Mohon tunggu...
Akbar Ramadhan
Akbar Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Periset dan Content Writer Validnews.id

Akbar Ramadhan merupakan lulusan S1 Ekonomi Pembangunan, Universitas Airlangga. Saat ini, bekerja di Validnews.id sebagai Periset dan Content Writer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meninjau Pengaruh Penanaman Modal Asing (PMA) bagi Pengentasan Kemiskinan Nasional

23 Januari 2024   12:33 Diperbarui: 23 Januari 2024   12:33 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kemiskinan. Sumber: Kompas.com/Kristianto Purnomo

Capaian PMA yang masuk ke Indonesia selama ini relatif baik. Di kawasan Asia Tenggara, nominal PMA yang masuk ke tanah air hanya kalah dengan Singapura. Menurut laporan World Investment Report 2023 yang diterbitkan oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), PMA yang masuk ke tanah air pada 2022 sebanyak USD 21,97 miliar. Sedangkan, PMA yang masuk ke Singapura sebesar USD 141,21 miliar.

Dari angka tersebut, sekilas dapat dikatakan bahwa iklim investasi di tanah air relatif lebih baik bila dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara. Meski begitu, bukan berarti tidak ada tantangan yang dihadapi Indonesia untuk mempertahankan iklim investasi yang saat ini terbilang baik.

Tantangan fundamental yang saat ini masih belum bisa teratasi oleh pemerintah Indonesia dalam rangka menarik pundi-pundi PMA, yakni berkaitan dengan modal manusia .

Pasokan tenaga kerja yang tersedia belum sepenuhnya mendukung iklim investasi. Tenaga kerja yang minim keterampilan dan pengetahuan yang rendah masih sangat dominan di tanah air. Sedangkan, perusahaan-perusahaan yang menanamkan modalnya di tanah air amat sangat membutuhkan pasokan tenaga kerja yang terampil dan berpengetahuan yang baik.

Sebagaimana laporan World Digital Competitiveness Ranking 2023 yang diterbitkan oleh Institute for Management Development (IMD), indeks daya saing digital Indonesia adalah sebesar 60,36 dan berada diperingkat 45 dari 64 negara. Capaian tersebut masih lebih rendah dibandingkan beberapa negara Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Hal itu semakin mempertegas bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia masih terbilang belum memiliki kemampuan yang cukup untuk bersaing dengan masyarakat dari negara lain, utamanya terkait penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Hal tersebut demikian, salah satunya disebabkan oleh kualitas pendidikan di Indonesia yang belum baik yang tercermin dari rata-rata IQ Masyarakat Indonesia. World Population Review mempublikasi peringkat rata-rata IQ di dunia pada 2023, yang mana menunjukkan bahwa rata-rata IQ Indonesia hanya sebesar 78,49 dan menempati peringkat 129 dari 197 negara. Angka tersebut bahkan lebih rendah daripada rata-rata IQ dunia, yakni sebesar 82,03.

Kemudian, tata kelola pemerintahan yang korup dan adanya pungutan liar juga turut andil dalam menghambat arus masuk PMA ke tanah air.

Buruknya tata kelola pemerintahan di tanah air dapat digambarkan melalui indeks persepsi korupsi pada 2022 yang termasuk rendah secara global, yakni hanya sebesar 34 dan menempatkan Indonesia di peringkat 110 sebagai negara yang bersih dari korupsi. Semakin ironi, mengingat indeks tersebut lebih rendah daripada beberapa negara Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand, bahkan Timor Leste.

Korupsi maupun pungutan liar menyebabkan suatu masalah besar bagi perekonomian, yakni timbulnya ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Ekonomi biaya tinggi merupakan kondisi ketika suatu negara dalam proses ekonominya memerlukan biaya yang lebih tinggi dari yang seharusnya karena keberadaan tarif dan biaya faktor produksi yang lebih tinggi ataupun adanya prilaku-prilaku yang tidak seharusnya ada, seperti korupsi dan pungutan liar.

Bukti  nyata adanya ekonomi biaya tinggi di tanah air dapat dilihat dari increamental capital-output ratio (ICOR). Sebagai informasi, ICOR adalah rasio yang menggambarkan tambahan modal yang diperlukan guna menghasilkan output tambahan. Sehingga, ICOR yang semakin tinggi mengindikasikan bahwa biaya yang dibutuhkan investor untuk berinvestasi akan semakin besar.

Menurut keterangan tertulis Kementerian Perekonomian (28/8/2023), bahwa ICOR Indonesia sampai dengan Agutus 2023 masih terlalu tinggi, yakni sebesar 7,6%. Padahal idealnya, maksimal adalah sebesar 5%.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun