa keikhlasan dan pendidik.
Ukurannya ada di hati nurani, bahasa Arabnya, dhomir. Selalu kita tanyakan kepada nurani kita, apakah yang kita lakukan sudah dalam konteks pendidikan, atau karena menuruti emosi dan perasaan kita.
Ciri lain dari pribadi penyayang adalah kesabaran kita dalam mendidik anak-anak. Setiap anak adalah unik, berbeda antara satu dengan yang lain. Terkadang ada murid yang mudah mengerti, namun demikian, beberapa siswa membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk mengerti.
Ada orang yang diam di kelas, di sisi lain ada juga yang sangat aktif. Kesabaran kita dalam mendidik mereka akan sangat berpengaruh dalam keberhasilan pendidikan mereka.
Jiwa penyayang juga membuka hati kita bahwa kita mendidik agar menjadikan mereka lebih baik, lebih pintar, lebih hebat, dan lebih sukses dari kita. Jangan sampai takut tersaingi oleh murid. Biarkan anak-anak menjadi lebih hebat, lebih pintar, dan lebih sukses.
Tugas kita adalah mendidik mereka sekeras-kerasnya, sehebat-hebatnya, sekuat-kuatnya agar mereka menemukan cara untuk mengembangkan diri secara lebih baik. Tentu kebahagiaan terbesar kita adalah pada saat mereka menjadi lebih sukses dari kita, lebih baik dari kita, dan lebih bermanfaat dibandingkan kita. Itulah bukti bahwa kita sayang dengan mereka.
B. GURU YANG IKHLAS MENGAJAR
Memaknai keikhlasan pada zaman sekarang sungguh tidak mudah. Pada zaman saat semua diukur dengan materi, mewujudkan sesuatu yang non-materi menjadi persoalan sendiri. Termasuk ikhlas, sesuatu yang lebih spiritual, tidak kasat mata, tetapi menjadi faktor pendorong penting dalam kita melakukan sesuatu.
Saya akan berikan gambaran bagaimana ikhlas bekerja, ikhlas beramal itu dalam kehidupan sehari-hari kita.
Ikhlas itu, kita menerima sesuai dengan kontribusi yang kita berikan. Jangan meminta lebih. Kalau kontribusi kita sedikit, berarti memang begitu kualitas diri kita di mata lembaga atau organisasi. Tingkatkan diri kita agar kualitas diri dan kontribusi kita bisa meningkat.
Ikhlas itu, pada saat memulai bekerja, pertanyaannya bukan saya dapat apa terlebih dahulu, tetapi saya bisa memberikan apa. Fokus kita adalah pada apa yang bisa kita berikan, bukan apa yang akan kita dapat. Dengan fokus pada apa yang bisa kita berikan, maka kita akan bekerja secara maksimal.
Energi dan perasaan kita adalah bagaimana kita bisa memberi yang terbaik yang bisa kita lakukan. Upaya kita akan menjadi luar biasa karena kita tahu, saat bekerja, yang terbaiklah yang harus kita berikan.
Ikhlas itu, bekerja bukan untuk mendapatkan pujian atau penghargaan, melainkan bekerja agar menjadikan diri kita bermanfaat. Seringkali, kita sudah bekerja keras, bahkan menurut kita sudah sangat keras, tetapi yang kita terima sungguh di luar dugaan. Kita merasa tidak ada penghargaan dari atasan ataupun lembaga atas kerja-kerja kita.
Berharap dari manusia, memang seringkali membuat kecewa. Setiap manusia memiliki pemikiran yang berbeda. Belum tentu, di mata kita sudah bekerja keras, ternyata di mata orang lain kita belum berbuat apa-apa.
Karena itu, agar tidak kecewa, berharaplah hanya kepada Allah. Bahwa yang kita kerjakan, semuanya hanya berharap ridho Allah SWT. Kalau Allah ridho, semuanya akan menjadi baik.Â
Kerja keras kita, susah payah kita, keringat deras yang mengalir pada tubuh kita, semuanya adalah karena kita berharap akan ridho Allah SWT. Kalau itu yang kita lakukan, InsyaAllah hidup kita akan lebih tenang. Hidup tenang itu yang akan menjadikan kita lebih mudah menjalani kehidupan.
Ikhlas itu, menerima rezeki yang diberikan Allah SWT, tanpa mengeluh. Apa yang diberikan kepada kita, itulah yang terbaik bagi kita. Jangan sampai kita merasa mengapa orang lain lebih dimudahkan oleh Allah dalam mendapatkan rezeki. Iri dengan orang lain hanya akan membuat kita mengeluh, yang akhirnya malah menjauhkan kita dari rezeki Allah yang luar biasa melimpah.
Setiap orang sudah diukur sesuai dengan kadar kesungguhan dan kebutuhan kita. Apa yang kita terima adalah hasil dari kesungguhan yang kita berikan. Karena itu, kalau kita hasilnya lebih baik, maka upayanya juga harus lebih besar.
C. MENGAJAR DENGAN PENUH KEBAHAGIAAN
Sebagai guru, kita mengajar hampir setiap hari, terkadang 2 jam, 4 jam, 6 jam, dan sebagainya. Nah, emosi dan perasaan kita pada saat mengajar akan sangat menentukan kebahagiaan kita. Bagaimana mungkin hidup kita akan bahagia kalau setiap hari kita diliputi beban dan kesedihan dalam mengajar. Berbahagialah dalam mengajar, karena hal itu yang akan membahagiakan hidup kita.
Lalu, apa bahagia itu?
Bahagia itu, mensyukuri apa yang sudah ada di depan kita. Kita bersyukur masih bisa mengajar, mendapatkan penghasilan, betapapun kita anggap kurang misalnya. Dengan mensyukuri apa yang ada di depan kita, maka kita akan menjadi bahagia.
Yang membuat diri kita tidak bahagia adalah, pada saat kita sudah punya sesuatu, tetapi kita masih memikirkan yang lainnya. Di depan kita ada tempe, maka bahagialah kita dengan tempe yang ada di depan kita. Kalau kita masih memikirkan seandainya ada telur, ada daging, ada ikan, tentu tempenya menjadi tidak enak.
Kita sudah bisa mengajar di tempat kita sekarang. Syukuri apa yang ada, bahwa kita sudah diberi kesempatan mengajar. Jangan sampai berpikir kalau saya mengajar di sekolah lain, di sekolah A, di sekolah B, dan sebagainya. Kalau masih berandai-andai, kita tidak akan pernah bisa bahagia.
Kalau kita menghadapi murid-murid yang tidak bisa diatur, butuh waktu untuk paham, terlalu kreatif, syukuri saja. Itu cara Allah mendidik dan mengajari kita agar kita bisa terus belajar bagaimana mengajar dan menghadapi anak-anak di kelas. Dengan bersyukur, kita belajar. Dengan belajar kita berkembang.
Akhirnya, syukur itulah yang membuat kita setiap hari bertambah ilmu, berkembang dari waktu ke waktu. Syukuri apa yang ada di depan kita.
Selanjutnya, bahagia itu, tidak pernah menyesali apa yang sudah terjadi. Semua sudah benar adanya. Apa yang terjadi sekarang ini sudah ada dalam ketentuan Allah.
Berandai-andai, itulah yang membuat kita tidak bahagia. Tidak boleh menyesali apa yang sudah terjadi. Percaya penuh bahwa yang terjadi sekarang sudah diizinkan Allah untuk terjadi. Kita hanya menjalani waktu, menjalani kehidupan.
Jangan menyesal kita sekarang ini menjadi guru. Mungkin, bisa jadi, menjadi guru bukan impian yang dulu kita cita-citakan. Tetapi yakinlah, menjadi guru adalah jalan yang sudah Allah tentukan untuk kita bagaimana bermanfaat buat orang lain.
Hal lain dari bahagia, adalah menjalani kehidupan saat ini dengan penuh kesungguhan. Tidak perlu menyesali apa yang sudah terjadi, lalu jalankan dengan penuh kesungguhan. Kesungguhan dan kerja keras inilah yang membuat kita bahagia, bahwa kita sudah mengerahkan seluruh tenaga dan upaya kita sekarang.
Jangan sampai kita menyesal karena kita menjalani hidup dengan seadanya, tanpa perjuangan. Hidup mesti berjuang agar kita bisa menghasilkan yang terbaik.
Dan terakhir, bahagia itu, kalau kita tidak terlalu khawatir dengan masa depan. Kekhawatiran, ketakutan adalah sumber ketidakbahagiaan. Percaya saja bahwa Allah sudah mengatur yang terbaik, pasti akan memberi yang terbaik. Kalau sekarang belum baik, pasti belum berakhir.
Yang penting kita jalankan tugas dan kewajiban kita untuk berusaha yang terbaik sekarang ini. Hasilnya serahkan kepada Allah.
Kalau sudah demikian, kita akan menjadi lebih tenang, hidup akan bahagia dari waktu ke waktu.
Mengajar itu memang membahagiakan.
Salam Man Jadda Wajada
Bekasi, 22 Agustus 2021
Mentor Menulis, Penulis Buku Man Jadda Wajada. Bisa dihubungi di IG: @akbarzainudin, YouTube: Akbar Zainudin, TikTok: AkbarZainudinMJW, Email: akbar.zainudin@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H