Mohon tunggu...
Akbar Syafa Nugraha
Akbar Syafa Nugraha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Sosiologi Universitas Sebelas Maret

Berbicara mengenai hobi, sejatinya saya senang dalam berpublic speaking, berorganisasi, dan membuat konten menarik di Instagram. Padahal, banyak orang menganggap kepribadian introvert seperti saya jarang menyukai bidang tersebut. Namun, inilah diri saya, senang mengeksplore hal baru, salah satunya dalam bidang kepenulisan ini.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Paternalistik, Budaya yang Memblokir Perempuan Menjadi Seorang Pemimpin

23 Mei 2022   15:35 Diperbarui: 23 Mei 2022   16:46 1238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hormati segala yang hidup, hak-haknya, perasaannya” adalah secarik kalimat mutiara yang digaungkan oleh Kartini untuk masyarakat, terutama kaum laki-laki yang wajib menghormati hak-hak hidup perempuan sebagai manusia yang sama-sama bisa mendapatkan kesempatan yang setara tanpa membeda-bedakan jenis kelamin.

Bahkan saat ini masih dijumpai ketimpangan persamaan hak dan pandangan terhadap kaum perempuan di berbagai bidang, terutama dalam bidang kepemimpinan. Tidak sedikit yang mengkaitkan antara kemampuan individu dalam memimpin dilihat dari segi biologis yang melekat pada diri sang pemimpin yaitu berdasarkan pada perbedaan jenis kelamin. Alhasil mengakibatkan perspektif yang beragam dalam menilai kepemimpinan perempuan dan laki-laki pada suatu institusi.

Dari realitas di atas, adanya perbedaan fungsi biologis antara laki-laki dan perempuan bukanlah berarti mendiferensiasikan kedudukan dan kesempatan yang tidak setara antara keduanya. Jika bercermin pada agama Islam, tidak dibedakan atas gender laki-laki dan perempuan, sayangnya masih terdapat kaum intelektual yang mengungkapkan bahwa apapun argumennya derajat kaum perempuan tidak dapat disamakan dengan derajat laki-laki, apalagi masalah kepemimpinan.

Realitas dan pandangan yang menjamur di masyarakat pada dasarnya berkembang dari budaya paternalistik yang selama ini berkembang di masyarakat. Paternalistik membagi gender secara diskriminatif dan struktural yang mengakibatkan perempuan hanya ditempatkan pada kelompok masyarakat nomor dua atau derajat di bawah laki-laki. Pepatah Jawa yang mengatakan bahwa fungsi perempuan hanya macak, manak, dan masak adalah suatu konotasi yang bisa dimaksudkan bahwa perempuan itu ialah makhluk yang bernyawa tapi tidak berjiwa. Stereotip-stereotip inilah yang terpatri dalam perempuan yang lambat laun membentuk opini bahwa perempuan cuma dapat bergerak di bawah ketiak laki-laki, dan perempuan cuma bisa dimaknai kehadirannya pada area realitas fisiknya saja.

Sejatinya, perempuan dikodratkan untuk menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Selebihnya, pekerjaan-pekerjaan domestik yang sering dilimpahkan ke perempuan seharusnya menjadi basic life skill yang harus bisa dilakukan oleh laki-laki juga.

Kondisi status dan peran perempuan akhir-akhir ini lebih diakibati oleh kultur, ideologi, dan praktek hidup sehari-hari di masa lampau. Itulah mengapa terjadi kelemahan pada partisipasi perempuan dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Melibatkan perempuan pada proses kepemimpinan bukanlah berarti hanya sebagai suatu tindakan yang dipandang dari sisi humanisme belaka. Namun, peran yang dilakukan oleh perempuan dalam kesertaannya di bidang kepemimpinan menjadi tindakan dalam rangka mengangkat harkat serta kualitas dari perempuan itu sendiri.

Budaya paternalistik yang menghambat perempuan menjadi pimpinan lahir dari budaya patriarki—budaya yang cenderung mem-patron-kan tokoh tertentu dalam hal ini adalah laki-laki. Semua harus taat dan nurut dengan keputusan patron, termasuk pada ranah politik. Dalam budaya patron, perempuan menjadi pihak yang sangat dirugikan. Sebab terjadi proses marginalisasi dan diskriminasi terhadap perempuan dalam perannya di dunia politik sehingga menjadikan perempuan tidak berkesempatan menduduki posisi pimpinan.

Dewasa ini perempuan masih dihadapkan pada pilihan yang sulit, bagaikan buah simalakama. Jika perempuan memiliki posisi pimpinan ataupun jabatan tinggi, rumah tangganya dianggap berantakan. Sebaliknya, perempuan akan merasa tidak bisa mengaktualisasikan dirinya jika perempuan tidak mencoba untuk maju.

Sejatinya perempuan bisa bertindak sebagai pemimpin, dalam arti mampu mengambil keputusan yang tepat. Hal itu merupakan sifat yang diperlukan seorang pemimpin, tanpa hal itu maka siapapun tidaklah dapat menjadi pemimpin kalau tidak dapat membuat keputusan yang bijak. Perempuan mampu menjadi pemimpin, tapi tidak jarang menghadapi banyak hambatan.

Dikutip dari Tan, Ibrahim memaparkan beberapa hambatan yang timbul dalam kepemimpinan perempuan, di antaranya hambatan fisik perempuan yang memiliki kodrat menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui yang menjadikan produktifitas perempuan menurun. Berikutnya hambatan teologis bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk lelaki yang harus mendampingi, menghibur, dan mengurus keperluan laki-laki. Ketiga, hambatan sosial budaya yang cenderung stereotipikal menganggap perempuan sebagai makhluk yang bergantung, lemah, perasa, pasif, dan menerima keadaan. Selanjutnya hambatan sikap pandang yang memposisikan perempuan pada ranah domestik. Terakhir, hambatan historis berupa kurangnya pengabadian nama perempuan yang berjasa pada masa dulu sehingga menjadikan masyarakat menganggap perempuan kurang mampu berkiprah seperti laki-laki.

Kelima hambatan itu menjadikan potensi kepemimpinan perempuan tidak memiliki wadah yang layak pada kehidupan, tetapi dengan berkembangnya arus informasi dan komunikasi yang masuk dan diterima oleh kaum perempuan, membuat kesempatan untuk mengembangkan diri dan kepemimpinannya menjadi terbuka lebar.

Keterlibatan perempuan menjadi syarat mutlak dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berkeadilan. Jika para perempuannya dibiarkan tertinggal, tersisihkan, dan tertindas, maka tidaklah sejahtera suatu negara. Sejalan dengan pendapat Vivekananda (Darwin 2005:8) bahwa: negara dan bangsa yang tidak menghormati kaum perempuannya tidak akan pernah menjadi besar, baik di saat ini maupun di masa depan.

Mensyaratkan asas partisipasi, representasi, dan akuntabilitas lah keterwakilan perempuan dalam kekuasaan termasuk menduduki posisi pimpinan. Sehingga keadilan gender menjadi muara keterwakilan perempuan dalam politik kekuasaan dan berbagai kebijakan yang diambil. Hanya perempuan yang bisa mengerti, merasakan, dan berempati kepada masalah serta aspirasi kaum perempuan sehingga keterwakilan tersebut sangatlah vital.

Perempuan mempunyai karakteristik percaya diri, disiplin, memimpin orang lain bukan menguasai orang lain, bersikap tegas, bekerja untuk kepentingan orang lain, kerja keras, berkompetensi diri, dan bertanggung jawab terhadap pekerjaan dalam menjalankan peran sebagai pemimpin. Hal itu sejalan dengan karakteristik yang dikemukakan oleh Cantor dan Bernay (1998) pada Women in Power, yang menyebutkan bahwa kepemimpinan perempuan sebagai perpaduan antara kompetensi diri, agresi kreatif, dan kekuasaan perempuan.

Jika menilik perspektif Islam, perempuan diperbolehkan menjadi pemimpin asalkan tidak melenceng dari syariat agama, jika seorang perempuan diangggap mampu baik dari segi pendidikan dan ketaatan terhadap agama maka perempuan tersebut diperbolehkan menjadi pemimpin. 

Merdekalah perempuan, merdekalah Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun