Kita generasi milenial pastinya tidak asing dengan fenomena anak muda yang kerap kali terjadi belakangan ini, tapi apa boleh itu semua harus diikuti dan dicontoh oleh kita?
Kita yang melihat konten dari media setiap saat pastinya ingin merasakan "Bagaimana kalau kita membuat hal seperti tersebut ya? Apakah akan seterkenal itu juga?"
Menjadi konten kreator tidaklah salah dan itu tidaklah mudah. Apa yang kita lihat dari mereka yang namanya telah dikenal banyak orang, itu adalah hasil dari kerasnya proses mereka mencapai itu semua.Â
Apalagi kita kerap kali hanya mencontoh konten yang telah ada, tanpa adanya modifikasi dan inovasi.Â
Betul cara tersebut dapat menaikkan nama kita untuk beberapa saat. Akan tetapi, apakah akan bertahan lama? Apakah kita akan di ingat oleh semua orang?
Sedikit melihat kebelakang, kita pasti tidak asing dengan konten yang mengangkat isu-isu sosial yaitu isu kemiskinan. Akan tetapi, konten yang dihasilkan kebanyakan hanya menampilkan upaya "menolong" orang miskin atau orang kurang mampu, hanya demi mendapatkan popularitas atau perhatian, tanpa memperhatikan  etika dan makna dari pertolongan tersebut.
Disini akan saya bahas tentang isu sosial konten yang hanya memanfaatkan kemiskinan orang lain.
Saya akan membaginya menjadi tiga bagian yaitu, Big Problem, Core Problem dan Solution
Big Problem
Masalah konten menolong orang lain tanpa melihat kaidah yang seharusnya dalam konten tersebut
Konten Sensasional  vs Makna yang Diberikan
Konten yang mengekspos orang miskin dengan cara yang sensasional seringkali mencuri perhatian publik. Namun, ketika tujuan utama tersebut hanya untuk mencari views atau likes, hal ini mengurangi arti dan tujuan dari membantu orang yang membutuhkan. Kita perlunya melihat makna yang diberikan dari bantuan tersebut, seperti halnya bantuan yang berkelanjutan yang dapat mengubah hidup orang tersebut setidaknya menjadi lebih baik dan mudah untuk meningkatkan derajat mereka.
Core Problem
Rasa ingin menjadi konten kreator hanya dengan mengejar popularitas dalam waktu yang singkat.
Ekploitasi Orang Miskin untuk Mendapatkan Popularitas
Beberapa konten kreator terkhususnya konten kreator baru, berusaha untuk mendapatkan konten yang memanfaatkan penderitaan orang miskin. Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian dan rasa empati dari orang yang menonton, mereka pun nantinya akan dikenal sebagai "pahlawan" bagi para penonton.Â
Mereka mungkin merekam adegan-adegan menyedihkan dan menyentuh dari orang miskin tanpa izin dan tanpa memberikan bantuan yang nyata. Hal ini dapat dianggap sebagai eksploitasi, di mana orang miskin dijadikan alat untuk mencapai tujuan pribadi pembuat konten, bukan sebagai manusia yang layak mendapatkan penghormatan dan bantuan.Â
Sebelum saya akan memberikan solusi, saya akan membahas sedikit lebih lanjut tentang konten seperti ini.
Pada dasarnya hal ini seperti pisau bermata dua, disatu sisi hal ini baik untuk dilakukan karena banyaknya orang yang sangat tertolong pada konten seperti ini. Sisi lainnya hal ini menimbulkan jurang yang semakin besar antara si miskin dan si kaya.
Beberapa pakar seperti Rachmah Ida yang merupakan pakar kajian studi media di Universitas Airlangga mengatakan, konten dengan hal tersebut disebut dengan eksploitasi kemiskinan hanya akan menimbulkan pembeda yang lebih besar antara kemiskinan dan kekayaan.
Tidak hanya itu yang menjadi keburukan dari konten seperti ini, lebih buruk lagi apabila konten ini dikemas dengan perencaan atau biasa disebut settingan. Seperti salah satu cuplikan Reels dari akun intagram @fakta.indo https://www.instagram.com/p/CucKB7KgvGB/Â
Pada video tersebut memperlihatkan orang yang sedang mengomentari dua orang anak muda yang sedang membuat konten di seberang jalan. Konten tersebut disinyalir merupakan konten settingan berdasarkan gerak gerik dari si pembuat konten.Â
Melihat hal tersebut akan menghilangkan seluruhnya makna dari konten seperti ini, tidak hanya nilai kebaikannya, nilai atau pelajaran yang dipetik pun terasa hambar untuk dilakukan.
Konten yang serupa sering kali kita temui di media sosial, seperti memberikan uang lebih kepada pedagang, ojek online, pengemis, dan lain-lain. Akan tetapi, apakah ini semua baik adanya?Â
Sebagai penonton pastinya sangat menyukai hal tersebut apalagi berhubungan dengan rasa empati kepada orang lain. Namun, konten-konten seperti ini mempunyai bumbu-bumbu adiktif yang membuat kita suka dan menginginkan yang lebih untuk konten seperti ini.
Seperti yang di bahas oleh Channel YouTube Detective AldoÂ
Pada salah satu kontennya tersebut membahas bagaimana konten kreator membuat konten kemiskinan demi kekayaan dan popularitas. Channel YouTube Detctive Aldo atau biasa di panggil Aldo ini menjelaskan kalau pada dasarnya konten seperti ini merupakan salah satu "Poverty Porn".
Poverty Porn adalah menampakkan kemiskinan orang lain hanya untuk menarik rasa simpati orang lain. Sesungguhnya poverty porn sudah muncul pada tahun 90an, dimana sebuah band menggalang dana untuk mengatasi kelaparan di Ethiopia. Konser untuk menggunakan foto-foto dan video yang memperlihatkan bagaimana kesusahan dari rakya Ethiopia untuk mendapatkan makanan dan minuman pada saat itu.
Hal itu pun berhasil di lakukan, pada akhirnya konser berjalan lancar dan Ethiopia pun tertolong dengan hal tersebut, tetapi hal tersebut hanya bertahan beberapa waktu sahaja. Mereka tidak mencari bagaimana Ethiopia dapat mengalami hal tersbut dan tidak memecahkan masalah tersebut, hanya membantu yang masih dikatakan tidak sustainble.Â
Sama halnya dengan yang terjadi di negara kita ini, konten yang hanya mencari view dan popularitas semata tanpa mencari bagaimana memecehkan masalah tersebut.
Solution
Solusinya menumbuhkan kesadaran setiap konten kreator, bahwa yang namanya pertolongan itu tidak harus di pertontonkan layaknya layar besar agar semua orang tahu. Jadilah apa yang seharusnya dilakukan dan perlihatkan pelajaran yang seharusnya di perlihatkan.Â
Para konten kreator harus menyadari bahwa mengangkat isu orang miskin hanya demi sebuah konten sensasiona tidak etis dan dapat menyebabkan dampak nnegatif pada masyarakat yang terlibat.Â
Konten yang menolong orang miskin menjadikan kita sebagai pendorong partisipasi sosial dari audiens. Seperti halnya mengajak orang untuk mendukung atau menyumbangkan semata-mata untuk perubahan dari orang tersebut, nantinya akan mengubah dari kehidupan hingga derajatnya.
Semoga kita dapat memilah mana konten yang seharunya diperlihatkan dan memperlihatkan konten yang memiliki makna sesungguhnya dari menolong orang lain.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI